Senin, 25 November 2013

I Love My Teachers


 "Selamat Hari Guru"

Semua ucapan Selamat pagi ini hanya basa-basi. Guru tetap saja manusia. Tidak hanya ingin diberi ucapan Selamat, tetapi juga ingin hidup yang Selamat. Kita para muridnya, sudahkah memberikan itu padanya? Saat bertemu beliau di kelas saja, sering kita tidak memperhatikan ucapannya. Tatapan kasihnya sering kita acuhkan. Kata-katanya sering kita anggap kuno karena Itu Mulu-Itu Mulu. Jelas saja Itu Mulu, karena yang Itu saja kita belum mampu, beraninya menuntut ajaran yang lain.

Mari kita beri guru kita Selamat. Selamat dalam hidupnya salah satunya adalah melihat anak didiknya patuh dan menjadi orang lebih baik dibandingkan dirinya, dibanding sebelum mengenalnya.


I Love My Teachers

  • Terima kasih, Guru-guruku TK (MAAF aku lupa nama-nama kalian). Dulu aku sekolah di TK Bustanul Athfal II Cepu, Blora, Jawa Tengah.
  •  Terima kasih, Guru-guruku SDN Balun III Cepu (MAAF aku juga lupa nama-nama kalian. - Nangis nggelenjotan). 
  • Terima kasih, Guru-guruku SDN Wonosari II Gunungkidul: Pak Karyanto, Bu Lin, Bu Sri, Bu Fathonah (Mayan ingat beberapa). 
  • Terima kasih, Guru-guruku SMPN II Wonosari Gunungkidul: Bu Muji Rahayu Almh. (Wali Kelas 1F, Guru Matematika), Bu Ernawati (Wali Kelas 2F, Guru Matematika), Pak Supramto (Wali Kelas 3F, Guru Seni Musik), Pak Suprapto (Guru Bahasa Indonesia), Bu Murtiasih (Guru Bahasa Indonesia), Pak Sulis (Guru Bahasa Indonesia), Bu Aminah (Guru Olahraga), Pak Susanto (Guru Matematika), dll. 
  • Terima kasih, Guru-guruku SMAN I Wonosari Gunungkidul. Waktu itu pelajarannya sulit-sulit, jadi menurunkan kemampuanku menghapal nama. (Ehem...)
  • Terima kasih juga, Dosen-dosenku FBS dan LT PPs UNY: Papin Zamzani, Kakek Guru Haryadi, Bu Arik (Mereka dosen-dosen pembimbing tugas akhirku - skripsi dan tesis), SRK - Pak Anwar, Pak Mamen, dll.
  • Dan tentunya, terima kasih pada guruku sepanjang masa, BAPAK dan IBU-ku tercinta: guru pertamaku, guru terbesarku sepanjang sejarah kehidupan. Kalian lebih dari sekadar luar biasa. Muaaaccchhh.....
Terima kasih, Guru-guruku yang baik. Semoga kalian mendapatkan balasan setrilyun kali lipat dari Allah yang memiliki segalanya. I love youuuuuu........



pagiku cerahku, matahari bersinar
kugendong tas merah ku di pundak
s'lamat pagi semua kunatikan dirimu
di depan kelasmu menantikan kami

guruku tersayang, guruku tercinta
tanpamu apa jadinya aku
tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal
guruku terima kasihku

nyatanya diriku kadang buatmu marah
namun segala maaf kau berikan

Minggu, 24 November 2013

One Step Closer dengan "A Thousand Years"

Minggu ini aku sempat membaca status Blackberry Messenger (BBM) seorang teman. Demikian ia men-update statusnya, “I have died everyday waiting for you.” Dari pandangan pertama aku langsung jatuh cinta sama kalimat itu. Langsung deh aku tanya makna yang tersirat dan tersuratnya pada seorang teman yang bahasa Inggris-nya lebih jago daripada aku. Dia bilang kalimat itu berarti ‘aku seakan mati setiap hari untuk menunggumu’. Aku langsung berkaca-kaca. (Lebay! Wkwkwk....) Karena jatuh cinta pada kalimat ini, aku tweet dia di Twitter tanpa menulis sumbernya (soalnya abis baca apdetan status langsung lupa siapa tadi yang nulis. Wkwkwkwk....).

Beberapa hari berlalu. Hingga pada suatu hari, aku menemukan kalimat itu di status Facebook seorang teman yang lain. Barulah aku tahu bahwa kalimat itu adalah bagian dari lirik lagu yang kesohor banget. (Ke mane aje guweh?)

Lagu tersebut dinyanyikan Christina Perri dan sempat menjadi original soundtrack film “Breaking Dawn - part 1”. Pada nonton ga? Ga juga ga papa. Aku sih bangga walau ga nonton. Males juga nonton film bule. Novelnya aja aku males baca sih. Mana ga ada teman. Harus ke Jogja juga kalau mau nonton, kan di Wonosari ga ada bioskop. Aduh, curhat kepanjangan. Okeyh, fokus! Lagu tersebut berjudul "A Thousand Years". Lagu ini nge-hits di pertengahan tahun 2012-2013 insyaAllah.

Ini yang namanya Christina Perri.

 Christina Perry cinta banget sama Indonesia,
lihat aja dadanya di-Batik. Ahay!

Sebelum kita kulik lebih lanjut, mari kita simak dulu liriknya berikut ini.

"A Thousand Years"
(dari soundtrack "The Twilight Saga: Breaking Dawn - Part 1")

Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave?
How can I love when I'm afraid to fall?
But watching you stand alone,
All of my doubt suddenly goes away somehow.

One step closer

[Chorus:]
I have died everyday waiting for you
Darling, don't be afraid I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more

Time stands still
Beauty in all she is
I will be brave
I will not let anything take away
What's standing in front of me
Every breath
Every hour has come to this

One step closer

[Chorus:]
I have died everyday waiting for you
Darling, don't be afraid I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more

And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more

One step closer
One step closer

[Chorus:]
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more

And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more

Nah, menurutku, setiap lagu memiliki makna di dalamnya. Apalagi kalau penciptanya memasukkan hatinya ke dalam lagu itu. Yang dimasukkan itu berupa perasaan dan pengalaman ya, bukan bumbu dapur dan sejenisnya. (Emang Chef Juna) Atau, pendengarnya memahami maknanya, merasakannya, dan memasukkan pengalamannya ke dalam lagu tersebut. Karena sesuatu yang dari hati bisa jadi jatuhnya ke hati pula. Demikian juga yang terjadi pada lagu ini. Lagu ini memiliki makna yang mendalam, apalagi bagi orang-orang yang terwakili perasaannya oleh lagu ini. Aw.... aw... aw...!

Baiklah, marilah kita bahas sedikit demi sedikit. Tentunya pembahasan ini bersifat subjektif. Sahabat-sahabat dapat memaknainya dengan cara dan rasa yang lain. Okeyh?!

Lagu ini bercerita tentang seseorang (bisa laki-laki ataupun perempuan) yang sedang jatuh cinta. Lihat saja pada baris pertama dan kedua bait pertama.
Heart beats fast. Colors and promises.
‘Jantung berdetak cepat. Warna-warna dan janji-janji’

Seseorang yang tengah jatuh cinta, jantungnya akan berdetak lebih kencang apalagi jika sedang berdekatan dengan seseorang yang dicintainya itu. Hidupnya juga semakin berwarna dan tanpa sadar dia sering mengungkapkan janji-janji terhadap dirinya sendiri jika suatu saat bisa mendapatkan hati seseorang yang dicintainya itu. Sayangnya, orang yang sedang jatuh cinta itu tidak berani mengungkapkan perasaannya karena takut cintanya bertepuk sebelah tangan.
How to be brave.
How can I love when I'm afraid to fall.
‘Bagaimana menjadi berani.
Bagaimana aku bisa mencintai jika aku takut jatuh.’

Namun, keraguannya lenyap setelah melihat pujaan hatinya mampu berdiri sendiri dan unik, berbeda dari orang lain yang pernah dikenalnya.
But watching you stand alone.
All of my doubt suddenly goes away somehow.
‘Tapi melihatmu berdiri sendiri.
Semua keraguanku tiba-tiba hilang entah ke mana.’

Akhirnya, dia semakin dekat dari waktu ke waktu dengan seseorang yang dicintainya itu.
One step closer.
‘Satu langkah lebih dekat.’

One Step Closer

Setiap hari dia menunggu orang yang dicintainya untuk mengungkapkan perasaan cintanya. Walaupun rasa tersebut kadang membuatnya seperti tidak ada di dunia ini (mati).
I have died everyday waiting for you.
Darling, don't be afraid I have loved you.
‘Setiap hari aku (seakan) mati karena menunggumu.
Sayang, jangan takut aku telah mencintaimu.’

Hal ini pun diungkapkan, bahwa dirinya akan mencintai kekasihnya selama seribu tahun. Seribu tahun ini menggantikan kata “selamanya”. Kalimat ini menyatakan bahwa cinta itu bukanlah cinta sesaat, melainkan cinta yang tak pernah berakhir.
For thousand years. I'll love you for a thousand years more.
‘Selama seribu tahun. Aku akan mencintaimu selama seribu tahun lagi.’

Hari demi hari berganti. Waktu tetap berjalan. Namun, cintanya tidak akan pernah berpaling kepada yang lain. Karena baginya, kecantikan dan keindahan hanya ada pada kekasihnya itu.
Time stand still. Beauty in all she is.
‘Waktu tetap berjalan. Semua keantikan ada pada dirinya.’

Karena itulah, dia akan memberanikan diri untuk mengungkapkan cintanya dan tidak akan membiarkan apapun menghalangi langkahnya.
I will brave. I will not let anything take away.
‘Aku akan berani. Aku tidak akan membiarkan apapun mengambil.’

Apapun yang ada di hadapannya tidak akan mampu mematahkan semangatnya. Setiap napas yang berhembus dan setiap waktu yang telah berjalan akan diperjuangkan untuk membuat kekasihnya menjadi lebih dekat dan mencintainya.
What standing in front of me. Every breath, every hour has come to this.
One step closer.
‘Apa yang ada di depanku. Setiap napas, setiap waktu yang telah berlalu.
Satu langkah lebih dekat.’

Karena selama ia yakin akan menemukan kekasihnya, itu pasti akan terjadi. Waktu telah membawa hatinya kepada kekasihnya.
And all along I believed. I would find you.
Time has brought your heart to me.
‘Dan selama aku percaya, aku akan menemukanmu.
Waktu telah membawa hatimu padaku.’

Ini karena ia telah mencintai kekasihnya selama seribu tahun sehingga tidak masalah untuk mencintainya seribu tahun lagi.
I have loved you for a thousand years.
I'll love you for a thousand years more.
‘Aku telah mencintaimu selama seribu tahun.
Aku akan mencintaimu selama seribu tahun lagi.’

A Thousand Years

Demikianlah pemaknaan untuk lirik lagu “A Thousand Years” milik Christina Perri. Dari sekelumit pembahasan di atas, tentu Sahabat-sahabat semakin memahami cerita dan makna dari lagu ini. Nah, apakah lagu ini kontekstual dengan cerita hidupmu, Kawan? Sanggupkah kamu menunggu seseorang hingga seribu tahun? Ough.... (Entah kenapa kepalaku jadi pening.)
        
Namun, satu hal yang penting adalah bagaimana kita mampu mencintai seseorang dan tidak pernah ragu atas perasaan yang kita miliki itu. Terus-menerus percaya dan mempertahankannya, itulah yang namanya setia. (Sok-sokan!)

Senin, 18 November 2013

Kalimat Aktif Transitif dan Kalimat Aktif Intransitif

1.    Kalimat Aktif Transitif
Kalimat aktif transitif adalah kalimat yang memiliki atau menghadirkan fungsi objek (O). Kalimat aktif transitif biasanya berawalan me- atau meN-. Kalimat ini berupa kalimat aktif yang dapat diubah ke dalam kalimat pasif.
Contoh:
•    Setiap siswa harus memiliki sifat terpuji.  kalimat aktif
•    Sifat terpuji harus dimiliki oleh setiap siswa.  kalimat pasif
Kalimat pertama merupakan kalimat aktif transitif.
S = setiap siswa; P = harus memiliki; O = sifat terpuji
Kalimat kedua merupakan bentuk pasifnya.
S = sifat terpuji; P = harus dimiliki; O = setiap siswa

2.    Kalimat Aktif Intransitif
Berbeda dengan kalimat aktif transitif, kalimat aktif intransitif tidak memiliki atau tidak menghadirkan objek (O). Jika predikatnya berawalan me- atau meN-, kalimat tersebut tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif.
Contoh:
  • Adik menangis.
  • Pesawat itu mengudara dengan sempurna.
Kalimat pertama:
S = adik; P = menangis
Kalimat kedua:
S = pesawat itu; P = mengudara; K = dengan sempurna

Predikat kalimat aktif intransitif dapat juga berimbuhan ber- dan ter-. Perhatikanlah contoh kalimat berikut ini.
  • Taufik bertanya tentang PR Bahasa Inggris.
  • Luqman tertawa mendengar lelucon itu.
Kalimat pertama:
S = Taufik; P = bertanya; Pelengkap = PR Bahasa Inggris
Kalimat kedua:
S = Luqman; P = tertawa; Pelengkap = lelucon itu

Kalimat Aktif dan Kalimat Pasif

1.    Kalimat Aktif
Kalimat aktif adalah kalimat yang subjeknya menjadi pelaku. Predikatnya berupa kata kerja (verba) aktif. Kata kerja aktif berawalan: me-, meN- (mem-, men-, meng-, meny-, menge-, menye-) , ber-, dan ter-. Kata kerja berawalan tersebut dapat juga dikombinasikan dengan akhiran (-kan, -an, -i).
Contoh:
•    Afifah melukis pemandangan pantai.
•    Bebek peliharaanku menumpahkan air teh.
•    Candra mengecat tembok kamarnya dengan warna biru.
•    Para siswa belajar Matematika dengan sungguh-sungguh.
•    Engkau terharu karena pujian itu.
Ciri-ciri kalimat aktif:
a.    Subjek pada kalimat-kalimat di atas berjenis kata benda. Subjek  tersebut berjenis subjek pelaku karena ia melakukan pekerjaan/ kegiatan/ perbuatan yang diungkapkan pada predikat.
b.    Sementara itu, kata yang bercetak miring merupakan predikat. Predikat yang berupa kata kerja aktif tersebut menjadi penanda bahwa kalimat tersebut berupa kalimat aktif.

2.    Kalimat Pasif
Kalimat pasif terbentuk jika subjeknya menjadi penderita atau yang dikenai tindakan. Predikatnya berupa kata kerja (verba) pasif. Kata kerja pasif berawalan: di-, ke-, dan ter-.
  • Contoh:Pemandangan pantai itu dilukis oleh Afifah.
  • Air teh di dapur ditumpahkan oleh bebek peliharaanku.
  • Tembok kamar Candra dicat dengan warna biru.
Kalimat tersebut merupakan bentuk pasif dari kalimat pertama, kedua, dan ketiga dari kalimat aktif di atas.
Dengan demikian, ciri-ciri kalimat pasif adalah sebagai berikut.
a.    Subjek pada kalimat-kalimat di atas berjenis kata benda. Subjek  tersebut berjenis subjek penderita karena ia dikenai tindakan oleh objek.
b.    Sementara itu, kata yang bercetak miring merupakan predikat. Predikat yang berupa kata kerja pasif tersebut menjadi penanda bahwa kalimat tersebut berupa kalimat pasif.
Contoh lain:
  • Kucingku ketabrak mobil.
  • Mita terpukul oleh tongkat kasti.

Catatan:
Tidak semua kalimat aktif dapat dipasifkan. Misalkan, kalimat keempat dan kelima dari kalimat aktif di atas. Kedua kalimat tersebut tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif. Demikian juga dengan kalimat berikut ini.
•    Rafli bermain sepak bola setiap sore.
•    Aku dan adikku semalam bertengkar karena masalah sepele.
•    Anak itu berlarian ke sana-ke mari.
•    Varel tersandung batu yang ada di depan rumahnya.
•    Rian terdiam mendengar kabar itu.
•    Helmi terlambat bangun pagi tadi.

Selasa, 22 Oktober 2013

Pendekatan dan Metode Pengajaran Bahasa sebagai Dasar Pengembangan Kurikulum

A.    Pengantar
Sampai tahun 1950-an pendekatan rancangan silabus yang diuraikan dalam bab I sebagian besar sudah cukup untuk mendukung pengajaran bahasa. Fokus pengajaran bahasa Inggris umumnya dalam kesulitan linguistik yaitu pada penggunaan tingkat kosakata. Bahasa Inggris diajarkan hanya pada struktur dan kosakata. Darian (1972, 94) mengomentari materi yang berpengaruh di Michigan yang diproduksi oleh Universitas Michigan, mengeluhkan:

Ada cara “contextual material”, yaitu memilih kalimat untuk latihan. Kalimat yang dipilih adalah kalimat yang sempurna, sedangkan ungkapan yang wajar, tetapi jarang ada kaitan dengan yang lain.

Zaman sekarang banyak pendekatan pengajaran bahasa yang disediakan, seperti pengadaan buku bahasa Inggris untuk perjalan dan perdagangan yang membicarakan beberapa topik, situasi, dan kalimat yang baik dan memfokuskan pada teknik berbahasa Inggris untuk pekerjaan. Tetapi akhirnya, tipe buku atau kursus bahasa yang secara kebetulan menjadi trend di pengajaran bahasa Inggris juga mengajarkan bahasa Inggris secara umum, atau kadang-kadang mengarah ke lain hal. Bahasa Inggris bukan hanya untuk tujuan khusus.

Guru dan peserta didik merupakan komponen utama dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran, guru bertanggung jawab mengatur dan mengelola lingkungan sekolah dan pencapaian tujuan pendidikan sesuai arah yang diinginkan. Guru harus mampu mengelola seluruh proses kegiatan pembelajaran dengan menciptakan kondisi-kondisi belajar sedemikian rupa sehingga setiap peserta didik dapat belajar secara efektif dan efisien (Slameto, 2003: 98). Dalam menciptakan kondisi belajar yang kondusif tidak terlepas dari kemampuan guru dalam memilih pendekatan ataupun metode pembelajaran yang tepat yang sehingga dapat mengarahkan pembelajar pada tujuan yang telah ditetapkan.

Dalam bidang pengajaran, metode adalah rencana penyajian bahan secara menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu. Pendekatan adalah seperangkat asumsi korelatif yang menangani hakikat pengajaran dan pembelajaran bahasa. Metode merupakan rencana keseluruhan bagi penyajian bahan bahasa secara rapi dan tertib, bagian-bagiannya tidak ada yang berkontradiksi, dan kesemuanya itu didasarkan pada pendekatan terpilih.

B.    Pencarian Metode Baru
Pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing menjadi semakin berkembang setelah Perang Dunia ke II. Para imigran, pengungsi, dan mahasiswa asing yang membutuhkan kursus bahasa Inggris semakin meningkat di Inggris, Kanada, Amerika, dan Australia. Peran bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi internasional telah meluas secara cepat pada tahun 1950-an. Banyak mobilitas yang jauh lebih besar dari masyarakat sebagai akibat dari pertumbuhan perjalanan udara dan turis internasional. Pertumbuhan cepat bahasa Inggris sangat penting di dunia perdagangan internasional. Peran bahasa Inggris didukung oleh pertumbuhan radio, film, dan televisi. White (1988: 9) berkomentar:

Pada zaman pertengahan, bahasa Inggris adalah bahasa yang digunakan di daerah-daerah tertentu, sementara bahasa Prancis adalah bahasa negara. Pada abad keduapuluh, bahasa Inggris menjadi bahasa dunia berkat warisan linguistik dari Kerajaan Inggris, munculnya USA sebagai kekuatan terbesar English-Speaking, serta secara kebetulan berkembang pula industri dan teknologi di abad 19 dan 20.

Semua perkembangan ini mendukung perlunya pembelajaran praktis bahasa Inggris bagi orang-orang di berbagai belahan dunia. Penguasaan bahasa secara akademis mungkin bisa didapat salah satunya dalam kursus-kursus tertentu.

Respon awal dari profesi pengajaran bahasa Inggris adalah untuk mengeksplorasi arah baru dalam metodologi. Ini diasumsikan bahwa dalam rangka memenuhi perubahan kebutuhan pelajar bahasa, metode pengajaran yang lebih modern yang diperlukan adalah metode pengajaran yang mencerminkan pemahaman terbaru dari sifat bahasa dan pembelajaran bahasa. Linguistik adalah sumber teori tentang organisasi dan struktur bahasa yang diterapkan dalam penyebab baru "berbasis ilmiah" dalam metode pengajaran. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai beberapa topik di antaranya adalah pendekatan struktural, pendekatan audiolingual, pergantian kebutuhan bagi bahasa asing di Eropa, English for specific purposes, pendekatan komunikatif, dan  munculnya pendekatan kurikulum dalam pengajaran bahasa.

C.    Pendekatan Struktural
Tahun 1950-an dan 1960-an pengajaran bahasa mulai mengembangkan adanya metode. Di Kerajaan Inggris Raya, para linguis mengembangkan metodologi di abad 20-an dan 30-an yang menghubungkan secara hati-hati tingkatan tata bahasa dan leksikal syllabus. Pendekatan itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
  • Silabus yang terstruktur dengan tingkatan level kosakata.
  • Presentasi yang bermakna dengan struktur situasi untuk konteks pengajaran baru.
  • Aktivitas kegiatan kelas dengan metode PPP (Presentasi–Praktik– Produksi).
Pengajaran bahasa situasional, yaitu bahasa diajarkan dengan mempraktikkan atau melatih struktur-struktur dasar dalam kegiatan-kegiatan berdasarkan situasi yang bermakna. Titik pembelajarannya pada penguasaan bahasa lisan. Sebelum pembelajaran, diteliti terlebih dahulu persamaan dan perbedaan bahasa ibu dengan bahasa yang akan diajarkan, terutama persamaan dan perbedaan mengenai; bunyi-bunyi bahasa, perbendaharaan kata-kata, serta struktur kata dan kalimat.

Metode ini dikenal sebagai Pendekatan Situasi atau Pendekatan Struktural-Situasi atau Pendekatan Situasi Mengajar Bahasa. Metode ini kemudian menjadi metode paling mutakhir di lingkungan bahasa Inggris British sejak tahun 1950-an. Buku-buku kursus yang terkenal dengan metode ini adalah seri Robert O’Neill’s Kernal (Longman, 1978). Di negara-negara kolonial, seperti Singapura, administrasi “Kurikulum Bahasa Inggris di sekolah-sekolah menengah pada awal tahun 1950-an diikuti tradisi pengajaran bahasa Inggris di sekolah–sekolah Inggris, dengan fokus studi bahasa dan sastra” (Ho, 1994: 222). Diaplikasikan juga oleh negara koloni yang lain seperti Malaysia, India, dan Hongkong.

Tidak ada ketentuan untuk pekerjaan dan tata bahasa yang dirancang khusus untuk membantu para pelajar. Bahasa Inggris diajarkan di sekolah-sekolah sebagai subjek diskrit dan bertujuan untuk menyiapkan pengetahuan membaca bahasa Inggris siswa melalui studi tata bahasa Inggris dan teks yang dipilih serta menerapkan prinsip-prinsip tata bahasa seperti kosakata. Untuk pemahaman teks-teks tersebut diperlukan bantuan sebuah kamus dwibahasa (Ho, 1994: 222-226).

Kemudian metode ini digantikan oleh sebuah TESL (Teaching English as a Second Language) atau TEFL (Teaching English as a Foreign Language), yaitu pendekatan yang didasari pada silabus struktural dan situasi latihan berbasis metodologi. Pendekatan struktural silabus juga dipakai di Australia sebagai basis untuk mengajar program bahasa Inggris untuk para imigran sejak tahun 1950-an (Ozolins 1993).

D.    Metode Audiolingual
Audiolingual method atau metode audiolingual ini seringkali dinamakan Aural-Oral Approach atau Pendekatan Dengar-Ucap (Djunaidi, 1988: 40). Adapula yang menamakannya Mimicry-Memorization Method atau Metode Meniru-Menghapal. Kadang metode ini juga dikenal sebagai Informant-Drill Method. Metode ini mulai dikenal pada saat Amerika Serikat memasuki Perang Dunia II. Untuk melatih personilnya agar dapat menguasai bermacam-macam bahasa asing secara aktif dalam waktu yang singkat, angkatan darat Amerika Serikat dengan bantuan universitas menyelenggarakan program pengajaran bahasa asing di bawah program latihan khusus angkatan darat.

Pelajaran bahasa asing diberikan dengan sangat intensif dan menggunakan pendekatan aural-oral atau listening-speaking. Karena penyelenggara program sekolah bahasa ini adalah angkatan darat maka tidak mengherankan kalau metode yang digunakannya sering didengar dengan Army Method atau Metode Tentara. Hasil yang dicapai sangat mengesankan sehingga setelah perang berakhir banyak sekolah bahasa atau lembaga bahasa didirikan atas dasar sistem dan metode tersebut, baik di Amerika Serikat atau di negara-negara lain. 

Teori bahasa yang mendasari Aural-Oral Approach adalah teori linguistik struktural. Menurut teori ini bahasa adalah speech atau ujaran dan tulisan merupakan alata perekam bahasa. Ujaran terdiri atas pola-pola kalimat dasar atau struktur bahasa. Bahasa diajarkan melalui latihan-latihan lisan yang intensif dan sistematis dari pola-pola kalimat dasar. Tata urutan bahasa yaitu aural (listening) atau mendengarkan, kemudian oral (speaking) atau berbicara, selanjutnya reading atau membaca, dan writing atau menulis. 

Para penganut teori ini menganggap bahwa bahasa merupakan manifestasi dari tingkah laku manusia yang telah menjadi kebiasaan dan belajar bahasa asing pada hakikatnya adalah pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru. Kebiasaan yang baik dibentuk dengan cara memberikan respon atau tanggapan yang benar dan bukannya pembuatan kesalahan. Kesalahan dapat dikurangi dengan latihan penggunaan pola-pola kalimat yang benar. Keterampilan berbahasa akan dipelajari dengan lebih efektif kalau penyajian lisan mendahului menyajian tulisan. Selanjutnya, analogi memberikan dasar yang lebih baik untuk belajar bahasa daripada analisis. Penjelasan tentang kaidah bahasa tidak diberikan sampai pelajar mendapat cukup latihan untuk dapat menarik kesimpulan secara analogis. Drills atau latihan-latihan memungkinkan pelajar menarik analogi yang benar. Karena itu pengajaran tata bahasa lebih bersifat induktif daripada deduktif.

Tujuan pengajaran bahasa pada tahap awal dipusatkan pada keterampilan mendengarkan dan berbicara. Secara bertahap keterampilan membaca diberikan berdasarkan apa yang telah dikuasi secara lisan dan keterampilan menulis diajarkan berdasarkan apa yang telah dibicarakan dan dibaca. Silabus metode audiolingual adalah silabus linguistik yang berisi pokok-pokok bahasan tentang fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa tersebut yang diatur berdasarkan urutan penyajiannya. Tata urutan pengajaran pola kalimat biasanya didasarkan pada prinsip bahwa pola kalimat sederhana diajarkan terlebih dahulu dari pola kalimat yang lebih kompleks.

Kegiatan belajar-mengajar di kelas sebagian besar terdiri dari dialog dan drill atau latihan-latihan. Dialog digunakan untuk memberikan konteks pola kalimat dan menggambarkan situasi penggunaannya dan mungkin juga aspek kebudayaan dari bahasa tersebut. Latihan yang digunakan ada beberapa macam, yaitu; pengulangan, perubahan bentuk kata yang diulang, penyempurnaan kalimat yang diberikan, perubahan kalimat, dan penggabungan dua kalimat menjadi satu. Metode audiolingual adalah metode yang berpusat pada guru, sedangkan teknik pengajarannya dipusatkan pada ketepataan ujaran. Penjelasan tentang kaidah bahasa diberi porsi sedikit. Bahasa asing yang diajarkan dipergunakan sebagai bahasa pengantar pelajaran.

Di Amerika pada tahun 1960-an, pengajaran bahasa juga di bawah kekuasaan kekuatan Metode Audiolingual. Stern (1974: 63), menjelaskan periode dari tahun 1958 s/d 1964 sebagai “Zaman keemasan aliran audiolingual.” Ini menarik pada karya linguistik struktural Amerika, yang menetukan dasar untuk silabus tata bahasa dan pendekatan pengajaran bahwa tarikan itu lebih ringan di teori aliran Behavioris. Belajar bahasa sudah dipelajari tergantung kelakuan yang dapat dibuktikan dengan cara pengulangan. Linguis Bloomfield (1942:12) menyatakan sebuah prinsip yang menjadi prinsip inti dari audiolingualism: teknik pengajaran yang memanfaatkan pengulangan dialog dan praktik sebagai dasar, untuk otomatisasi diikuti oleh latihan-latihan yang melibatkan pola belajar menransfer ke situasi baru. Rivers (1964) sebelumnya berasumsi tentang audiolingualism sebagai berikut.
  • Kebiasaan diperkuat oleh penguatan.
  • Kebiasaan bahasa asing dibentuk lebih efektif dengan memberikan jawaban yang benar, bukan membuat kesalahan.
  • Bahasa adalah perilaku dan perilaku dapat dipelajari hanya dengan mendorong pelajar untuk berperilaku.
Seri bahasa Inggris Lado (Lado, 1978) adalah didasari pendekatan ini. Metode yang serupa telah dikembangkan di Eropa dan dikenal menjadi metode Audiovisual Disebut metode Audiovisual karena menggunakan visual yang berarti menyajikan dan melatih jenis-jenis bahasa baru.

Daya tarik dengan metode dan pencarian metode yang terbaik menjadi sebuah keasyikan pengajaran bahasa untuk 20 tahun ke depan. Lange mengobservasi (1990: 253) mengungkapkan pernyataan sebagai berikut.

Pengajaran bahasa asing … memiliki orientasi dasar untuk metode mengajar. Sayangnya, “metodologi” baru ini menjadi menonjol tanpa banyak dikaji. Keprihatinan pada metode ini tentunya bukan karena ia adalah metode baru. Daya tarik metode ini berawal dari akhir 1950-an, ketika guru bahasa asing amatir dituntun untuk percaya bahwa ada metode untuk memperbaiki "masalah belajar-mengajar bahasa".

E.    Pergantian Kebutuhan bagi Bahasa Asing di Eropa
Unsur yang hilang dalam untuk metode baru adalah sejauh mana pertimbangan metode pengajaran diperuntukkan bagi kebutuhan pelajar. Jupp dan Hodlin mengangkat masalah ini  tahun 1975.

Peningkatan pengajaran bahasa Inggris (sejak pertengahan 1950-an) disertai pengenalan metode dan materi baru di kelas, terutama sekali sejak 1960-an. Perubahan ini sangat radikal dan dapat disebut pengajaran revolusi. Tapi revolusi ini sudah diikuti dengan situasi atau motivasi pelajar; mengenai bagaimana orang belajar dan apa bahasa itu… mempertimbangkan kenapa orang belajar bahasa kedua atau evaluasi hasil yang lebih ataupun kurang.

Tahun 1969, Konsul Eropa (daerah organisasi negara-negara Eropa memperkenalkan kebudayaan dan pendidikan), yang memperkenalkan pembelajaran bahasa asing yang lebih efektif, memutuskan bahwa:
  • pemahaman penuh akan tercapai antara negara-negara Eropa, jika rintangan bahasa antara mereka dapat dihapus,
  • perbedaan linguistik adalah bagian warisan kebudayaan dan itu harus melewati pelajaran bahasa modern, menambah sumber kekayaan intelektual daripada rintangan kesatuan,
  • hal di atas dapat terpenuhi jika studi mengenai bakan bahasa Eropa modern menjadi pengertian umum di Eropa. (Concil of Europe, 1969: 8).
Agar mendapat tanggapan, pertimbangan ini dapat didasari pada informasi sosial. Van Els, T. Bongaerts, G. Extra, C. Van Os, dan A. Janssen-van Dieten (1984, 159) mengajukan beberapa pertanyaan untuk mempertimbangkan waktu:
  • Apakah mempertimbangkan kepentingan semua anggota komunitas yang tahu bahasa asing ataukah hanya untuk tujuan profesional?
  • Berapa banyak bahasa, dan bahasa apa saja, yang dipelajari/ dibutuhkan?
  • Bagaimana permintaan untuk masing-masing bahasa? Apakah setiap orang membutuhkan keahlian yang sama, atau keahlian tingkat yang sama?
  • Apakah membutuhkan kestabilan pola?

F.    English for Specific Purposes
Berfokus untuk membuat kursus bahasa lebih relevan membutuhkan beberapa periode menjadi Languages for Specific Purposes (LSP), yang sekarang dikenal sebagai English for Specific Purposes (ESP). ESP berfokus pada berikut ini.
  • Kebutuhan dalam menyiapkan pertumbuhan jumlah mahasiswa berlatar belakang nonbahasa Inggris untuk belajar di kampus Amerika dan Inggris dari tahun 1950-an.
  • Kebutuhan dalam menyiapkan materi-materi untuk mengajarkan mahasiswa yang secara umum sudah mahir berbahasa Inggris, namun membutuhkan bahasa Inggris untuk dipakai dalam kepegawaian. Misalnya, mahasiswa yang bukan berlatar belakang bahasa Inggris dokter, namun sedang belajar/ bekerja di negara yang berbahasa Inggris sebagai perawat, Insinyur, atau peneliti.
  • Kebutuhan materi untuk orang yang membutuhkan bahasa Inggris dengan tujuan bisnis.
  • Kebutuhan untuk mengajarkan bahasa yang dibutuhkan untuk urasan pekerjaan pada para imingran.
Martin (1976, mengutip melalui Jordan, 1997: 53) mendeskripsikan daftar kosakata akademi ke dalam 3 kategori:
  1. Proses penelitian: kosakata pertama adalah kata kerja dan kata benda dan menyajikan di konteks yang mendiskusikan 5 langkah penelitian: bentuk, investigasi, menganalisis, menggambarkan kesimpulan, dan melaporkan hasil.
  2. Kosakata analisis: termasuk didalamnya frekuensi dan dua kata akta kerja dibutuhkan agar menyajikan informasi yang rapi. Contohnya, terdiri atas, hasil dari kelompok, menyimpulkan, dasar, dicatat untuk.
  3. Kosakata evaluasi: termasuk di dalamnya kata sifat dan kata keterangan yang ditinjau kembali, kritik, dan beberapa laporan.

Identifikasi pola sebuah teks organisasi fokus pada pendekatan ini. Hoey (1979, 1983) menguraikan, sebagai berikut.
1.    Pembukaan
a)    Menarik pemembaca langsung ke subjek atau masalah.
b)    Menjelaskan mengapa Anda menulis.
c)    Buktikanlah kepada pembaca dengan menunjukkan keyakinan, sikap, dan pengalaman.
2.    Latar belakang
a)    Jelaskan masalah alaminya, sejarah, dan penyebab.
b)    Jelaskan revelansi masalah pembaca,
keinginan dan alasan ketertarikan pada masalah penting kepada pembaca.
3.    Argumentasi
a)    Menyatakan premis mayor.
Termasuk di dalam informasi penting untuk membuat jelas dan dapat diterima.
b)    Menyatakan premis minor, dan termasuk di dalam informasi.
c)    Menyatakan kesimpulan.
d)    Tunjukkan posisi Anda lebih baik.
4.    Kesimpulan
a)    Jelaskan implikasi argumen Anda.
b)    Ringkaskan argument Anda: masalah, kesimpualn dan alasan-alasan untuk diterimanya.

G.    Communicative Language Teaching (CTL)
Communicative Language Teaching adalah pengajaran bahasa secara komunikatif (Djunaidi, 1988: 44).  Menurut pendekatan komunikatif ini tujuan pengajaran bahasa ialah untuk mengembangkan kemampuan komunikatif serta prosedur pengajaran keempat keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis) yang mengakui interdependensi atau saling ketergantungan antara bahasa dan komunikatif. 

Pengajaran bahasa komunikatif  merupakan pendekatan yang luas untuk pengajaran bahasa. Pendekatan komunikatif difokuskan pada komunikasi sebagai prinsip organisasi pada pengajaran, serta difokus pada sistem ketatabahasaan pada bahasa. Pada tahun 1970-an merupakan periode ketika orang-orang menjadi lebih komunikatif.

Pada poin ini, hal yang terpenting adalah untuk menciptakan sebuah perubahan dalam pengajaran bahasa berdasarkan kebutuhan sosial dan kebutuhan pembelajar sebagai sebuah titik awal pada praevaluasi pengajaran bahasa. Ketika satu kebutuhan telah teridentifikasi, target pengajaran akan dapat diidentifikasikan.

Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis. Hal ini relevan bahwa kompetensi pembelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu menyimak, membaca, berbicara, serta menulis. 

Pendekatan komunikatif memandang bahwa bahasa adalah sarana berkomunikasi. Adapun tujuan dari pendekatan ini adalah agar para pembelajar terampil berbahasa, dapat berkomunikasi dengan baik dalam bahasa sasaran. Munculnya pendekatan komunikatif disebabkan adanya ketidakpuasan dari para praktisi dan ahli terhadap pendekatan audiolingual, dikarenakan para pelajar setelah belajar beberapa tahun, tetap belum lancar berkomunikasi dalam bahasa target.

Pendekatan komunikatif adalah istilah yang umum tentang pendekatan yang bertujuan untuk melatih kompetensi komunikatif. Kompetensi komunikatif  yaitu kemampuan untuk berkomunikasi dengan tepat secara sosial tidak hanya membuat kalimat-kalimat yang benar secara gramatikal. Pendekatan komunikatif dimaksudkan agar para pembelajar pada akhirnya dapat menguasai seluruh komunikasi tanpa menganalisis bahasa menjadi satuan-satuan gramatikal atau unsur-unsur kebahasaan seperti pola kalimat, kosakata, dan sebagainya. Maka dari itu, dalam proses pengajarannya pun para peserta didik lebih banyak diberi pengayaan dalam pengalaman-pengalaman berkomunikasi. 

Pendekatan  pengajaran ini berusaha agar kejadian real di masyarakat dapat masuk ke dalam kelas (Yusman, 2010).  Dengan demikian  peserta didik dapat melihat dan mempraktikkan situasi real yang dimaksudkan. Contoh, dalam kelas bahasa, percakapan untuk membeli baju di sebuah toko menjadi sebuah kenyataan.  Artinya kelas tersebut sejauh mungkin dapat diubah seakan-akan menjadi toko mini, di mana peserta didik dapat melihat baju dan bertemu dengan seorang pedagang.

Pendekatan komunikatif berdasarkan pada teori bahasa yang menyatakan bahwa pada hakikatnya bahasa itu merupakan suatu sistem untuk mengekspresikan makna. Teori ini lebih memberi tekanan pada dimensi  semantik dan komunikatif dibandingkan pada ciri-ciri gramatikal bahasa. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa yang berdasarkan pada pendekatan komunikatif, menekankan pembelajar pada belajar berkomunikasi bukan menekankan pada pengetahuan tentang bahasa.

Kegiatan belajar dikembangkan dengan  mengarahkan pembelajar ke dalam komunikasi nyata. Pembelajar dituntut pula untuk menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Teori belajar yang cocok untuk pendekatan ini adalah pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Teori ini beranggapan bahwa proses belajar bahasa lebih efektif apabila bahasa diajarkan secara informal melalui komunikasi langsung di dalam bahasa yang sedang dipelajari.

Perbedaan pokok antara metode audiolingual dan pendekatan komunikatif (Djunaidi, 1988: 44).
  • Metode audiolingual lebih menekankan struktur dan bentuk dari pada makna, sedangkan pendekatan komunikatif lebih menekankan makna dan fungsi daripada bentuk dan struktur.
  • Menurut metode audiolingual belajar bahasa bertujuan untuk menguasai sistem tata bunyi, tata bahasa, dan kosakata. Sedangkan menurut pendekatan komunikatif,  belajar bahasa bertujuan untuk mendapatkan kemampuan komunikatif.
  • Dalam metode audiolingual, guru berperan sebagai pengarah dan pengawas proses belajar. Sedangkan dalam pendekatan komunikatif guru berperan sebagai fasilitator dan motivator proses belajar. 
Communicative language teaching (CTL) adalah pendekatan pengajaran bahwa hasil dari fokus komunikasi sebagai organisasi utama untuk mengajar daripada fokus ke tata bahasa sistem bahasa. Wilkins menguraikan daftar komponen-komponen kemampuan komunikasi lebih efisien, yaitu sebagai berikut.
  1. Mempertimbangkan kemungkinan detail untuk tujuan sebagi target bahasa.
  2. Beberapa ide dijadikan setting ketika mereka ingin menggunakan target bahasa.
  3. Peran sosial akan mengasumsikan para pelajar untuk target bahas mereka.
  4. Acara komunikasi yang mana para partisipans dapat turut serta.
  5. Fungsi bahasa dalam acara komunikasi tersebut, apa yang para pelajar dapat lakukan dan sampaikan.
  6. Pengembanagn nosi.
  7. Keahlian kerjasama, bisa pidato atau keahlian teatrikal.
  8. Varietas target bahasaakan diperlukan dan level ini dalam kemampuan berbahasa bicara maupun menulis.
  9. Isi tata bahasa akan dibutuhkan.
  10. Isi leksikal akan dibutuhkan.

H.    Munculnya Pendekatan Kurikulum dalam Pengajaran Bahasa
Ada emapat pertanyaan yang paling fundamental yang harus dijawab mengenai perkembangan kurikulum dan rencana pembelajaran, sebagai berikut.
  1. Apa tujuan pendidikan yang harus sekolah cari untuk berhasil dalam mencapai tujuan?
  2. Apa pengalaman pendidikan dapat dijadikan tambahan tujuan untuk berhasil dalam mencapai tujuan?
  3. Bagaimana pengalaman pendidikan dapat efektif dan teroganisir?
  4. Bagaimana kita dapat menemukan tujuan untuk berhasil dalam mencapai tujuan? (Tyler,  1950: 1)
Model yang lebih sederhana, terlihat seperti berikut ini.

Maksud dan tujuan
Isi
organisasi
evaluasi

Nicholls dan Nicholls (1972, 4), menguraikan perkembangan kurikulum 4 tahap:
  1. Pemeriksaan cermat, menggambar pada semua sumber yang tersedia pengetahuan dan penilaian, tujuan pengajaran, baik dalam kursus mata pelajaran tertentu atau melalui kurikulum secara keseluruhan.
  2. Penggunaan pengembangan dan uji coba di sekolah-sekolah dari metode-metode dan materi yang dinilai paling suka untuk mencapai tujuan yang disepakati guru.
  3. Dalam penilaian sejauh mana pekerjaan pembangunan pada kenyataannya mencapai tujuannya. ini bagian dari proses dapat diharapkan untuk memprovokasi pemikiran baru tentang tujuan sendiri.
  4. Elemen terakhir adalah karena umpan balik dari semua pengalaman yang diperoleh, untuk memberikan titik awal untuk studi lebih lanjut.
Clark mengidentifikasi komponen proses pembaruan kurikulum sebagai berikut.
  1. Penelaahan terhadap prinsip-prinsip untuk memandu bahasa mengajar/ proses belajar dalam terang teori linguistik terapan dan pengalaman kelas.
  2. Dengan pengerjaan ulang silabus mewujudkan tujuan, sasaran, konten, dan metodologi yang luas.
  3. Meninjau kembali strategi kelas mengajar/ strategi pembelajaran.
  4. Pilihan, adaptasi, dan kreasi sumber mewujudkan pengalaman belajar yang sesuai.
  5. Meninjau kembali desain penilaian untuk memonitor, melaporkan, dan memberikan timbal balik kemajuan pembelajar.
  6. Meninjau kembali skema ruang kelas dan bekerjasama.
  7. Meninjau dan penciptaan desain strategi untuk membantu guru untuk mengevaluasi praktik kelas dan untuk meningkatkan mereka.
  8. Identifikasi daerah-daerah penelitian  untuk menentukan kemungkinan cara tercepat di setiap area.
  9. Meninjau kembali dan merancang pelayanan pendidikan yang dirancang untuk membantu para guru untuk memperluas basis konseptual dan pragmatis di bidang tertentu, dan untuk mencari solusi untuk masalah kelas mereka sendiri.
I.    Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa pendekatan pembelajaran di atas dapat diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia.  Di antaranya adalah pendekatan struktural, pendekatan audiolingual, pendekatan  English for Specific Purposes (ESP) atau yang lebih umumnya disebut dengan Languages for Specific Purposes (LSP) untuk pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing, serta pendekatan komunikatif. Dengan pengaplikasian berbagai pendekatan tersebut, diharapkan pembelajaran bahasa, khususnya bahasa Indonesia berlangsung lebih menyenangkan dan menghasilkan lulusan-lulusan yang berkompeten. Pendekatan serta berbagai metode pembelajaran juga harus selalu berkembang agar mutu pendidikan semakin baik. Berkembangnya pendekatan serta berbagai metode pembelajaran juga memengaruhi perubahan kurikulum yang tentunya mengarah pada perbaikan mutu pendidikan.

J.    Kajian Pustaka

Djunaidi. (1988). Pengembangan materi pengajaran Bahasa Inggris berdasarkan pendekatan linguistik konstransif (teori dan praktek). Jakarta: Depdikbud.

Richard, Jack J. (2001). Curriculum develpomen in language teaching. Cambridge: CambridgeUniversity Press.

Slameto. (2003). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta : PT Rineka Cipta.


Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Kurikulum Pendidikan Bahasa Indonesia
yang Diampu oleh Prof. Dr. Haryadi

oleh:
Immawati Fitri Lestari
Devy Anggraeny Ina Mustafa
Eviana Katika Dewi Yuliati



Penilaian Bahasa: Informasi, Pertimbangan, dan Keputusan

Pengantar
Pendidikan dan pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses untuk mencapai sejumlah tujuan. Penilaian yang dimaksudkan untuk mengukur kadar pencapaian tujuan itu, yang dengan sendirinya juga harus merupakan suatu proses hendaknya dilakukan secara berkesinambungan selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Pemahaman guru terhadap proses penilaian merupakan bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Selama ini, beberapa guru (pendidik) menilai hanya berdasarkan perasaan atau hanya mengandalkan observasi sehingga nilai yang dihasilkan cederung subjektif.

Pada hakikatnya, kegiatan penilaian yang dilakukan tidak semata-mata untuk menilai hasil belajar peserta didik saja, tetapi juga menilai berbagai faktor, antara lain kegiatan pengajaran yang dilakukan itu sendiri. Artinya, berdasarkan informasi hasil belajar dapat dijadikan umpan-balik terhadap pembelajaran yang dilakukan. Ketidakberhasilan ujian bukan semata-mata kegagalan peserta didik tetapi mungkin karena kegagalan pendidik dalam mengajar.

Hasil penilaian pendidik yang diberikan kepada peserta didik dipandang sebagai nasib bagi peserta didik itu sendiri. Artinya, peserta didik yang tidak mendapatkan nilai yang tinggi sulit untuk mendapatkan sekolah yang diinginkan karena lapangan pekerjaan dan sekolah tertentu menjadikan nilai sebagai ukuran. Profesionalisme pendidik dalam penilaian turut menjadi pendukung untuk menentukan nilai seobjektif mungkin. Dengan demikian, maka yang perlu dipahami oleh pendidik adalah hakikat penilaian dan fungsinya, tujuan pembelajaran dan penilaian, serta alat penilaian.

A.    Hakikat Penilaian dan Fungsinya
Penilaian berurusan dengan data kuantitatif dan kualitatif, sedangkan pengukuran yang hanya bagian penilaian itu selalu berhubungan dengan data kuantitatif. Penilaian memerlukan data kuantitatif dari pengukuran. Sebaliknya, pengukuran juga sangat terikat pada penilaian khusus yang berkaitan dengan masalah tujuan dan kriteria yang dipergunakan. Pengukuran dan penilaian ini dilakukan hanya dengan mengambil sampel tentang suatu hal yang akan diketahui karena tak mungkin mengukur semua kemampuan peserta didik, dan peserta didik sendiri tak mungkin menunjukkan semua kemampuannya dalam sebuah proses pengukuran.

Penilaian adalah proses memperoleh dan mempergunakan infomasi untuk membuat pertimbangan yang dipergunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Dengan demikian, terdapat tiga komponen penting penilaian, yaitu informasi, pertimbangan, dan keputusan. Informasi memberikan data-data (baik kuantitatif maupun kualitatif) yang berguna untuk pembuatan pertimbangan. Pertimbangan dimungkinkan tepat jika informasi yang diperoleh dan interpretasi terhadapnya juga tepat. Pertimbangan adalah taksiran kondisi yang ada kini dan prediksi keadaan pada masa mendatang. Keputusan yang diambil berdasarkan kedua komponen tersebut adalah pilihan di antara berbagai arah tindakan atau sejumlah alternatif yang ada.

Langkah-langkah penilaian menurut Buchori (1972) adalah persiapan (berisi penetapan tujuan, aspek yang dinilai, metode, penyusunan alat, penetapan kriteria, dan frekuensi penilaian), pengumpulan data, pengolahan data hasil penilaian, penafsiran, dan penggunaan hasil. Langkah-langkah penilaian menurut Ten Brink (1974) terdiri tahap-tahap persiapan yang berupa pemerincian pertimbangan dan keputusan yang akan dibuat, informasi yang diperlukan dan pemanfaatan yang ada, penentuan waktu dan cara, dan penyusunan alat, tahap pengumpulan data yang diteruskan analisis terhadapnya, dan tahap penilaian yang berupa pembuatan pertimbangan dan keputusan, dan diteruskan dengan pembuatan laporan hasil penilaian.

Tujuan dan fungsi penilaian antara lain adalah untuk mengetahui kadar pencapaian tujuan, memberikan sifat objektivitas pengamatan tingkah laku hasil belajar siswa, mengetahui kemampuan siswa dalam hal-hal tertentu, menentukan layak tidaknya seorang siswa dinyatakan naik kelas atau lulus, dan untuk memberikan umpan-balik bagi kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan.

B.    Tujuan Pembelajaran dan Penilaian
Tujuan pembelajaran dan penilaian yang memberi arah dan pegangan yang jelas, memaksa kita untuk berpijak pada kenyataan dan berpikir secara konkret. Bagi pendidik, pembelajaran dan penilian akan membantu untuk memilih bahan, metode, teknik, dan alat penilaian. Bagi peserta didik, ia dapat dimanfaatkan sebagai pengorganisator dan kerangka kerja untuk memperoleh ilmu.

Tujuan pembelajaran dan output hasil belajar adalah dua hal yang erat berkaitan. Tujuan menyarankan bentuk-bentuk tertentu output pembelajaran, sebaliknya, tingkah laku keluaran belajar merupakan realisasi pencapaian tujuan. Output pembelajaran, oleh Gagne, dibedakan dalam bentuk keterampilan intelektual (yang berisi kemampuan membedakan, konsep, aturan, dan aturan tingkat tinggi), strategi kognitif, informasi verbal, keterampilan motor, dan sikap. Pembagian Bloom yang terkenal dengan sebutan taksonomi Bloom yang terdiri atas aspek kognitif, afektif, dan psikomotor banyak diikuti orang, termasuk kurikulum di Indonesia.

Proses identifikasi tujuan khusus merupakan proses analisis dan identifikasi output pembelajaran. Tujuan khusus menyaran pada tingkah laku output pembelajaran yang operasional, artinya mudah diamati diukur dengan alat penilaian. Tiap tujuan khusus harus mengandung unsur sasaran, tingkah laku yang diharapkan, kondisi sewaktu dinilai, dan kriteria keberhasilan. Tidak seperti halnya tujuan umum, tujuan khusus memiliki cakupan bahan yang terbatas.

Penyusunan alat penilaian harus mendasarkan diri pada tujuan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Alat penilaian dikatakan memenuhi kriteria kelayakan jika dapat mengukur output yang konsisten dengan tujuan. Tujuan akan menentukan tingkah laku guru dan murid dan bentuk output yang terukur.

Bahan pembelajaran merupakan pengantara tujuan dan alat penilaian. Dengan kata lain, ia merupakan sarana tercapainya tujuan dan sumber penyusunan alat penilaian. Karena bahan pembelajaran memegang peranan penting, ia perlu dideskripsikan secara terinci karena hal itu juga dapat dimanfaatkan untuk menguji kesahihan isi alat penilaian itu sendiri.

C.    Alat Penilaian
Ada dua macam alat penilaian yaitu, teknik tes dan teknik nontes. Baik teknik tes maupun nontes keduanya dapat dimanfaatkan secara efektif jika dipergunakan secara tepat, dan itu tergantung dari tujuan penilaian. Teknik nontes misalnya berupa kegiatan kuesioner, wawancara, pengamatan, dan pengukuran kecenderungan tertentu dengan mempergunakan skala. Skala merupakan suatu kesatuan sebagai penanda unit-unit yang bersifat angka yang disusun secara berjenjang. Tiap jenjang melambangkan sikap dan keyakinan tertentu.

Teknik wawancara baik secara bebas maupun terpimpin, dalam kaitannya dengan penilaian kebahasaan, dapat dipergunakan juga untuk menilai keterampilan, kelancaran, dan kefasihan berbicara siswa dalam bahasa yang diajarkan. Kegiatan pengamatan baik yang berstruktur maupun tak berstruktur dapat dimanfaatkan untuk menilai tingkah laku hasil belajar bahasa peserta didik yang terlihat dalam kegiatan sehari-hari. Tingkah laku dalam situasi seperti itu bersifat wajar, tidak dibuat-buat, dan lebih mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.
Tes adalah seperangkat tugas atau pertanyaan yang dipergunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan, atau bakat yang dimiliki seseorang atau kelompok. Dan segi jawaban siswa, tes dapat dibedakan ke dalam tes perbuatan dan tes verbal. Tes buatan pendidik disusun berdasarkan tujuan-tujuan khusus dan deskripsi bahan yang disusun guru untuk mengukur keberhasilan siswa mencapai tujuan, jadi yang terpenting dapat dipertanggung­jawabkan dari jenis kesahihan isi. Tes buatan guru biasanya tingkat ketepercayaannya rendah atau tak diketahui.

Tes standar disusun berdasarkan tujuan-tujuan umum seperti yang terdapat dalam kurikulum. Oleh karena telah mengalami beberapa kali uji coba dan revisi, tes standar dapat dipertanggungjawabkan dari segi kelayakan, kesahihan, ketepercayaan, dan ketertafsiran. Tes standar berguna untuk melengkapi informasi tertentu tingkat hasil belajar peserta didik, membuat perbandingan prestasi peserta didik, dan berfungsi diagnostik.

Tes kemampuan awal dapat dibedakan menjadi pretes, yang dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan peserta didik sebelum mengalami proses belajar, tes prasyarat, yang dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan tertentu disyaratkan untuk masuk pendidikan tertentu, dan tes penempatan yang dimaksudkan untuk menempatkan siswa sesuai dengan kemampuannya.

Tes diagnostik dimaksudkan untuk menemukan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam hal tertentu untuk kemudian diremidi. Tes formatif dimaksudkan untuk mengukur kadar keberhasilan peserta didik mencapai tujuan, yaitu berkaitan dengan pokok bahasan yang baru saja diselesaikan dalam proses belajar-mengajar. Bagi pendidik, tes formatif dapat untuk menilai efektivitas pengajaran, sedang bagi peserta didik dapat berfungsi sebagai penguat.

Tes sumatif dimaksudkan untuk mengukur kadar pencapaian peserta didik terhadap tujuan umum, yang meliputi seluruh bahan yang diprogramkan pada periode tertentu. Informasi tes sumatif dipergunakan untuk menentukan prestasi peserta didik, naik-tidak dan atau lulus­tidak-nya seorang peserta didik, serta untuk membuat laporan kepada pihak tertentu.

Tes esai merupakan tes proses berpikir yang melibatkan aktivitas kognitif tingkat tinggi, menuntut kemampuan peserta didik untuk menerapkan pengetahuan, menganalisis, menghubungkan konsep-kon­sep, menilai, dan memecahkan masalah. Kelemahan pokok tes esai adalah rendahnya kadar kesahihan dan ketepercayaan akibat terbatasnya sampel bahan, jawaban peserta didik yang bervariasi, dan penilaian yang bersifat subjektif. Untuk mengurangi sifat subjektif dalam penilaian, perlu ditentukan kriteria penilaian yang menyangkut isi, organisasi, proses, kesimpulan dan alasan dengan bobot yang tidak harus sama.

Tes objektif menghendaki hanya satu jawaban yang benar, maka penilaiannya dapat secara objektif, cepat, dan dapat dipercaya. Karena jumlah soal relatif banyak, tes objektif dapat mencakup bahan secara lebih menyeluruh. Tes objektif yang baik tidak mudah disusun, memerlukan waktu lama, dan ada kecenderungan pendidik hanya terpusat pada pokok bahasan dan tingkatan aspek kognitif tertentu. Dalam mengerjakannya, siswa dapat bersifat untung-untungan.

Tes objektif dapat berupa benar-salah, pilihan ganda, melengkapi, dan penjodohan. Tes benar-salah bisa dipakai karena hasil belajar yang berupa penguasaan pengetahuan verbal yang dinyatakan dalam bentuk proposisi dapat dinyatakan secara benar atau salah. Tes pilihan ganda merupakan tes benar-salah dengan pernyataan salah lebih banyak. Tes isian adalah tes pilihan ganda tapi siswa mengisi sendiri pilihan yang benar, sedang penjodohan semua pernyataan yang benar ditunjukan sekaligus.

Tes yang baik adalah yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi kelayakan (appropriateness), kesahihan (validity), ketepercayaan (reliability), efektivitas butir soal, dan kepraktisan (practicality). Kelayakan tes berkaitan dengan masalah apakah suatu tes dapat mengukur output hasil belajar yang konsisten dengan tujuan; apakah semua tujuan telah memiliki alat ukur yang sesuai; apakah jumlah butir soal per tujuan telah mencerminkan kadar pentingnya tujuan; dan apakah semua butir soal telah mengacu ke tujuan tertentu.

Butir-butir tes harus mencerminkan materi pelajaran yang diajarkan. Semua bahan yang diajarkan perlu diambil tesnya, dan sebaliknya, tes harus hanya terbatas pada bahan yang diajarkan. Untuk memudahkan pengecekan hal itu, pembuatan soal hendaknya mendasarkan diri pada tabel spesifikasi. Kelayakan tes dalam hal ini, merupakan salah satu jenis kesahihan, kesahihan isi.

Kesahihan tes menunjuk pada pengertian apakah suatu tes dapat mengukur apa yang akan diukur. Tes yang sahih akan dapat membedakan siswa yang memang berkemampuan yang lebih baik daripada yang sebaliknya. Kesahihan tes yang baik akan mengungkap semua tingkatan aspek kognitif, dan tidak hanya terbatas pada beberapa tingkatan kognitif yang sederhana saja.

Kesahihan tes dibedakan berdasarkan analisis rasional, kesahihan isi dan konstruk atau konsep, dan berdasarkan data empirik, serta kesahihan kriteria atau ukuran. Kesahihan isi menunjuk pada pengertian apakah suatu tes mempunyai kesejajaran dengan tujuan deskripsi bahan yang diajarkan. Tujuan dan bahan biasanya dikembalikan kepada kurikulum, maka kesahihan isi disebut juga sebagai kesahihan kurikuler. Di pihak lain, kesahihan konstruk menunjuk pada pengertian apakah tes yang disusun telah sesuai dengan konstruk ilmu bidang studi yang diteskan. Kesahihan ukuran mempermasalahkan seberapa jauh peserta didik yang sudah diajar dalam bidang tertentu mempunyai kemampuan yang tinggi daripada yang belum diajar. Jika subjeknya sama, membandingkan hasil belajar itu dapat mendasarkan diri pada hasil pretes dan postes.

Pengujian kesahihan dalam berbagai jenis di atas merupakan pengujian kesahihan secara keseluruhan. Pengujian tingkat kesahihan dapat dilakukan secara per butir soal, yaitu dengan mengorelasikan skor-skor tiap butir tes dengan skor keseluruhan. Tes yang kesahihannya tinggi, biasanya tinggi pula kesahihan butir­butirnya, walau mungkin terdapat beberapa butir tes yang kurang sahih.

Ketepercayaan tes menunjuk pada pengertian apakah suatu tes dapat mengukur secara konsisten sesuatu yang akan diukur dari waktu ke waktu. Konsisten berarti (i) tes dapat memberikan hasil yang relatif tetap terhadap sesuatu yang diukur, (ii) jawaban siswa terhadap butir-butir tes relatif tetap, (iii) hasil tes diperiksa siapa pun menghasilkan skor yang kurang lebih sama.

Hasil pengukuran tidak hanya mencerminkan berapa banyak peserta didik berhasil dalam belajar, tetapi juga bagaimana keakuratan tes itu sendiri. Keakuratan tes akan memengaruhi skor yang diperoleh siswa, maka skor itu tidak akan secara sempurna mencerminkan kemampuan yang sebenarnya. 

Pengujian reliabilitas tes dengan teknik bentuk paralel dilakukan dengan menyediakan dua perangkat tes yang bersifat paralel atau ekuivalen. Setelah kedua perangkat tes itu dicobakan, hasilnya dikorelasikan. Untuk meningkatkan keterpercayaan butir tes, hendaknya dibuat butir-butir tes yang secukupnya. Butir tes yang semakin banyak akan semakin mempertinggi tingkat ketepercayaan tes, walau se­telah dalam jumlah tertentu peningkatan itu kecil.

Peningkatan ketepercayaan tes juga dilakukan dengan memilih butir-butir soal yang indeks tingkat kesulitan dan daya bedanya memenuhi persyaratan. Untuk keperluan ini, kita perlu melakukan analisis butir soal. Bahasa yang dipergunakan dalam tes harus jelas, mudah dipahami, tidak bersifat ambigu, dan tidak membingungkan, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Kondisi pelaksanaan tes harus dikontrol sebaik-baiknya agar hal itu tidak memengaruhi penampilan peserta didik. Dalam memeriksa pekerjaan peserta didik, kita harus menghindari sifat subjektivitas diri, terutama dalam tes esai. Oleh karena itu, sebelum memeriksa pekerjaan peserta didik hendaknya membuat pedoman penilaian.

Analisis butir adalah analisis hubungan antara skor-skor butir soal dengan skor keseluruhan, membandingkan jawaban peserta didk terhadap suatu butir soal dengan jawaban terhadap keseluruhan tes. Tujuan analisis adalah membuat tiap butir tes konsisten dengan keseluruhan tes dan menilai efektivitas tes sebagai alat pengukuran.
Analisis butir dilakukan untuk mencari indeks tingkat kesulitan, daya beda, dan efektivitas distraktor. Butir soal yang baik adalah yang tidak terlalu sukar atau terlalu mudah yang indeksnya berkisar antara 0,20 sampai dengan 0,80, yang mampu membedakan antara peserta kelompok kelompok tinggi dan rendah yang indeks daya bedanya paling tidak sebesar 0,20 serta semua distraktor yang disediakan dipilih.

Penghitungan indeks tingkat kesulitan dan daya beda dapat dilakukan dengan mempergunakan tabel analisis butir soal. Untuk maksud ini, kita harus mencapai proporsi jawaban betul kelompok tinggi dan kelompok rendah, baru kemudian mengkonsultasikannya kepada tabel. Butir soal yang indeks tingkat kesulitan dan daya bedanya tidak memenuhi persyaratan disarankan untuk direvisi.

Distraktor seharusnya dipilih oleh siswa kelompok rendah secara lebih banyak. Jika terjadi sebaliknya, kelompok tinggi yang lebih banyak memilih, atau ada distraktor yang tak dipilih, distraktor yang bersangkutan disarankan untuk direvisi. Tingkat ketepercayaan tes esai dihitung dengan rumus alpha, sedang indeks tingkat kesulitan serta indeks daya bedanya dicari dengan mempergunakan rumus yang berbeda dengan tes objektif.

Sebuah tes yang baik di samping layak, sahih, dan tepercaya, juga harus memenuhi kriteria kepraktisan. Kriteria kepraktisan dapat dilihat dari segi keekonomisan, kemudahan pelaksanaan, penskoran, dan penafsiran. Sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran, penilaian adalah sebuah proses yang melibatkan banyak aspek yang saling terkait. Pelaksanaan penilain yang baik harus dilakukan secara terencana dengan baik yang melibatkan komponen terkait. Hal ini dimaksudkan agar penilaian dapat dipertanggungjawabkan hasilnya sehingga dapat dimanfaatkan sesuai dengan keperluan. Untuk itu, kegiatan pengembangan alat penilaian perlu mengikuti langkah-langkah sebagi berikut. Alat penilaian yang dimaksud dapat berupa ujian semester, tengah semester, atau untuk keperluan yang lain.

1.    Penentuan Spesifikasi Ujian
Dalam penentuan spesifikasi ujian (tes) ini paling tidak terdapat empat hal yang perlu dilakukan, yaitu penentuan kompetensi dasar, pembuatan deskripsi bahan uji, pembuatan kisi-kisi, dan penentuan bentuk soal dan lama (waktu) ujian.
a.    Penentuan Kompetensi Dasar
Semua kegiatan pengujian pasti dimaksudkan untuk mencapai tujuannya. Dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran, ujian dimaksudkan untuk mengukur seberapa banyak peserta didik dapat mencapai kompetensi yang dibelajarkan atau dipelajari. Kompetensi yang diukur kadar capaiannya adalah kompetensi dasar, dan kompetensi dasar itu dijabarkan dari standar kompetensi. Dalam kurikulum yang digunakan, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pengujian dilakukan dengan berangkat dari kompetensi dasar. Standar kompetensi dan kompetensi dasar telah dituliskan pada kurikulum. Dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, standar kompetensi dikaitkan dengan keempat lemampuan berbahasa, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis, serta kesastraan sehingga kompetensi dasar juga akan terkait pokok-pokok bahasan tersebut. kompetensi dasar mana saja yang akan diujikan dalam sebuah ujian tinggal mengambil dari kurikulum.
b.    Pembuatan Deskripsi Bahan Uji
Jika kompetensi dasar yang akan ditagih capaiannya telah jelas, pengembangan bahan ajar yang akan dibelajarkan untuk meraih kompetensi yang dimaksud akan relatif mudah dilakukan. Pembuatan deskripsi bahan ajar yang meliputi materi pokok dan uraian materi haruslah dilakukan untuk memastikan bahan ajar apa saja yang akan diujikan. Sebetulnya, dalam pembuatan rencana program pembelajaran (RPP) tentunya deskripsi bahan ajar yang dimaksud juga telah dilakukan. Dengan demikian, dalam rangkaian pengembangan alat pengujian, kita tinggal menunjuk kembali bahan-bahan yag telah disebut RPP itu.
c.    Pembuatan Kisi-kisi Pengujian
Pengembangan alat pengujian harus mengukur semua kompetensi dasar (yang tercermin dalam bahan ajar dan indikator) secara proporsional terhadap semua kompetensi dasar yang diujikan. Proporsional tidak dimaknakan sma persis jumlah butir soal untuk tiap indikator, melainkan berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya pentingnya sebuah kompetensi dasar untuk mendukung capaian standar kompetensi atau diperlukan untuk mendukung capaian konpetensi yang lain. Agar kegiatan pengembangan dapat dilakukan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan, pembuatan butir-butir soal harus mendasakran diri pada kisi-kisi yang sengaja dirancang untuk maksud itu. Dengan kata lain, sebelum menulis butir-butir soal, terlebih dahulu harus membuat kisi-kisi. Kisi-kisi itulah yang harus dijadikan acuan menulis butir-butir soal.
d.    Penentuan Bentuk Soal dan Lama Ujian
Selanjutnya harus juga direncanakan bentuk soal yang akan dipilih, misalnya apakah bentuk objektif dengan segala subjenisnya (pilihan ganda, benar-salah, pejodohan, isian singkat), uraian objektif, uraian esai (nonobjektif), atau gabungan dari beberapa bentuk tersebut. dalam ujian akhir di sekolah,pilihan yang banyak dilakukan adalah soal objektif pilihan ganda. Selain itu, untuk menentukan berapa jumlah butir soal yang akan diujikan, harus memperhitungkan waktu yang tersedia. Lama waktu ujian menentukan berapa banyak soal yang mesti dibuat. Kiranya tidak bijaksana jika waktu yang tersedia relatif pendek, tetapi jumlah butir soal yang dibuat banyak. Demikian pula sebaliknya. Untuk itu, perlu dibuat perkiraan berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengerjakan tiap butir soal sehingga antara keduanya terdapat kesesuaian.

2.    Penulisan Butir Soal
Penulisan butir soal tidak lain adalah membuat tagihan sesuai dengan tuntutan indikator dan yang sesuai pula dengan bahan ajar. Jadi, butir-butir soal haruslah cocok dengan bunyi “tuntutan” indikator yang bersangkutan sebagaimana tercermin pada kata kerja operasionalnya. Misalnya, jika indikator menuntut peserta didik untuk mampu menulis, maka mereka harus benar-benar berunjuk kerja menulis, dan tidak sekadar memilih. Secara umum, penulisan butir-butir soal harus mendasarkan diri pada kisi-kisi yang telah dibuat sebelumnya. Selain terkait dengan tuntutan tiap indikator, penulisan itu juga terikat dengan bentuk soal, jumlah soal per indikator, dan jumlah keseluruhan butir soal. Yang pasti, ketika menulis butir-butir soal juga melihat rambu-rambu yang digunakan untuk telaah butir soal agar tidak banyak revisi.

3.    Penelaahan Butir Soal
Kebiasaan yang sering terlihat adalah begitu guru selesai menulis soal, baik untuk ujian tengah semester, akhir semester, atau untuk tagihan yang lain, akan langsung diujikan kepada peserta didik tanpa melakukan telaah terlebih dahulu terhadap alat tes yang bersangkutan. Kebiasaan itu, walaupun terlihat praktis, sebenarnya kurang baik dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu disebabkan alat tes yang ditulis tersebut belum tentu memenuhi berbagai tuntutan butir soal yang baik yang meliputi unsur materi, konstruksi, maupun bahasa. Padahal, sebagai alat uji keberhasian pembelajaran, agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, ia harus memenuhi persyaratan sebagai alat tes yang baik.

Untuk memastikan bahwa butir-butir soal yang ditulis telah memenuhi tuntutan soal yang baik, sebelum diujicobakan  haruslah terlebih dahulu dilakukan telaah butir soal. Dengan telaah butir soal akan ditemukan berbagai kesalahan atau kekeliruan yang dapat mengganggu, dan sebaliknya, juga dapat dipastikan kualitas butir soal yang bersangkutan. Jika terdapat sejumlah kesalahan, kekeliruan, dan kekurangtepatan akan dapat dilakukan revisi, pembenahan-pembenahan yang diperlukan. Penelaahan sebaiknya dilakukan oleh orang lain yang ahli di bidangnya (sekaligus berfungsi sebagai “penilai”, expert judgement) atau oleh sejawat. Jika telaah dilakukan oleh penulis soal sendiri, biasanya kurang teliti karena penulis boleh jadi hanya “membaca” yang ada di konsep pikiran dan bukan yang di atas kertas.

Penelaahan butir soal dapat disebut juga sebagai telaah kualitatif-redaksional. Kegiatan ini mengandalkan pertimbangan logika, baik yang menyangkut logika keilmuwan (materi), logika penyusunan butir soal (konstruksi), maupun cara membahasakan soal (bahasa). Itulah sebabnya penelaah haruslah dilakukan oleh orang yang ahli di bidang atau sebidang dengan mata pelajaran yang bersangkutan. Dengan demikian, jika terjadi kesalahan atau kekeliruan yang terkait dengan latar keilmuwan, ia dapat mengritisi dan menyarankan revisi. Penelaahan harus dilkukan secara cermat dan objektif.  Jika  dimungkinkan, penelaahan sebaiknya dilakukan oleh lebih dari satu orang sehingga dapat saling melengkapi.

Penelaahan biasanya mempergunakan lembar telaah yang telah disiapkan, dan paling lazim adalah untuk soal objektif bentuk pilihan ganda. Lembar telaah yang dimaksud berisi penyataan-pernyataan yang harus terpenuhi oleh tiap butir soal yang secara garis besar berisi tiga tuntutan dari segi materi, konstruksi, dan bahasa. Tiap aspek dijabarkan menjadi sejumlah pernyataan. Kegiatan penelaahan dilakukan dengan mencermati tiap butir soal dan mencocokkannya dengan butir-butir kriteria pada lembar telaah. Jika sesuai dengan kriteria diberi tanda contreng (√) dan jika sebaliknya diberi tanda hubung (-). Butir-butir yang memunyai ketidaksesuaian dengan tuntutan kriteria harus direvisi atau jika terdapat beberapa ketidaksesuaian harus diganti. Alat evaluasi yang telah ditulis berdasarkan kisi-kisi dan diketahui telah sesuai dengan kriteria lembar telaah dapat dinyatakan sebagai telaah yang memenuhi validitas isi (content validity) sebuah alat tes. Validitas isi adalah validitas alat evaluasi yang harus terpenuhi dalam pengembangan alat evaluasi hasil pembelajaran.

Berikut adalah salah satu bentuk lembar telaah butir soal tes bentuk pilihan ganda. Namun, perlu dicatat bahwa lembar telaah memiliki beberapa model. Model-model itu biasanya menampilkan unsur-unsur kriteria (persyaratan) untuk tiap komponen, yaitu materi, konstruksi, dan bahasa, yang belum tentu sama. Tetapi, ada juga model yang tidak menyebut ketiga komponen itu. Namun, pada intinya tiap model menampilkan sederet persyaratan yang harus dipenuhi oleh tiap butir soal yang akan diujikan. Hasil telaah yang dilakukan sejawat harus ditindaklanjuti dengan revisi jika ada saran-saran perbaikan. Penulis soal harus berbesar hati jika diberi saran perbaikan.

4.    Pelaksanaan Uji Coba
Jika semua persyaratan penyusunan butir soal telah selesai dilakukan, langkah berikutnya adalah melakukan uji coba alat evaluasi di kelas. Uji coba adalah pelaksanaan pengukuran dengan mempergunakan instrumen tes yang telah dikembangkan. Dari pelaksanaan pengukuran inilah diperoleh data empirik yang menunjukkan kualitas dan informasi tentang alat tes yang bersangkutan. Misalnya, informasi tentang efektivitas butir-butir soal (tingkat kesulitan, daya beda, butir pengecoh), validitas empirik, reliabilitas, dan lain-lain yang dibutuhkan. Agar hasil uji coba mampu memberikan informasi yang benar, pelaksanaannya harus dilakukan sedemikian rupa sehingga semua berjalan sesuai dengan harapan.

Uji coba alat tes ini amat dibutuhkan jika kita bermaksud menghasilkan alat tes yang benar-benar baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, untuk keperluan pengujian di kelas sendiri, uji coba tersebut sekaligus dimaknai sebagai pelaksanaan tes yang sebenarnya. Artinya, hasil ujian itulah yang dimaknai sebagai capaian peserta didik menguasai berbagai kompetensi yang dibelajarkan. Para guru, tampaknya, tidak melakukan uji coba terhadap alat tes yang dikembangkannya untuk mengukur capaian peserta didik sendiri.

5.    Analisis Butir Soal dan Jawaban
Hasil uji coba alat tes memberikan data empirik untuk keperluan berbagai analisis kuantitatif untuk menilai kualitas alat tes yang bersangkutan dan/ atau melakukan tindak lanjut penilaian. Analisis kuantitatif yang dimaksud bermacam-macam yang pelaksanaanya tergantung kebutuhan, dan beberapa di antaranya adalah analisis butir soal dan analisis jawaban per indikator. Analisis butir soal amat diperlukan kita bermaksud mengembangkan alat evaluasi yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan terutama jika kita bermaksud, misalnya menggunakannya dalam penelitian. Di pihak lain, analisis jawaban butir soal per indikator per kemampuan dasar dipergunakan sebagai masukan umpan balik pembelajaran.

a.    Analisis Butir Soal
Analisis butir soal dapat pula dilakukan dengan mendasarkan pada teori pengukuran klasik dapat pula dengan teori pengukuran modern. Analisis butir soal untuk teori pengukuran klasik biasanya dilakukan untuk menghitung indeks tingkat kesulitan (ITK), indeks daya beda (IDB), dan efektivitas distraktor. Indeks tingkat kesulitan akan memberikan informasi tentang seberapa mudah atau sulit sebuah butir soal, indeks daya beda tentang daya sebuah butir membedakan kelompok tinggi dan kelompok rendah, sedangkan efektivitas distraktor tentang kemampuan distraktor untuk mengecoh peserta ujian.

Jika untuk keperluan penilaian kelas sendiri, teori pengukuran klasik lebih praktis digunakan para pengajar. Analisis butir soal dapat dilakukan secara manual dan lewat program komputer. Analisis yang mempergunakan komputer (program Iteman) sekaligus menghasilkan indeks reliabilitas Alpha Cronbach. Namun, apapun teori yang dijadikan dasar analisis, analisis butir soal memberikan informasi yang berharga tentang kualitas tiap butir soal yang diujicobakan. Berdasarkan informasi dari kerja analisis butir inilah kemudian dilakukan pernaikan-perbaikan seperlunya.

b.    Analisis Jawaban
Analisis jawaban tidak lain adalah hasil pengukuran per indikator per kemampuan dasar yang dilakukan dengan menghitung jawaban benar dan salah peserta didik untuk seluruh butis soal yang diujikan. Analisis dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan dasar mana saja yang sudah dikuasai peserta didik dan mana yang belum. Seorang peserta didik, misalnya, telah mampu menjawab dengan benar sebesar 80% dari seluruh butir soal yang diujikan dan sisanya yang 20% gagal dijawab dengan benar. Untuk mengetahui dengan pasti indikator dan kemampuan dasar mana saja yang sudah dikuasai dan sebaliknya diperlukan informasi tentang hal tersebut. hal itu berarti diperlukan kerja analisis jawabana per peserta didik per indikator per kemampuan dasar. Berdasarkan hasil telaah itu dapat ditentukan tindak lanjut yang akan diambil, apakah perlu adanya program remidial, pengayaan, atau akselerasi.

Sebuah indikator dan kemampuan dasar dinyatakan dikuasai oleh peserta didik jika tingkat penguasaannya minimal 75%. Jika indikator tertentu dan kemampuan dasar tertentu masih rendah tingkat ketercapaiannya, harus kembali dibelajarkan lewat program remidial. Peserta didik yang tingkat pencapaiannya masih di bawah standar minimal harus diberi program remidial, sedangkan yang sudah memenuhi diberi program pengayaan. Program remidial dapat bersifat individual atau klasikal jika hampir seluruh kelas masih belum mencapai tingkat penguasaan. Jadi, pada intinya adalah ada umpan balik pembelajaran berdasarkan hasil pengukuran sebelumnya, dan hal ini merupakan salah satu fungsi penilaian. Untuk itu, analisis jawaban soal ujian menjadi sebuah keniscayaan.

6.    Perbaikan Butir Soal dan Perakitan Soal Ujian
Hasil kerja analisis butir soal memberikan informasi tentang kondisi tiap buti soal yang diujicobakan. Hasil kerja itu antara lain berupa informasi tentang butir-butir soal yang berindeks kesulitan memenuhi persyaratan dan yang tidak, berdaya beda cukup dan yang tidak, serta butir-butir pengecoh yang efektif dan yang kurang efektif. Bahkan, jika analisis dilakukan dengan komputer, masih banyak informasi lain yang diperoleh dan di antaranya yang amat penting adalah indeks reliabilitas dan kesalahan baku pengukuran. Berdasarkan informasi tersebut dapat dilakukan perbaikan terhadap butir-butir soal tertentu yang perlu diperbaiki, sedangkan yang sudah baik tidak perlu. Bahkan, terhadap butir-butir soal tertentu yang tidak memenuhi persyaratan harus dibuang dan diganti butir soal yang lain jika jumlah keseluruhan butir yang dibutuhkan kurang. Setelah butir-butir soal diperbaiki, butir soal tersebut dirakit untuk dijadikan sebuah perangkat tes yang jadi dan siap digunakan untuk keperluan pengujian.

7.    Pelaksanaan Ujian
Setelah melewati berbagai langkah di atas, penyusunan alat tes sudah selesai dan tinggal kegiatan ujian, sesuai dengan temat dan waktu yang tentunya sudah direncanakan. Agar hasil pengukuran dapat memberikan hasil yang benar, pelaksanaannya harus dilakukan sebaik mungkin dengan pengawasan yang cermat, tetapi tidak mengganggu peserta ujian. Pelaksanaan ujian harus dilakukan dengan serius tetapi tidak menimbulkan tekanan bagi peserta didik.

8.    Penafsiran Hasil Ujian
Pelaksanaan pengujian (setelah diskor) akan menghasilkan data empirik kuantitatif yang berwujud skor-skor untuk tiap peserta didik. Sejalan dengan proses penilaian, skor-skor tersebut ditafsirkan untuk memberikan makna capaian peserta didik. Paling tidak ada tiga makna yang dapat ditafsirkan dari hasil pengujian. Pertama, pemberian makna untuk menentukan nilai seorang peserta didik yang lazimnya diberikan dalam wujud angka atau huruf. Ada dua cara menafsirkan hasil ujian tersebut, yaitu berdasarkan pendekatan acuan kriteria dan pendekatan acuan norma. Namun, untuk menilai hasil belajar peserta didik yang lebih tepat adalah menggunakan acuan kriteria.

Kedua, skor seorang peserta didik dapat juga dimaknai sebagai seberapa banyak ia dapat menyerap, menguasai, atau melakukan berbagai kompetensi yang dibelajarkan. Jika seorang peserta didik mendapat skor 51 dari kemungkinan skor tertinggi 60, hal itu dapat dimaknai bahwa ia mampu menguasai materi pembelajaran sebesar 85%. Artinya, ia telah mencapai tingkat penguasaan. Ketiga, tinggi-rendahnya capaian peserta didik juga dapat diartikan sebagai keberhasilan atau kegagalan guru mereka. Tinggi-rendahnya capaian tersebut dapat dilihat dari rata-rata hitung peserta didik dalam satu kelas. Jika rata-rata hitung ≥75%, hal itu dapat ditafsirkan kelas yang bersangkutan telah mencapai penguasaan minimal.

Kesimpulan
Penilaian adalah proses memperoleh dan mempergunakan infomasi untuk membuat pertimbangan yang dipergunakan sebagai dasar pengambilan informasi. Dengan demikian, terdapat tiga komponen penting penilaian, yaitu informasi, pertimbangan, dan keputusan.

Tujuan dan fungsi penilaian antara lain adalah untuk mengetahui kadar pencapaian tujuan, memberikan sifat objektivitas pengamatan tingkah-laku hasil belajar peserta didik, mengetahui kemampuan peserta didik dalam hal-hal tertentu, menentukan layak-tidaknya seorang peserta didk dinyatakan naik kelas atau lulus, dan untuk memberikan umpan-balik bagi kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan.

Alat penilaian dapat dibedakan menjadi dua macam, teknik tes dan teknik nontes. Baik teknik tes maupun nontes keduanya dapat dimanfaatkan secara efektif jika dipergunakan secara tepat, dan itu tergantung dari tujuan penilaian.

Daftar Pustaka
Burhan Nurgiantoro. (1994). Penilaian dalam pengajaran bahasa dan sastra. Yogyakarta: BBFE-Yogyakarta.
Depdikbud. (1983). Penilaian dalam pendidikan. Jakarta: Dikti.
Abdul Ghofur. (2004). Pedoman umum pengembangan penilaian. Jakarta: Puskur.
Dali S. Naga. (1992). Pengantar teori skor pada pengukuran pendidikan. Jakarta: Gunadarma.
Ngalim Purwanto. (2002). Prinsip-prinsip dan teknik evaluasi pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumarna Surapranata. (2004). Panduan penulisan tes tertulis implementasi kurikulum 2004. Bandung: Remaja Rosdakarya.