oleh: Immawati Fitri Lestari
Pengantar
Musik merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui musik, manusia mengekspresikan perasaan, harapan, aspirasi, dan cita-cita. Melalui musik pula manusia dapat merepresentasikan pandangan hidup dan semangat zamannya. Oleh karena itu, melalui musik, kita juga bisa menangkap ide-ide dan semangat yang mewarnai pergulatan zaman yang bersangkutan.
Indonesia adalah negeri yang kaya dengan berbagai karya seni, khususnya seni musik, yang mewakili pandangan hidup dan semangat zamannya. Salah satu era yang penting dalam perjalanan bangsa ini adalah Orde Baru yang dimulai dengan naiknya Jenderal Soeharto ke tampuk pimpinan pemerintahan pada penghujung 1960-an sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada penghujung 1990-an.
Salah satu grup musik yang sempat mewarnai era Orde Baru adalah Swami, dengan Iwan Fals sebagai ikonnya. Mereka telah menelurkan sejumlah album. Salah satu yang paling hits adalah album Swami I. Lirik-lirik lagu dalam album Swami I ini mewakili pandangan hidup mereka, sekaligus mengekspresikan semangat zamannya. Untuk memahami lirik-lirik lagu yang ditampilkan dalam album Swami I, kita perlu meninjau konteks kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia pada era tersebut.
Penghujung 1980-an adalah saat rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto mencapai puncak kekuatannya. Pemerintah Soeharto menjadikan ekonomi sebagai panglima dan seluruh elemen masyarakat dimobilisasi di bawah panji pembangunan.
Konsep utama pembangunan adalah perbaikan mutu kehidupan rakyat. Dalam pembangunan, seharusnya tercakup unsur perubahan yang berdimensi sosial, kultural, dan ekonomi, serta bersifat kualitatif dan kuantitatif. Namun, seperti yang banyak terjadi di negara berkembang, pembangunan di Indonesia telah direduksi maknanya menjadi “pertumbuhan ekonomi” (economic growth) semata sehingga pembangunan secara sederhana berarti pertumbuhan pendapatan setiap orang di daerah yang secara ekonomis terbelakang.
Namun harus diakui, pembangunan ekonomi yang substansial memang pernah berjalan di Indonesia. Pada tahun 1966, pendapatan per kapita tahunan di Indonesia sekitar US$ 75. Ekonomi ini terus tumbuh lewat utang luar negeri dan sumbangan sektor migas. Pertumbuhan ekonomi riil selama tahun 1980-an dan 1990-an hampir selalu berkisar antara 6 sampai 7 persen per tahun. Inflasi tahunan rata-rata masih dapat ditekan di bawah level 10 persen. Perbaikan yang berarti juga dicapai dalam pemberantasan tuna aksara di kalangan orang dewasa, peningkatan usia harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi, dan pembatasan tingkat pertumbuhan penduduk lewat program KB.
Berbagai hasil ini mendorong Bank Dunia untuk menjadikan Indonesia sebagai contoh model sukses pembangunan. Indonesia diajukan sebagai tolok ukur kinerja negara-negara berkembang lain dalam Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) 1990, yang disusun oleh Bank Dunia.
Namun, ada harga yang harus dibayar untuk “kesuksesan ekonomi” itu. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tersebut, pemerintah memerlukan kestabilan politik di dalam negeri. Selanjutnya, dengan dalih perlunya stabilitas politik, pemerintah bersikap represif dan memberlakukan sejumlah aturan otoriter.
Pers dan media massa dikontrol ketat. Media yang kritis dibredel dan dilarang terbit. Jumlah partai politik dibatasi, dan mereka tidak boleh masuk ke desa-desa. Sementara pegawai negeri dan anggota keluarga ABRI dipaksa memilih Golkar, partai penguasa waktu itu. Lewat para pejabat, Golkar justru leluasa masuk ke desa-desa.
Tokoh-tokoh oposisi yang kritis dipenjarakan atau disingkirkan, sedangkan kebebasan berekspresi di bidang seni juga ditindas, khususnya kalangan seniman yang tidak sejalan dengan kepentingan rezim. Jika diperlukan, pemerintah juga tidak segan-segan menggunakan cara-cara represif, demi “menjaga ketertiban masyarakat” dan “melancarkan jalannya roda pembangunan”.
Karena yang dinomorsatukan adalah pertumbuhan ekonomi, sementara distribusi ekonomi atau pemerataan kesejahteraan tidak menjadi prioritas, maka terjadilah kesenjangan antara kelompok elite atau mereka yang diuntungkan oleh pembangunan, dan rakyat yang tertinggal atau ditinggalkan dalam proses pembangunan. Pembangunan nasional yang berlandaskan pada Trilogi Pembangunan hanya semakin menjadi narasi besar dan sebuah mitos belaka.
Ada sejumlah konglomerat, pengusaha, birokrat, dan pejabat yang karena kedekatan dengan penguasa, menikmati kue pembangunan. Sebaliknya, banyak rakyat kecil yang hidupnya tertekan. Teori bahwa kemakmuran di kalangan atas pada akhirnya akan mengalir ke bawah (trickle-down effect) dan dinikmati oleh kalangan bawah, ternyata tidak terbukti. Yang kaya bisa semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.
Presiden Soeharto pun diduga memiliki kekayaan miliaran dollar pada tahun 1989. Jika digabung dengan harta istri dan anak-anaknya, ditambah lingkaran kroni sipil dan militernya, jumlah tersebut membengkak sampai puluhan miliar dollar. Keakuratan angka ini mungkin bisa diperdebatkan, tetapi fakta bahwa Soeharto beserta keluarga dan kroni-kroninya telah menumpuk kekayaan dengan memanfaatkan kekuasaan, nampaknya disepakati oleh banyak pengamat.
Strategi politik dan ekonomi Soeharto—yang bermotivasi pengumpulan harta besar-besaran bagi segelintir manusia, sementara mengesampingkan kepentingan mayoritas penduduk—telah ditanamkan di Indonesia sejak akhir tahun 1960-an. Sayangnya, sistem politik Indonesia yang otoriter menyulitkan berjalannya pengawasan yang efektif terhadap pihak-pihak yang ingin menggunakan kekayaan negara untuk keuntungan pribadi.
Kesenjangan semacam inilah yang dilihat para anggota Swami dalam interaksinya sebagai seniman dengan masyarakat sehari-hari. Gambaran suram dan memrihatinkan inilah yang memberi inspirasi pada karya-karya mereka, yang bercorak kritik sosial. Pihak yang kaya dan berkuasa asyik dengan ambisi dan kenikmatan hidupnya sendiri, sementara rakyat kecil yang seharusnya disejahterakan ternyata nasibnya malah diabaikan.
Album Swami I dipilih karena album ini dianggap mewakili semangat zamannya. Salah satu ukuran keterwakilan itu adalah respons positif masyarakat terhadap album serta lagu-lagu di dalamnya, yang bisa dilihat dari angka penjualan. Album Swami ini meledak di pasaran. Angka penjualan album ini sangat tinggi, hingga mencapai 800 ribu kopi dalam jangka waktu satu bulan. Padahal, angka penjualan tersebut dicapai tanpa promosi besar-besaran. Swami I berhasil mencapai sukses di pasar industri musik Indonesia dengan lagu-lagu yang sarat dengan kritik sosial sekaligus menghibur.
Hampir semua lagu di album Swami I ini menjadi hits, tetapi yang dikategorikan sebagai hits besar Swami adalah lagu “Bento” dan “Bongkar”. Sebentar saja lagu "Bento" menjadi trade mark Iwan Fals. Di mana ada Iwan di situ ada "Bento". Sementara lagu "Bongkar" dinobatkan sebagai Lagu Indonesia Terbaik No. 1 Sepanjang Masa oleh Majalah Rolling Stone.
Grup Musik Swami
Swami adalah grup musik yang dibentuk oleh Setiawan Djodi, Iwan Fals, Sawung Jabo, Innisisri, Naniel, dan Nanoe pada tahun 1989. Swami dijadikan nama grup, atas usul Sawung Jabo yang berasal dari plesetan “suami” karena semua anggotanya berstatus suami. Kesepakatan awal para anggota Swami adalah membentuk grup untuk jangka waktu tiga tahun. Oleh karena itu, Swami membubarkan diri pada 1991.
Tidak lama setelah dibentuk, Swami berhasil mengeluarkan album yang diberi judul "Swami I". Dalam album Swami I yang berformat kaset, terdapat sepuluh lagu yang masing-masing side memuat lima lagu. Dalam side A termuat lagu-lagu, dengan data musisi yang menciptakan lagu tersebut. Lengkapnya adalah sebagai berikut.
Side A
1. Bento (Iwan Fals/ Naniel ) –SWAMI
2. Bongkar (Iwan Fals/ Sawung Jabo) –SWAMI
3. Badut (Iwan Fals/ Sawung Jabo/ Naniel) –SWAMI
4. Esek.Esek..Udug.Udug.. (Iwan/ Jabo/ Naniel) –SWAMI
5. Potret (Iwan Fals/ Sawung Jabo/ Naniel) –SWAMI
Sementara dalam side B, lagu-lagu yang dimuat dengan data musisi yang menciptakannya adalah sebagai berikut.
Side B
1. Bunga Trotoar (S Djody/ Iwan/ Jabo/ Naniel) –SWAMI
2. Oh... Ya! (Iwan Fals/ Sawung Jabo/ Naniel) –SWAMI
3. Condet (Iwan Fals/ Naniel) –SWAMI
4. Perjalanan Waktu (Iwan Fals/ S.Jabo/ Naniel) –SWAMI
5. Cinta (Iwan Fals/ Sawung Jabo/ Naniel) –SWAMI
Album "Swami I" diproduksi pada tahun 1990 oleh Airo Records Productions, suatu perusahaan rekaman yang dapat dikelompokkan sebagai minor label. Pada sampul album ini nama Iwan Fals dicantumkan di atas nama Swami, atas usulan Setiawan Djodi. Pertimbangannya adalah tanpa nama Iwan Fals, album Swami tidak akan dilirik. Dengan demikian Iwan Fals-lah yang dijadikan trade mark, bukan Sawung Jabo dengan grup Sirkus Barock-nya.
Saat itu Iwan Fals dinilai sebagai musisi yang berani mengritik korupsi dalam pemerintah yang berkuasa (terutama pada masa rezim Orde Baru) dan yang lirik-liriknya menyentuh hati berbagai kalangan masyarakat (terutama rakyat kecil). Hal ini menjadi istimewa mengingat tidak banyak artis yang memiliki keberanian dan karakter merakyat seperti Iwan Fals. Kebanyakan artis pop pada masa itu dipandang kurang peka pada masalah-masalah sosial sehingga ada yang mengatakan bahwa musik Iwan Fals merupakan suara rakyat (voices of people). Faktor utama yang menyebabkan popularitas lagu-lagu Iwan Fals dan kelompok musik Swami adalah tema musik yang mengambil inspirasinya dari kehidupan sehari-hari sehingga meninggalkan kesan memasyarakat, serta kritik sosialnya yang dinilai berani.
Masuknya Setiawan Djodi ke dalam kelompok Swami merupakan suatu anomali. Pada satu sisi kelompok Swami adalah kelompok musik yang mengusung lagu-lagu protes sosial sebagai tema utamanya, pada sisi lain Setiawan Djodi adalah bagian dari kelas sosial yang diprotes. Setiawan Djodi dikenal sebagai seorang konglomerat kaya raya, yang punya hubungan dekat atau perkawanan dengan putra-putra Presiden Soeharto.
Popularitas memang tidak otomatis identik dengan kualitas karya. Namun, dalam melihat kualitas musik Swami, harus dipahami bahwa seni (modern) tidak hanya identik dengan keindahan, melainkan meliputi kategori-kategori lainnya, seperti tragis dan ketidakharmonisan (sebagai kebalikan dari keselarasan), serta pemberontakan. Manusia memang tidak selalu menjadi homo estheticus, melainkan juga manusia sosial, yang berakar pada sejarah dan kondisi sosial-masyarakat tertentu sehingga tidak mengherankan, jika dalam menciptakan sebuah karya seni seorang seniman akan mendapat pengaruh pula dari lingkungan dan zamannya.
Pembuatan Lagu
Menurut pengakuan Iwan Fals, sebagai bagian dari grup Swami, semua lagu yang dibuatnya jujur dan memiliki peristiwa, meskipun ada unsur pendramtisasian. Unsur pendramatisasian paling tampak pada lagu-lagu pesanan.
Secara pasti Iwan Fals juga menyatakan bahwa tujuannya membuat lagu adalah untuk dijual dan laku. Namun, antara pilihan laku dan suara hati, Iwan menyatakan suara hati adalah pilihannya, meskipun unsur ingin laku selalu memengaruhinya. Hanya saja pada saat membuat syair, tidak ada urusannya dengan itu.
Lagu “Bongkar”, misalnya, pada awalnya bukan seperti yang sudah ada di album rekaman "Swami I". Gagasan lagu "Bongkar" berasal dari beberapa kasus penggusuran yang terjadi pada saat Orde Baru, seperti kasus Kedung Ombo, Kaca Piring, dan Way Jepara. Kemudian Sawung Jabo mengusulkan perubahan lagu “Bongkar” dan disetujui oleh anggota Swami.
Perubahan dilakukan dengan tidak membahas kasus per kasus dalam setiap lagu. Iwan melihat usulan Sawung Jabo tersebut sebagai pemikiran yang tepat, karena lagu “Bongkar” lebih langsung mengenai sasaran, lebih otentik dan jujur. Sementara “Bento” mengusung metafora penguasa yang dikritik di dalam “Bongkar”.
Keberadaan Iwan Fals, yang dikenal dengan lagu-lagunya yang penuh dengan kritik sosial, sebagai anggota grup band SWAMI menjanjikan bahwa album "Swami I" diwarnai oleh lirik lagu yang bersifat mengritik penguasa. Memang jika dilihat dari permukaan, nampaknya dua lirik lagu ini ditandai dengan kritikan terhadap penguasa dan penindasan yang mereka lakukan kepada masyarakat miskin. Kedua lirik lagu mengangkat dua kelas sosial yang saling berseberangan, yaitu kelas bawah yang tertindas dan kelas atas yang menindas.
Kelas bawah diwakili oleh lirik lagu “Bongkar” sementara kelas atas diwakili oleh lirik lagu “Bento”. Kelas bawah dalam kedua lirik ini digambarkan sebagai kelompok orang yang tertindas oleh kemiskinan, kesewenangan, dan keserakahan penguasa.
Bento: Satire terhadap Penguasa
Lirik lagu “Bento” yang diciptakan oleh Iwan Fals dan Naniel adalah lagu yang dinyanyikan Iwan Fals. Telah kita ketahui bahwa banyak lagu Iwan Fals banyak yang menggunakan tema kritik sosial dan pemerintah. Liriknya tentang seorang pengusaha serakah dan korup. Bisnisnya “menjagal apa saja” asal dia senang dan persetan orang susah.
“Bento” artinya ‘goblok’ dalam dialek Jawa Timuran. Ketika mengarang “Bento”, Iwan sempat memperhatikan seorang pengusaha, yang kaya dan kejam, punya rumah real estate. Karakter Bento dibuatnya dari pengusaha ini.
Sebagaimana teori semiotik Roland Barthes yang digunakan dalam pembahasan ini, keseluruhan lirik lagu “Bento” diambil untuk menentukan dan mengetahui makna kritik sosial yang terkandung dalam lirik lagu tersebut. Gagasan umum adalah sebagai konklusi dari bait-bait yang ada dalam kontruksi lirik lagu, seperti pada salah satu bait dibawah ini (bait 1).
Namaku Bento rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku boss eksekutif
Tokoh papan atas atas segalanya
Asyik
Kata “nama” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna ‘panggilan orang’ akan tetapi dengan penambahan imbuhan -ku berarti menamai dirinya Bento dan diartikan bahwa penyair menujukkan lirik lagu ini adalah penggambaran yang serupa yang ada di dalam lirik lagu “Bento”.
“Bento” dalam bahasa sehari-hari di Rembang sering ditujukan pada hal-hal yang berbau ketidakwarasan, perilaku yang dianggap tidak pantas, pemikiran yang bodoh, atau bahkan diucapkan karena jengkel yang berlebihan. Maka, jangan sekali-kali sembarangan mengucapkan kata “bento” di Rembang.
Iwan Fals membuat lagu yang berjudul “Bento” tapi itu berbeda arti dengan Bento-nya orang Rembang, dan Bento-nya orang Jepang. Lagu “Bento” Iwan Fals ini menurut kabar adalah singkatan untuk menyindir salah satu penguasa negeri kita saat itu karena memang Iwan Fals terkenal dengan lagu-lagu yang kritikan untuk pemerintah.
Kata “bento” pada lirik di atas sebenarnya belum secara pasti dan tegas ditujukan kepada tokoh/ orang yang jelas. Lirik lagu pada bait ini penulis menyampaikan suatu kisah yang terjadi dalam masyarakat, karena menurut Iwan Fals sendiri terinspirasi dari seorang pengusaha, yang kaya dan kejam, punya rumah real estate. “Tapi saya nggak perlu sebut (namanya). Saya nggak kenal pribadi, kenal jarak jauh,” katanya ketika melakukan proses taping untuk acara Kick Andy di Metro TV.
Karakter Bento dibuatnya dari pengusaha ini tidak disangka menjadi sangat kontroversial saat pertama dirilis karena sarat dengan kritikan terhadap sistem pemerintahan Indonesia saat itu karena saat itu masa orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Banyak persepsi mengenai lagu ini ada yang mengatakan lagu “Bento” diasosiasikan dengan singkatan dari Benteng Soeharto. Ada juga yang berpendapat bahwa “Bento” adalah Benny Soeharto yang merupakan nama kecil dari Hutomo Mandala Putra atau yang lebih dikenal dengan nama Tommy Soeharto, anak bungsu Presiden Soeharto. “Bento” juga kerap disebut sebagai akronim Benci Soeharto.
Terlepas dari itu, makna bait pertama lirik ini bahwa seseorang yang bernama Bento memamerkan kekayaannya yang banyak. Ia memiliki status sosial dan kekuasaan yang tinggi. Bento di dalam lagu ini adalah seseorang pengusaha papan atas.
Kata “berlimpah” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna ‘mewah, dan serba banyak’. Ini ditandai dengan tingkat kekayaan yang dipamerkannya: rumah, mobil, dan harta. Pemakaian kata “real estate” yang berasal dari bahasa Inggris menunjukkan bahwa rumah yang dimaksud bukan rumah biasa, melainkan rumah yang memiliki nilai sosial tertentu. Mobil yang dimilikinya juga tidak hanya satu, tetapi banyak yang semakin diperkuat dengan harta yang berlimpah untuk mengukuhkan kedudukannya sebagai tokoh kelas atas.
Untuk memperlihatkan kedudukannya, ia memosisikan dirinya sebagai boss eksekutif. Kata “boss” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menunjukkan bahwa ia berada pada puncak pimpinan sehingga memiliki kekuasaan yang besar atas bawahannya. Kata “eksekutif” dapat memiliki dua arti karena dapat berarti ‘top managemen dari suatu perusahaan’, dapat juga mengacu pada badan eksekutif pemerintahan. Tidak cukup dengan memperlihatkan posisi strukturalnya, Bento menegaskan bahwa ia merupakan tokoh papan atas, atas segalanya yang dapat diartikan bahwa ia menganggap dirinya sebagai tokoh masyarakat di dalam segala bidang.
Lagu ini menceritakan sebuah jabatan dapat mengubah karakter seseorang menjadi lebih mendahulukan nafsunya ketimbang jabatan yang mereka pegang. Seperti anggota DPR seringkali disorot tajam oleh publik dikarenakan gaya hidup yang berlebihan yang jauh sekali dari konsep merakyat. Seringkali ditemukan di area parkir mobil gedung DPR deretan mobil mewah yang seakan–akan berlomba mana yang paling mahal. Seperti pada cuplikan artikel berikut:
Menurut Badan Kehormatan (BK), penampilan mewah anggota DPR dapat menimbulkan sorotan negatif dari publik. Padahal, sebagai wakil rakyat, anggota Dewan harus menjaga citra, martabat, kehormatan, dan kredibilitas DPR.Anggota Dewan pernah dikritik lantaran bergaya hidup hedonis. Hal itu terlihat dari deretan mobil mewah dengan harga miliaran rupiah di area parkir mobil anggota Dewan.(Sandro Gatra, “Anggota DPR Diminta Tak Pakai Mobil Mewah” KOMPAS.com, 7 Februari 2012).
Lirik lagu “Bento” diciptakan oleh Iwan Fals dan Naniel. Iwan Fals yang bernama lengkap Virgiawan Listanto lahir di Jakarta, 3 September 1961. Ia adalah seorang penyanyi beraliran balada yang menjadi salah satu legenda hidup di Indonesia yang akan mengantarkan kita pada suatu isu yang hendak coba disuarakan oleh mereka yaitu tentang kritik sosial.
“Bento” adalah judul lagu yang menggema di penjuru negeri pada tahun 1990-an. Penggambaran lirik lagu “Bento” adalah seseorang pengusaha papan atas, hal ini terbukti dengan isi bait pertama lirik lagu, yaitu Bento adalah bos eksekutif, memiliki rumah yang mewah, mobil yang banyak, dan harta yang berlimpah.
Wajahku ganteng banyak simpanan
Sekali lirik oke sajalah
Bisnisku menjagal, jagal apa saja
Yang penting aku senang aku menang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik
Sekali lagi asyik...
Deksripsi diri yang dilakukan Bento pada bait kedua lirik lagu tersebut memperlihatkan nada sombong dan pongah. Ia tampak begitu menikmati kedudukan, kekayaan dan keberhasilannya. Ia bahkan melanjutkan deskripsi dirinya dengan menyombongkan wajahnya yang ganteng yang menjadikannya pujaan banyak wanita. Banyak simpanan yang mengacu pada wanita yang sekali dilirik mau dijadikan simpanannya merupakan suatu cara untuk menunjukkan bahwa kekuasaannya tidak berhenti pada materi dan kedudukan, tetapi juga manusia. Secara implisit pernyataan ini menunjukkan bahwa kekuasaannya begitu besar sehingga ia dapat dengan mudah menjatuhkan orang lain yang diinginkannya.
Lagu "Bento" direkam di Condet pada bulan April 1989. Lagu “Bento” ini merupakan salah satu lagu yang berisi kritik-kritik sosial terhadap pemerintahan Orde Baru yang terjadi pada akhir 90-an. Orde baru merupakan suatu rezim yang telah memberikan berbagai catatan sejarah panjang dari kekuasaan otoriter yang menghegemoni masyarakat. Kekuasaan negara yang begitu kuat membelenggu sendi-sendi kehidupan setiap warga negara.
Kritikan tersebut sebagai reaksi terhadap kondisi sosial pada waktu itu, telah menjadi inspirasi bagi perubahan sosial dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan karya seni yaitu sebagai motivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna, sebagai pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat menangkat situasi dan kondisi alam semesta.
Di dalam karya ini juga berisikan tentang kritik-kritik terhadap pejabat-pejabat yang menggunakan kedudukan untuk memperkaya dirinya. Mereka ditampilkan sebagai orang-orang yang menikmati kue pembangunan, punya banyak uang, harta, rumah mewah, dan jabatan tinggi, serta berkuasa, bisa berbuat semaunya, hidup enak, dan nyaman. Mereka asyik dengan kenikmatan hidupnya sendiri, dan tidak peduli dengan hidup orang lain yang ditindas atau menjadi korban aksi manipulasinya.
Lagu tersebut memberikan warna perlawanan yang cukup radikal di masa itu hingga penguasa merasa risih dengan konser-konser dan lantunan lagu-lagu yang terlalu kritis mengritisi pemerintah. Lagu “Bento” cukup kontroversial menurut Iwan Fals:
“Lagu tersebut menceritakan penindasan. Tapi pada waktu itu diplintir oleh siapa saya nggak tahu. Kan menarik waktu itu Bento muncul singkatan-singkatan di media. Benteng Soeharto, Benci Soeharto. Buat jualan media itu bagus. Saya sempat bangga juga soal itu. Kan ditulis oleh koran-koran hahaha…”
Bento di sini dikisahkan sebagai seorang yang tampan, berkuasa dan kaya raya. Namun Bento ternyata licik, dia memanfaatkan kekuasaannya untuk menumpuk kekayaan, menipu dan menerima upeti. Dalam kesehariannya Bento menutupi keburukannya dengan selalu bicara soal moral dan keadilan ini merupakan makna sesungguhnya dari lirik lagu “Bento”.
Khotbah soal moral omong keadilan
sarapan pagiku
Aksi tipu-tipu lobbying dan upeti
woh... jagonya...
Maling kelas teri bandit kelas coro,
itu kan tong sampah
Siapa yang mau berguru, datang padaku
Sebut tiga kali namaku:
Bento... Bento... Bento...
Asyik... Asyik!!!
Bento juga memperlihatkan dirinya sebagai penipu ulung yang tidak memiliki rasa bersalah. Ia bahkan memroklamasikan dirinya sebagai penjahat paling top, jauh di atas maling dan bandit. Secara keseluruhan deskripsi Bento tentang dirinya sebenarnya merupakan suatu strategi untuk membongkar apa yang ada di balik kekayaan dan keberhasilan yang tampak dari luar tanpa harus menudingkan jari kepada orang lain karena Bento membuka kedoknya sendiri. Pengulangan kata asyik semakin menekankan bahwa kesenangan dan kepuasan adalah yang paling penting baginya. Ia tidak perduli pada akibat yang ditimbulkannya pada orang lain.
Inilah gambaran riil dari kuatnya negara pada waktu Orde Baru. Orde Baru merupakan suatu rezim yang telah memberikan berbagai catatan sejarah panjang dari kekuasaan otoriter yang menghegemoni masyarakat. Kekuasaan negara yang begitu kuat membelenggu sendi-sendi kehidupan setiap warga negara. Kenyamanan dan keserasian yang diciptakan dengan bingkai represif, penggunaan aparat negara dalam penciptaan tatanan tersebut ternyata menjadi bara dalam sekam (bahaya laten), yang akhirnya meledak menjadi benturan keras antara rakyat dan negara hingga jatuhnya rezim orde baru di tangan rakyat dan kelas menengah pada tahun 1998. Sebelum terjadinya gelombang perlawanan besar-besaran hingga tergulingnya Orde Baru pada Tahun 1998.
Selama Orde Baru, banyak jadwal acara konser Iwan yang dilarang dan dibatalkan oleh aparat pemerintah, karena lirik-lirik lagunya dianggap dapat memancing kerusuhan. Pada awal karirnya, Iwan Fals banyak membuat lagu yang bertema kritikan pada pemerintah. Beberapa lagu itu bahkan bisa dikategorikan terlalu keras pada masanya, sehingga perusahaan rekaman yang memayungi Iwan Fals tidak berani memasukkan lagu-lagu tersebut dalam album untuk dijual bebas. Berikut beberapa lagu yang bernada kritik terhadap hegemoni rezim Orde Baru.
1. Sarjana Muda Sarjana Muda / 1981 Kritik terhadap menyempitnya lapangan kerja.
2. Galang Rambu Anarki / 1982 Kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat.
3. Wakil Rakyat Wakil Rakyat / 1987 Kritik terhadap anggota dewan yang tidak memperjuangkan hak-hak rakyat.
4. Bongkar / 1989 Kritik terhadap penguasa yang otoriter.
Iwan Fals dikenal sebagai salah seorang seniman garda depan melawan penindasan yang dilakukan rezim represif Soeharto pada dekade 1980-an. Namun penyanyi folk legendaris ini secara terbuka menyatakan terima kasih dan kekagumannya kepada Orde Baru pimpinan Presiden Ke-2 RI, Soeharto.
“Saya terus terang berterimakasih kepada Orde Baru karena mereka berjasa ikut melahirkan lagu-lagu seperti `Guru Oemar Bakrie`, `Wakil Rakyat`, `Bento`, `Bongkar`, dan sebagainya. Kalau nggak ada Orde Baru, nggak ada yang namanya Iwan Fals. Saya berterima kasih untuk itu. Tapi ini tidak berarti saya setuju dengan segala tindakannya selama berkuasa,” jelas Iwan ketika melakukan proses taping untuk acara Kick Andy di Metro TV pada Rabu (27/1/2010) malam.
Kritik Sosial (Menurut Walzer,1985 30) suatu aktifitas yang berhubungan dengan penilaian (judging), perbandingan (comparing), dan pengungkapan (revealing) mengenai kondisi sosial suatu masyarakat yang terkait dengan nilai- nilai yang dianut, dijadikan dan diekspresikan melalui musik. Musik selalu memiliki simbol yang dikemas sedemikian rupa hingga menjadi media penyampai pesan yang efektif bagi masyarakat. Pesan yang terkandung dalam musik beragam, pesan tentang cinta, kerinduan hingga pesan perjuangan yang mengandung aspirasi tertentu demi perubahan. Iwan Fals merupakan sosok musisi yang cukup konsisten dalam perjuangan menggugat Orde Baru. Kritik-kritik pedas dan lugas selalu dilontarkan dalam setiap karyanya. Wacana kritik dalam karya Iwan Fals ternyata didukung oleh sebagian besar masyarakat terutama lapisan bawah, karena lagu tersebut mewakili dan menyuarakan hati nurani rakyat. Dukungan itu termanifestasikan dengan terbentuknya fans fanatik yang sering disebut Oi (Orang Indonesia).
Bentuk-bentuk kritik sosial yang telah dipaparkan dalam lagu “Bento”, kritik sosial dapat dikelompokkan berdasarkan pengekspresiannya dalam dua jenis, yakni kritik yang dilakukan secara terbuka dan kritik yang dilakukan secara tertutup atau terselubung (Sepriana Yolandi Ataupah, 2012).
1. Kritik sosial secara terbuka berarti kegiatan penilaian, analisis atau kajian terhadap keadaan suatu masyarakat tertentu yang dilakukan secara langsung.
2. Kritik sosial yang dilakukan secara terselubung dapat berupa tindakan-tindakan simbolis yang menyiratkan penilaian maupun kecaman terhadap keadaan sosial suatu masyarakat secara tidak langsung.
Bila dihubungkan dengan lagu “Bento”, menurut Aristoteles (328-322 SM), musik adalah sesuatu yang dapat dipakai untuk memulihkan keseimbangan jiwa yang sedang goyah, menghibur hati yang sedang goyah dan merangsang rasa patriotisme dan kepahlawanan. Seni musik adalah suatu tiruan seluk-beluk hati dengan menggunakan melodi dan irama. Fungsi musik adalah mengungkapkan ide-ide. Pemusik yang bisa mengungkapkan ide-ide biasanya adalah pemusik yang kritis. Lirik lagu merupakan ekspresi seseorang tentang suatu hal yang sudah dilihat, didengar ,maupun dialaminya.
Lagu “Bento” karya Iwan Fals merupakan kritik sosial yang dilakukan secara terselubung dapat berupa tindakan-tindakan simbolis yang menyiratkan penilaian maupun kecaman terhadap keadaan sosial suatu masyarakat secara tidak langsung. Kritik ini ditujukan terhadap penguasa/ eksekutif pada masa Orde Baru. Di dalam karya ini juga berisikan kritik-kritik terhadap pejabat-pejabat yang menggunakan kedudukannya untuk memperkaya diri.
Bongkar: Nyanyian Murung Berbahaya
Majalah Rolling Stone Indonesia telah mengumumkan posisi teratas dari 150 Lagu Indonesia Terbaik Sepanjang Masa melalui edisi istimewa di seluruh penjuru negeri. Lagu nomor satu terbaik sepanjang masa versi Rolling Stone tersebut adalah “Bongkar” milik grup Swami yang diciptakan Iwan Fals bersama Sawung Jabo dan rilis pada tahun 1989.
“Bongkar” yang kini sering didengungkan Iwan Fals di salah satu iklan kopi ini menduduki posisi puncak daftar lagu legendaris sepanjang masa setelah melalui proses pemilihan yang melibatkan 53 musisi, kritikus musik, jurnalis serta para pelaku industri musik nasional, di antaranya Yon Koeswoyo (Koes Bersaudara & Koes Plus), Addie MS, Dwiki Dharmawan, Log Zhelebour, Dewa Budjana, Armand Maulana, Remy Soetansyah, Theodore KS, Denny MR, Denny Sakrie, David Tarigan dan sebagainya.
“Jika sebuah lagu dianggap mampu mewakili kenyataan sosial, jika kesenian dianggap mampu mengungkap sejarah hingga ke titik paling autentik, maka "Bongkar" adalah sebuah fakta tak terbantahkan,” tulis Denny MR, pengamat musik senior yang menulis resensi tentang lagu ini di edisi istimewa tersebut.
“Kriteria yang kami sepakati bersama dari lagu-lagu yang terpilih ini adalah lagu tersebut harus diciptakan WNI, memberikan inspirasi, berasal dari wilayah musik populer, tergabung dalam album, kompilasi atau single yang dirilis, masuk di playlist radio nasional serta bukan karya yang menjiplak karya lagu lain,” tulis Adib Hidayat, managing editor Rolling Stone Indonesia. Sebelumnya Majalah Rolling Stone Indonesia juga telah menerbitkan beberapa edisi istimewa yaitu, 150 Album Indonesia Terbaik Sepanjang Masa (2007) dan The Immortals: 25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa (2008).
Swami adalah grup yang digagas Iwan Fals pada tahun 1988 tak lama setelah rencana Tur 100 Kota album “Mata Dewa” dicabut izinnya oleh Mabes Polri tanpa alasan yang jelas. Pada zaman Orde Baru, konser-konser musik yang bernuansa protes atau kritik kepada pemerintah memang sangat dikekang.
Selain Iwan Fals, Swami terdiri atas Sawung Jabo (gitar, vokal), Naniel (flute, perkusi), alm. Innisisri (drums), Nanoe (bass, vokal), Tatas (keyboards), dan Jerry (gitar). Sayangnya, usai rekaman Tatas dan Jerry mengundurkan diri hingga posisinya digantikan oleh kibordis Yockie Suryoprayogo dan gitaris Totok Tewel.
Panggung pertama Swami terjadi di sebuah acara ulang tahun sebuah kelompok pemanjat tebing dan hanya dibayar Rp 200 ribu saja. Sebelum akhirnya dibubarkan pada tahun 1992, Swami sempat merilis dua album (Swami I dan Swami II) yang melejitkan hits antara lain “Bongkar”, “Bento”, “HIO”, “Kuda Lumping.”
Jika di tahun 2009 “Bongkar” terpilih sebagai lagu nomor satu sepanjang masa, maka 20 tahun sebelumnya, 1989, zaman dimana rezim Orde Baru Soeharto sedang ganas-ganasnya berkuasa, lagu ini sebenarnya nyaris tidak pernah terekam atau tercatat tinta emas sejarah musik tanah air.
“Kami berusaha mencari produser yang mau merekam lagu-lagu yang sudah kami latih ini, tapi ternyata susah. Hampir semua produser yang kami datangi selalu menjawab, ‘Bagaimana caranya kami menjual lagu-lagu macam ini. Bikin saja yang biasa,’ kilah mereka umumnya. Lagu-lagu ini mereka rasakan terlalu keras, terutama liriknya. Pasti akan bermasalah bagi mereka kalau dikeluarkan,” tulis Naniel C. Yakin, salah seorang personel Swami sekaligus salah satu pencipta lagu “Bento” di rubrik Soundwaves pada edisi istimewa.
Menurut Naniel, Iwan Fals menciptakan musik dan lirik bagi lagu ini. Hasilnya terjadi “kontroversi” di antara para personel Swami sendiri, khususnya di bagian lirik “Bongkar” yang dinilai terlalu keras untuk ukuran zaman represif saat itu.
Versi awal lirik lagu “Bongkar” ternyata banyak mengutip nama-nama tempat pelanggaran HAM berat yang dilakukan tentara Soeharto, misalnya Kedung Ombo, Way Jepara, hingga Kaca Piring. Para personel Swami yang lain menilai jika lirik lagu ini tidak diubah maka akan menjadi masalah bagi rilisnya album ini nantinya.
Iwan Fals bersikeras tak mau berkompromi untuk mengubah lirik lagu “Bongkar” karena menurutnya, musisi “bukan kambing yang hanya menurut dibawa ke kanan, menurut dibawa ke kiri.”
Naniel menjawab, “Ya, tapi kita juga harus berstrategi, Wan. Bukan masalah takut dan berani. Kalau nggak boleh edar, buat apa kita mengerjakan rekaman ini?”
Akhirnya Iwan menyepakati Sawung Jabo untuk merevisi lirik lagu “Bongkar” hingga akhirnya seperti versi yang kita kenal sekarang ini.
Hasilnya, lirik lagu “Bongkar” ternyata justru menjadi aktual sepanjang zaman dan bahkan ikut menjadi soundtrack perjuangan ketika gerakan demonstrasi mahasiswa sukses melengserkan rezim Orde Baru Soeharto di tahun 1998. Dan belakangan ketika Skandal Bank Century mencuat ke permukaan maka lagi-lagi soundtrack yang tepat untuk kasus ini adalah “Bongkar.”
“Seperti halnya lagu-lagu lain di album perdana Swami, "Bongkar" adalah nyanyian murung berbahaya. Dengan tema protes keras yang menyambar ke sana kemari, personel Swami sepertinya telah siap untuk dihabisi pada saat mengayunkan langkah pertama.
Di dalam lirik lagu Bongkar, sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang kami (jamak), yang merupakan bagian dari kelas bawah. Lagu ini menunjukkan bagaimana kelas bawah memandang dirinya sendiri serta kelas atas, dalam hal ini penguasa. Kami menampilkan dirinya sebagai sebagai orang-orang yang marah karena merasa telah menjadi korban penindasan orang-orang yang berkuasa.
Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Mereka terbiasa diperlakukan dengan tidak adil yang tercermin dari tidak adanya harapan bahwa keadilan akan datang. Mereka juga terbiasa ditelantarkan dan tidak dilayani sebagaimana tampak dari jawaban yang mereka terima (sabar sabar sabar dan tunggu) dari orang-orang yang seharusnya memberikan layanan publik
Hoi hentikan hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan
Lirik ini dengan gamblang memperlihatkan kemuakan dan kemarahan mereka akan ketidakpastian dan keserakahan, yang mengacu pada penguasa yang tidak adil dan tidak kompeten dalam menjalankan tugas mereka.
Kelas penguasa di dalam lirik lagu “Bongkar” dapat dikategorikan ke dalam kelas atas karena mereka memiliki posisi yang tinggi dalam masyarakat. Mereka memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengelola masyarakat. Kelas atas, dalam hal ini penguasa, diperlihatkan telah kehilangan cinta yang dapat dibaca sebagai telah kehilangan hati nurani yang membuat mereka mampu bertindak sewenang-wenang.
Penindasan serta kesewenang wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan…
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Pemakaian ungkapan “diperkuda jabatan” mengacu pada penguasa yang telah dikuasai oleh jabatan mereka sehingga kehilangan hati nurani. Akibatnya, mereka melihat kesedihan orang lain hanya sebagai tontonan dan tidak tergerak untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Mereka ini adalah orang orang yang terobsesi dengan kedudukan mereka sehingga kehilangan kemanusiaan mereka.
Jika representasi kelas bawah dan atas diperbandingkan, tampak ada perbedaan kelas antara yang kaya dan yang miskin, antara yang berkuasa dan yang tertindas. Dalam beberapa lirik lagu, perbedaan tersebut mengarah pada pertentangan kelas. Yang paling menonjol terlihat di dalam lirik lagu “Bongkar”. Di dalam lirik lagu ini jalan keluar yang dipilih kelas bawah untuk menyampaikan aspirasi mereka adalah dengan turun ke jalan atau melakukan demonstrasi.
Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Penguasa direpresentasikan sebagai “setan yang berdiri mengangkang” yang dapat diartikan sebagai kekuatan jahat yang menunjukkan kekuasaannya dengan menghalangi tercapainya tujuan demonstrasi. Pertentangan dipertajam dengan refrain lagu yang mengulang-ulang kata “bongkar”.
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Dalam “Bongkar”, kaum yang tertindas pada awalnya diperlihatkan memiliki keberanian menyuarakan keinginannya untuk mengubah keadaan. Akan tetapi, menjelang akhir lirik, pertentangan kelas yang dilakukan di jalan itu ditarik ke dalam rumah, yaitu pada kehidupan rumah yang tidak harmonis. Rumah dalam lirik ini merupakan analogi sebagai keadaan negara atau pemerintahan yang diacu di bagian awal lirik. Jika pemerintahan dianalogikan sebagai rumah, dalam rumah ada orang tua yang juga dapat dianalogikan sebagai pemimpin atau pemerintahan.
Di jalanan kami sandarkan cita cita
Sebab di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya
Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta
Karena pemerintah dianalogikan sebagai keluarga, seolah-olah menjadi sebuah kemustahilan untuk melakukan perlawanan. Melalui analogi semacam itu, pertentangan kelas pun tidak terlihat frontal. Seperti halnya dalam keluarga, harmoni tetap dijaga, meskipun terjadi perselisihan-perselisihan dalam keluarga. Kata cinta dan keinginan diperlakukan manusiawi yang muncul pada lirik puisi, mengurangi tegangan emosi yang terdapat pada larik-larik sebelumnya sehingga perlawanan menjadi lebih halus.
Dehumanisasi juga muncul di dalam lirik lagu “Bongkar”. Di sini penguasa “diperkuda oleh jabatan” yang berarti bahwa penguasa dikuasai oleh obsesi mereka akan jabatan. Obsesi pada jabatan ini membuat mereka kehilangan hati nurani (cinta) yang mengakibatkan mereka tidak dapat memerintah dengan adil dan bahkan menjadi kebal dengan kesedihan orang lain (kesedihan hanya tontonan).
Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Penguasa di dalam lagu ini ditampilkan serupa dengan Bento yang tidak pernah memikirkan penderitaan yang ditimbulkannya akibat ulahnya menjagal bisnis orang lain. Keduanya sama-sama mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki hati nurani dan rasa keadilan. Jika melihat bahwa lirik lagu ini mengetengahkan bahwa dehumanisasi terjadi pada kedua kelas yang tampaknya saling berseberangan dan berlawanan, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kedua kelas masyarakat ini memiliki sifat yang serupa. Kedua kelas tersebut dikuasai oleh obsesi mereka sehingga berfokus pada diri sendiri dan tidak peduli pada orang lain.
Penutup
Kritik sosial yang diangkat dalam kedua lirik lagu "Swami I" disampaikan melalui nada satiris dan ironis. Lagu “Bento” dan “Bongkar” menjadi kritik sosial yang muncul dengan tegas, meski tidak subversif. Dalam kedua lirik lagu tersebut, kritik ditujukan pada kalangan atas yang memiliki kekuasaan yang cenderung menyalahgunakan kekayaan dan kekuasaannya untuk menindas dan memarjinalkan yang lain.
Di balik sosok Bento yang tampan, berkelas dan berkuasa, ia ternyata memiliki sifat seperti “preman” yang “mengancam”, dan “menjagal” tanpa hati nurani. Ironi penguasa sebagai “pengkhotbah moral” dan “guru” yang dipertentangkan dengan aksi “menipu”, dan “mencuri,” menimbulkan kesan sindiran yang tajam pada kelompok penguasa. Pengulangan kata asyik menguatkan kesan bahwa kalangan ini menikmati penindasan yang mereka lakukan terhadap rakyat kecil.
Lirik lagu "Bongkar" diawali dengan kritik yang cukup tajam karena adanya kesadaran dari kelas bawah untuk membongkar kekuasaan. Kesan sarkastis muncul pada kata-kata “setan yang berdiri mengangkang” ingin dirobohkan. Istilah tersebut ditujukan pada kekuasaan yang menindas. Kata “bongkar” dapat dimaknai sebagai sebuah kritik terhadap penguasa saat terjadi penggusuran-penggusuran yang semakin memarjinalkan kelompok miskin dan tidak berdaya.
Kata “bongkar” menjadi “teriakan” penguasa yang tidak peduli pada nasib rakyat kecil, atau dapat pula dimaknai kekuatan kelas bawah yang bisa memiliki “kekuatan” atau “kekuasaan” melakukan perlawanan dan melakukan cara-cara “preman” atau “tidak humanis”, seperti yang dilakukan oleh para penguasa. Akan tetapi di akhir lirik, pemilihan kata “orang tua” sebagai analogi penguasa menyiratkan bahwa yang dilawan adalah orang tua sendiri sehingga perlawanan tidak mungkin dilakukan secara frontal.
Vokalisasi yang bisa saja berubah tempat, antara posisi penindas (Bento) dan yang ditindas (Bongkar), mengurangi ketajaman kritik sehingga menjadi sebuah lirik yang lebih terkesan menghibur daripada menyudutkan pihak tertentu. Mungkin hal tersebut merupakan alasan album SWAMI I dapat diterima masyarakat dan juga pemerintah yang berkuasa pada masa itu.
Representasi kelas sosial dan pertentangannya diungkapkan melalui pengontrasan. Kelas bawah direpresentasikan sebagai rakyat kecil, yang kondisi kehidupannya sangat kontras berbeda dengan kalangan yang menikmati kue pembangunan. Dua kelas ini merupakan pencerminan kondisi sosial di era Orde Baru, di mana pertumbuhan ekonomi cukup baik, tetapi terdapat kesenjangan sosial yang lebar, antara kelompok yang sukses dan kelompok masyarakat yang terpuruk atau tertinggal dalam pembangunan.
Kelas atas ditampilkan sebagai orang-orang yang menikmati kue pembangunan, punya banyak uang, punya harta dan rumah mewah, punya jabatan tinggi, berkuasa, bisa berbuat semaunya, hidup enak dan nyaman. Mereka asyik dengan kenikmatan hidupnya sendiri, dan tidak perduli dengan hidup orang lain yang ditindas atau menjadi korban aksi manipulasinya.
Pertentangan kedua kelas tersebut diungkapkan dengan mengontraskan kondisi sosial, harapan dan kenyataan antara kedua kelas tersebut. Kesenjangan sosial antara kedua kelas itu tak terjembatani karena tidak ada cara yang dapat ditempuh oleh kelompok masyarakat miskin untuk dapat meningkatkan status sosial mereka.
Kedua lirik lagu SWAMI I memperlihatkan adanya pertentangan kelas dengan nuansa yang berbeda-beda. Pertentangan kelas yang tercermin di dalam kedua lagu ini berbeda dari pengertian Marxis karena tidak bersifat revolusioner model Eropa. Walaupun terdapat nada ketidakpuasan dan keinginan untuk memberontak, kelas bawah dalam lirik lagu tetap menganggap penguasa sebagai orang tua dan tetap mencintai negara dan bangsanya.
Ajakan untuk membongkar tidak ditujukan secara langsung kepada penguasa, tetapi pada penindasan dan kesewenang-wenangan, ketidakpastian dan keserakahan. Tidak ada nama atau figur spesifik nyata yang disebut dalam keempat lirik lagu.
Jadi ajakan untuk membongkar adalah membongkar sistem nilai yang dirasakan tidak adil, bukan membongkar atau merobohkan kekuasaan. Meskipun muara sistem nilai itu pada akhirnya berada pada penguasa dan pemilik kapital besar. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kehadiran Setiawan Djodi sebagai penyandang dana dalam grup Swami.
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral. 2006. Percik pemikiran kontemporer: sebuah pengantar komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Boangmanalau, Singkop Boas. 2008. Marx, Dostoievsky, Nietzsche: menggugat teodisi dan merekonstruksi antropodisi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Budianta, Melani. 2000. “Discourse of cultural identity in Indonesia during the 1997-1998 monetary crisis,” Inter-Asia Cultural Studies, vol. 1 no. 1, hlm. 110-127.
Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI.
Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan dinamika. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Storey, John. 2006. Cultural theory and popular culture: an introduction. Fourth Edition. Athens, Georgia: The University of Georgia Press.
Tabloid Bintang No 293/Th. VI, Minggu Kedua, Oktober 1996.
Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-dosa politik Orde Baru. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Sampul Album Swami I
Lirik Lagu Bento
(Iwan Fals/ Naniel ) –SWAMI
Namaku Bento rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku bos eksekutif
Tokoh papan atas atas sgalanya.
Asyik...
Wajahku ganteng banyak simpanan
Sekali lirik oke sajalah
Bisnisku menjagal, jagal apa saja
Yang penting aku senang aku menang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik
Sekali lagi asyik...
Reff:
Khotbah soal moral omong keadilan
sarapan pagiku
Aksi tipu-tipu lobbying dan upeti
woh... jagonya...
Maling kelas teri bandit kelas coro,
itu kan tong sampah
Siapa yang mau berguru, datang padaku
Sebut tiga kali namaku:
Bento... Bento... Bento...
Asyik... Asyik!!
Lirik Lagu Bongkar
(Iwan Fals/ Sawung Jabo) –SWAMI
Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan
Di jalanan kami sandarkan cita cita
Sebab di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya
Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta