Hasil terjemahan dari e-Book yang berjudul "Second Language Acquisition and Second Language Learning"
yang ditulis oleh Stephen D. Krashen
A. Pendahuluan
Dalam makalah ini kita akan mencoba membedakan antara teori dan praktik pemerolehan bahasa. Hal ini akan dilakukan dengan cara menyusun program pembelajaran bahasa yang ideal menurut umum. Program pembelajaran ini terbagi beberapa unsur, pokok, dan pilihan.
Kebanyakan pembelajaran bahasa terbagi menjadi empat keterampilan, yaitu: berbicara, menyimak, membaca, dan menulis. Banyak bukti menunjukkan bahwa pembagian ini tidak sepenuhnya benar. Bukti pertama, banyak guru yang diminta mengajar satu keterampilan akan mengatakan bahwa pembagian tersebut hanya bersifat paksaan karena pengajaran satu keterampilan akan bergantung pada keterampilan bahasa yang lain. Bukti kedua, dalam berbagai penelitian sulit untuk menemukan perbedaan semua tes bahasa yang hanya untuk mengukur satu keterampilan. Teori Monitor juga menunjukkan konsistensi bahwa keempat keterampilan berbahasa memang tidak terpisah. Oller (1976a) menemukan bahwa analisis kesalahan mengungkapkan hubungan erat antara pengukuran pengetahuan tata bahasa dalam berbagai latihan, misalnya penerjemahan, pengulangan lisan, dan pembicaraan spontan. Kesimpulan ini sesuai dengan data sebelum terdapat hasil penelitian Monitor. Terdapat kesulitan yang mirip pada morfem tata bahasa yang dibuat oleh objek penelitian dalam melakukan latihan pada materi yang mereka peroleh daripada kesulitan pada materi yang mereka pelajari. Oleh karena itu, terdapat model teori yang menerapkan dua model pembelajaran yaitu pemerolehan dan pembelajaran bahasa.
B. Pembahasan
1. Pemerolehan Bahasa (Acquisition)
Model teori di atas menunjukkan bahwa bagian terpenting dari keseluruhan program adalah intake pada pemerolehan. Hal ini sesuai dengan kesimpulan bahwa pemerolehan bahasa lebih sentral daripada pembelajaran bahasa kedua. Intake cukup berasal dari pemerolahan bahasa yang mendasari input linguistik yang membantu pemerolehan bahasa. Dengan demikian, penyediaan intake penting untuk pemerolehan dalam pembelajaran bahasa, sehingga menjadi menantang untuk menyediakan materi dan konteks yang memuat intake.
Dalam penelitian lain (Krashen, 1978b) menyebutkan perlu adanya caretaker pembicaraan. Bahasa yang ditujukan pada anak-anak mengandung lebih banyak intake. Caretaker sebenarnya tidak dimaksudkan mengajarkan bahasa, mereka hanya fokus pada komunikasi. Caretaker memiliki ciri-ciri:
a. Memperhatikan prinsip di sini dan saat ini
Maksudnya caretaker dapat memberikan lingkungan pembicaraan bagi anak sehingga anak lebih paham pada apa yang dibicarakan.
b. Pekerjaan caretaker akan semakin mudah seiring berkembangnya kemampuan bahasa anak
c. Ujaran caretaker adalah komunikasi.
Fungsi caretaker adalah untuk menyampaikan pesan sehingga akan mendorong perolehan bahasa. Sebagai kesimpulan, intake merupakan input pertama yang dapat dipahami. Pemahaman adalah inti dari proses pemerolehan bahasa, mungkin kita memahami bahasa sedikit melebihi kemampuan kita dengan menggunakan ekstralinguistik konteks atau pengetahuan yang lain. Contohnya, bila penguasaan sintaksis orang mencapai tingkat i maka dia dapat melanjutkan komunikasi pada tingkat i+1 dengan memahami kompleksitas input. Selanjutnya juga melibatkan pola-pola yang melampaui kemampuan berbahasa seseorang dan cenderung semakin kompleks. Kemajuan ini harus disesuaikan dengan perkembangan kemampuan bahasa seseorang. Intake juga bersifat natural yang berarti bahwa intake ini merupakan bahasa yang digunakan dalam komunikasi.
Kita juga dapat mengamati di kelas untuk menemukan input yang ada. Obrolan bebas tanpa tema tidak cocok sebagai input yang baik karena tidak sesuai dengan materi pelajaran, karena pembelajaran tidak hanya tentang hal-hal yang menarik bagi siswa. Terdapat anggapan seorang penutur asli bisa menjadi guru bahasa. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena pembelajaran tata bahasa yang terstruktur lebih diperlukan daripada sekadar berbicara dengan menggunakan tata bahasa yang benar. Pembelajaran tata bahasa memang diperlukan dan tidak dianggap sebagai hal yang sepele. Meskipun terkadang tidak natural, jadi hanya sesuai pada saat tertentu tetapi dapat meningkatkan mutu pembelajaran.
Analisis tentang intake dijadikan landasan penyusunan latihan yang bermakna dan komunikatif atau latihan-latihan menjadi lebih efisien yang mengarah pada pemerolehan bahasa. Kegiatan ini memberi ruang bagi siswa untuk belajar komunikasi secara nyata atau dapat menstimulasi komunikasi.
Merancang pembelajaran untuk merangsang latihan mekanis tidaklah sulit. Demikian pula untuk berkomunikasi di dalam kelas. Memberikan input melalui kegiatan pembelajaran yang bermakna dan komunikatif adalah tugas yang cukup menantang. Tetapi agar memenuhi kriteria sebagai intake. Untuk mewujudkan hal ini tidak mudah apalagi disesuaikan dengan materi pembelajaran.
Dalam perkuliahan, para guru dilatih untuk membuat konteks bagi pembelajaran tata bahasa. Dan melupakan teknik drill. Pemerolehan bahasa akan mudah apabila intakenya komunikatif dan dapat dipahami.
Tetapi latihan yang bermakna dan komunikatif tetap memiliki kelemahan. Bahkan, jika siswa menguasai struktur bahasa yang lebih tinggi (i+1) mereka tidak akan berhasil menemukan input yang cukup natural dalam pemerolehan bahasa. Dalam kasus ini, jika ditarik generalisasi, kegiatan yang tepat untuk pembelajaran adalah yang bersifat alami, menarik, dan mudah dipahami. Jika ketiga hal ini terpenuhi, ditambah input yang alami, penguasaan (i+1) akan secara alami tercapai dan terpelihara, sehingga pemerolehan bahasa akan tercapai. Jika intake, hal yang penting dalam rancangan pembelajaran bahasa di kelas, memenuhi ketiga kriteria tadi, kelas akan menjadi tempat yang tepat untuk memeroleh bahasa minimal sampai tingkat intermediate. Seperti yang telah dikatakan oleh Wagner-Gough and Hatch (1975) bahwa “dunia luar” biasanya enggan menyediakan intake bagi orang dewasa dalam belajar bahasa. Sementara anak-anak yang memeroleh bahasa kedua mendapat keuntungan dengan memperoleh intake yang sesungguhnya, tetapi ini tidak berlaku bagi orang dewasa. Perhatikan pembicaraan anak umur 5 tahun yang belajar bahasa Inggris dengan orang yang lebih dewasa:
Adult (A): "Is this your ball?"
Paul (P): "Yeah."
A: "What colour is your ball?"
P: (no answer)
A: "Is that your doggy?"
P: "Yeah."
A: "Is that your doggy or Jim's doggy?"
P: "Jim's doggy."
(Huang, cited in Wagner-Gough, 1975)
Dalam perubahan ucapan Paul persyaratan intake ini harus dipenuhi. Jawaban Paul menunjukkan bahwa dia cukup memahami jika pertanyaan itu tidak semua ditujukan padanya (mungkin harus berterima kasih kepada orang dewasa yang menerapkan prinsip sekarang dan saat ini). Hal ini merupakan input sederhana yang pas dibutuhkan oleh Paul untuk belajar bahasa Inggris dan input ini bersifat natural. Bandingkan dengan input yang dibutuhkan anak yang lebih dewasa (umur 13 tahun). Pendapat Wagner-Gough dan Hatch bahwa bahasa itu bersifat kompleks menurut waktu dan tempat mungkin sulit dipahami oleh Ricardo yang berumur 13 tahun:
Adult (A): "What are you gonna do tonight?"
Ricardo (R): "Tonight? I don't know."
A: "You don't know yet? Do you work at home, do the dishes or sweep the floor?"
R: "Water..."
A: "Flowers."
R: "Mud."
A: "Oh. You wash the mud down and all that. What else do you do at home?"
R: "Home."
(Butterworth, 1972; cited in Wagner-Gough, 1975)
Selain tingkah laku penutur asli, sumber intake di luar kelas memang diperlukan. Contohnya, adalah teman asing dalam satu kelompok. Bahasa yang digunakan pembelajar dalam berkomunikasi satu sama lain memenuhi intake yang diperlukan. Komunikasi di antara mereka jelas bersifat natural dan mudah dimengerti serta kehadiran teman yang bisa menyediakan input bahasa yang sedikit melebihi tingkat bahasa anak tersebut. Sementara itu mereka juga bisa saling mengajarkan bahasa yang salah, tetapi ini bukan masalah yang serius karena sumber intake yang bebas kesalahan juga bisa ditemukan di dalam maupun di luar kelas.
Fathman (1976) memberikan bukti yang menunjukkan kehadiran teman asing sekelompok memang menguntungkan. Dalam penelitiannya pada siswa ESL SD di Washington terdapat fakta siswa di sekolah di mana terdapat 40 lebih penutur bahasa Inggris tidak asli akan lebih menunjukkan kemajuan daripada siswa di sekolah yang jumlah penutur tidak aslinya lebih sedikit (hal 437). Hal ini mungkin berkaitan dengan fakta bahwa sekolah yang memiliki siswa asing lebih banyak cenderung lebih terorganisasi lebih baik. Siswa dalam kelompok ini menjadi teman siswa dari negara lain dimana mereka bisa menggunakan bahasa Inggris (p. 438). Membantu siswa lain saling kenal merupakan kegiatan yang cukup umum dilakukan dalam kelas ESL (V. Sferlazza, komunikasi antarpribadi); hal ini dapat secara linguistik dibenarkan dan mungkin malah dijadikan program pembelajaran.
Cara lain mendapatkan intake di luar kelas yaitu lingkungan agar mendukung proses pembelajaran bahasa adalah penggunaan “Pin Belajar Bahasa” yang akan memperingatkan native speaker dalam berbicara, Pin Merah: pembelajar kelas 1, Pin Kuning: Intermediate, dll. Penutur asli akan berhati-hati dalam berkomunikasi dengan sang pemilik pin dengan menggunakan input sederhana atau mungkin respon yang lebih ramah. Kembali ke dalam kelas, sekarang ini terdapat ide baru dalam mendorong pemerolehan bahasa dengan memberikan intake. Terrell (1977) mengajukan pendekatan natural dimana waktu belajar di kelas selalu diisi kegiatan yang komunikatif. Guru hanya menggunakan bahasa target, sedangkan siswa menggunakan bahasa target atau bahasa pertamanya. Kesalahan tidak dipedulikan dahulu kecuali ada miss komunikasi. Pekerjaan rumah yang diberikan berupa latihan grammar. Tentunya metode ini sesuai digunakan dalam situasi bahasa target dimana gurunya merupakan penutur asli tetapi metode ini memang benar-benar memberikan banyak intake bagi pembelajar.
John Cramshaw (lulusan USC) muncul dengan inovasi Intercambio, yaitu metode yang dipraktikkan di USC. Orang Amerika yang belajar bahasa Spanyol dikelompokkan dengan siswa ESL yang berbahasa Spanyol. Mereka diminta berkomunikasi tentang berbagai hal. Peraturannya adalah gunakan bahasa sendiri. Cromshaw menemukan bahwa meskipun ada siswa yang tidak terlalu mahir dapat saling bertukar informasi yang banyak dan bahkan sering enggan untuk memulai berbicara dalam bahasa target. Pendekatan intercambio ini hanya tervalidasi secara informal, tetapi laporan awal tentang keberhasilan pendekatan ini sangat menggembirakan. Kegiatan yang lain yang berhubungan dengan pekerjaan juga sesuai unutk dijadikan intake: contohnya membaca pemahaman seperti pendapat Newmark (1971), lebih banyak menyediakan intake dibanding paragraf sulit yang membutuhkan analisa crypto decoding yang sering ditugaskan pada siswa. Juga penggunaan teknik seperti yang diguanakan Asher: "total physical response" (Asher, 1966, 1969) juga mungkin akan memerikan lebih banyak input. Dalam TPR siswa diminta untuk lebih banyak diam pada kelas-kelas awal tetapi menurut perintah guru dengan menggunakan bahasa target. Kalimat perintah yang digunakan bermula dari yang sederhana seperti "Sit down." dan berkembang ke yang lebih kompleks seperti "If John ran to the blackboard, run after him and hit him with your book". TPR dapat berhasil baik terbukti siswa berbahasa asing setelah 32 jam diajar menggunakan metode TPR memiliki kemampuan menyimak yang lebih baik dibandingkan kelas biasa setelah 150 jam pembelajaran dan skor di tes lain juga hasilnya sama. Jelas input guru yang menstimulasi TPR akan mirip dengan intake. Tujuan Metode ini adalah komunikasi.
Sebelum meninggalkan istilah intake dalam diagram rencana pembelajaran kita perlu mengklarifikasi beberapa hal. Pertama intake penting dalam pemerolehan bahasa dan belum menjelaskan output fungsi yang diperlukan. Mungkin masih menjadi perdebatan bahwa berbicara dan menulis secara teoretis tidak dibutuhkan dalam pemerolehan bahasa. Seseorang bisa menguasai bahasa kedua atau pertama tanpa pernah menggunakannya. Terdapat beberapa pendapat yang mendukung hipotesis intake ini. Pertama penundaan instruksi berbicara pada saat berlatih menyimak tidak menyebabkan tertundanya penguasaan dalam pemerolehan bahasa dan bahkan dapat menguntungkan (for child second language acquisition see Gary, 1975; for adult studies see Asher, 1965, 1966, 1969; Postovsky, 1977). dalam budaya lain dimana kegiatan menyimak mendapat porsi cukup besar. Juga terdapat saran untuk lebih menekankan kegiatan menyimak dalam satu budaya suku seperti yang ditemukan Sorenson's (1967 pada suku Indian di Amerika di daerah sungai Vaupes River: Suku Indian tidak mempraktikkan berbicara bahasa yang belum mereka kuasai. Mereka hanya belajar kata, pola kalimat, dan frasa secara pasif dan mengenal bunyi pelafalannya... Kadang mereka berusaha berbicara pada situasi yang pas tetapi bila sulit mereka tidak akan memaksakan diri.
Dapat disimpulkan dalam kajian pemerolehan bahasa anak, yaitu pemahaman mendahului produksi bahasa. Produksi bahasa bahkan tidak perlu terjadi. Lenneberg (1962) mengemukakan kasus dysarthria bawaan lahir pada anak usia 8 tahun yang tidak pernah berbicara tetapi bisa memahami bahasa Inggris dengan baik. Dia mencatat:
Fenomena yang mirip dalam bentuk yang lebih kecil adalah sangat biasa. Proses memahami biasanya mendahului proses berbicara dalam beberapa minggu atau bulan. Perbedaan ini meningkat secara teratur dalam semua jenis perkembangan gangguan berbicara sederhana dan digambarkan secara jelas pada siswa yang memiliki perkembangan penguasaan tata bahasa yang tidak sempurna di dalam rongga mulut atau faring dan anak-anak yang menghasilkan ujaran yang bisa dipahami selama bertahun-tahun terkadang sampai seumur hidup tanpa sedikit penghamburan pemahaman. Anak-anak yang tuli dari lahir juga belajar memahami bahasa tanpa penguasaan keterampilan vokal. Namun demikian belum ditemukan bukti yang jelas yang menunjukkan kemampuan berbicara ini bisa muncul tanpa adanya pemahaman.
Hal ini bukan berarti bahwa speaking tidak penting dan mungkin perlu diperhatikan bahwa berbicara langsung mendukung pemerolehan bahasa karena berbicara mengandung banyak intake. Metode "Eavesdropping"(Schumann and Schumann, 1977) dapat memberikan pembelajar dengan intake tertentu, tetapi pembicaraan aktual dimana pembelajar memiliki kontrol topik dan dimana lawan bicaranya akan membantu dia mudah dipahami, situasi ini memberikan lebih banyak intake.
Kita kembali ke output di bawah ini; hal lain yang perlu diperhatikan dalam rencana pembelajaran di atas. Output terletak di bawah dan kurang diperhatikan dalam bab ini karena telah banayak dibahas di bab 2 dan telah sangat jelas terdapat dalam Memory, Meaning, and Method-nya Stevick berkaitan dengan motivasi dan attitude. Dimana motivasi dan attitude yang muncul dalam pemerolehan bahasa lebih banyak berperan dalam pemerolehan daripada pembelajaran bahasa. Meskipun demikian, apa yang perlu diulas kembali adalah bagaimana menghubungkan temuan ini dengan praktiknya. Dulay dan Burt (1977) telah mencatat bahwa:
Filter afektif masih diperlukan filter yang tidak membatasi input sebelum input diproses oleh pengaturan kognitif. Dalam hal ini intake potensial tidak berubah menjadi alat memperoleh bahasa. Motivasi dan attitude pembelajar jika kurang optimal dapat menyaring input, sehingga input ini tidak dianggap sebagai intake oleh pembelajar bahkan jika input memenuhi syarat sebagain intake. Dapat disimpulkan bahwa motivasi dan attitude mendahului pertimbangan bahasa. Jika filter yang efektif ini naik tidak masalah bagaimana indahnya input ini disusun urut atau bagaimana bagusnya latihan, pembelajarn bahasa tidak akan terjadi. Attitude memang sangat berhubungan dengan pemerolehan bahasa.
Poin kedua setelah pemerolehan bahasa adalah kelancaran. Sementara intake mendorong pemerolehan bahasa, kelancaran ini diperlukan agar pemerolehan bahasa dapat berfungsi dengan baik. Sampai dimana hal ini dilakukan tergantung pada situasi. Dalam pemerolehan bahasa (contohnya bahasa Perancis di Amerika) mungkin tidak perlu memperhatikan struktur rancangan di atas karena siswa tidak perlu menggunakan bahasa Perancis dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pemerolehan bahasa (misalnya ESL) dibutuhkan untuk memproduksi bahasa sedari awal dan fungsional dan program di atas harus memperhatikan hal ini.
Mungkin perlu untuk membedakan tiga cara untuk memproduksi bahasa. Pertama, pembicara hanya menggunakan sistem bahasa yang pernah diperoleh untuk menirukan ujaran tertentu. Bisanya penggunaan bahasa yang sesuai aturan tidak bisa langsung terjadi. Seperti telah dikemukakan di atas, pemahaman mendahului produksi: anak-anak dalam memperoleh bahasa kedua biasanya akan mengalami “masa diam” dimana pemerolehan bahasa terjadi melalui menyimak. Intake dan periode ini bisa berlangsung selama beberapa bulan. Cara menggunakan bahasa ada dua, salah satunya dengan menggunakan pola dan rutinitas yang telah mereka pelajari, kalimat-kalimat yang mereka ingat secara utuh (routines such as "What's your name?", "How are you?") atau sebagian (patterns with an open "slot" for a word or phrase, such as "Down with ______" or "That's a ______"). Penggunaan rutinitas dan pola bahasa bisa sangat bermanfaat. Pembelajar memerlukan untuk memproduksi bahasa pada tahap sangat awal sebelum kompetensi bahasa mereka dapat memproduksi kalimat yang benar. Rutinitas seperti "Where is the _____?", "My _____ hurts", dll sering diajarkan di awal dengan tujuan yang bagus. Scarcella dan saya telah mengkaji literatur dalam hal rutinitas dan pola pada pemerolehan bahasa dan neurolinguistik dan menyimpulkan bahwa perkembangan pola dan rutinitas adalah proses yang tidak terpengaruh oleh pemerolehan bahasa yang ‘normal’ (Bab 6). Secara teoritis rutinitas dan pola tidak berperan dalam pemerolehan bahasa, tetapi praktiknya hal ini sangat membantu.
Cara ketiga dalam memproduksi ujaran tergantung pada struktur permukaan bahasa pertama dan berusaha untuk mengubahnya dengan tata bahasa formal, Monitor. Menurut Newmark (1966), pengguna bahasa kedua mungkin bisa jatuh lagi pada bahasa pertamanya jika dia belum begitu menguasai bahasa keduanya. Dalam model Monitor pengguna menggunakan bahasa kedua sebagai istilah pengganti pada awalnya. Kajian saya pada literatur tentang pengaruh bahasa pertama pada penggunaan bahasa kedua sesuai dengan pendapat Newmark: kami melihat pengaruh bahasa pertama hanya pada saat diharapkan, dalam situasi awal produksi dan pada saat si pemebelajar hanya memiliki kesempatan yang sedikit.
Juga, kesalahan pengaruh bahasa pertama berlangsung terus menerus (Taylor, 1975). Menggunakan bahasa pertama seperti dalam rutinitas dan pola diperoleh tanpa kompetensi yang memadai. Sementara kedua hal ini tidak alami dalam pengertian dimana siswa berada dalam situasi pada saat produksi awal sangat penting, kita tentu saja tidak bisa menuju penggunaan metode ini. Penggunaan rutinitas dan pola dan sebagai istilah pengganti sangat bermanfaat pada produksi awal tetapi tidak menguntungkan dalam penggunaan jangka panjang. Penggunaan rutinitas dan pola tergantung pada kesesuaiannya pada situasi yang ada. Juga pertanyaan yang baik, cocok akan mendapat jawaban yang sesuai (penggunaan Yes/ No Question adalah metode yang tepat).
Berpegang pada penggunaan bahasa pertama untuk memulai ujaran juga terbatas: di bab lain saya telah mengemukakan bahwa Monitor agak terbatas dalam istilah ‘memperbaiki’, hal ini secara sederhana sesuai dengan morfologi terikat tetapi akan lebih sulit bila berkaitan dengan tata bahasa seperti misalnya perubahan urutan kata atau aturan semantik sederhana. Dikarenakan tergantung pada Monitor untuk membetulkan tatabahasa dalam ujaran, maka mungkin dilarang untuk memberikan tugas dimana kedua bahasa berbeda lebih dari sekadar morfem terikat.
Juga telah kita bahasa bersama penggunaan Monitor juga sangat terbatas pada sebagian besar orang. Bagaiman memperlajari kelancaran berbicara? Sementara ujaran siswa akan mempengaruhi pemerolehan bahasa temannya (lihat pembahsan tentang grup teman siswa asing) tujuan utama dalam bagian kelancaran adalah untuk membantu performance.
Pemerolehan yang cepat dari kegiatan rutin penting dan pola bahasa untuk para performer yang membutuhkannya membantu dalam pemilihan kata, dan praktik penggunaan strategi komunikasi (dengan mengesampingkan tata bahasa yang belum dipelajari) mungkin sangat membantu siswa dalam situasi bahasa kedua dimana produksi bahasa awal sangat penting. Bagian ini mungkin tidak terlalu penting bagi siswa asing yang bisa menikmati kemewahan belajar bahasa dalam waktu lama tanpa tuntutan bisa menggunakannya pada masa awalnya.
2. Pembelajaran Bahasa (Learning)
Diagram program pembelajaran mencakup dua simpulan di bawah simpulan ‘learning’ salah satunya untuk aturan yang dapat digunakan oleh optimal user dalam mengedit dan satunya untuk aturan yang lebih sulit dimana siswa lebih senang mempelajarinya. Seperti yang telah dikemukakan di bab-bab terdahulu, tidak perlu untuk memfasilitasi pembelajaran formal dalam bagian diagram pemerolehan. Dengan mengesampingkan klaim (yang belum diujikan) dari metode cognitive code, tidak terdapat bukti yang mendukung klaim tersebut yang mengatakan bahwa pembelajaran yang sadar diperlukan untuk mengawali pemerolehan (Krashen, 1977a). Kita melihat performers yang telah memahami aturan bahasa (yang diperoleh secara terlambat) tetapi performer tersebut masih gagal untuk menggunakannya dengan benar secara konsisten meskipun telah diulang berkali-kali. Orang tersebut mungkin telah mendapatkan pengetahuan yang banyak tentang bahasa Inggris tetapi belum sepenuhnya menguasai. Oleh karena itu, masih terdapat hal-hal yang belum dikuasai yang harus dipelajari. Contohnya objek ‘P’ dalam Krashen dan Pon (1975) bahkan setelah beberapa tahun tinggal di US dengan belajar tata bahasa secara ekstensif masih kadang-kadang melakukan kesalahan dalam morfem orang ketiga tunggal untuk kata kerja beraturan dalam Present Tense. Kesalahan ini terjadi dalam obrolan santai, dalam menulis dia juga dapat menggunakan tata bahasa conscious dan dapat membetulkan kesalahan. Morfem jenis ini kebetulan salah satu morfem yang biasanya terakhir dikuasai dalam pemerolehan bahasa (Bailey, Madden, and Krashen, 1974), dan hal ini bisa diprediksikan sebagai hal yang berlawanan dengan pemerolehan.
Sebaliknya, kita sering menemui performer yang telah menguasai bahasa kedua tanpa belajar secara sadar. Monitor "underusers" menurut (Stafford and Covitt, 1978; Bab 1 buku ini; Kounin and Krashen, 1978) yang biasanya bisa menggunakan struktur yang kompleks secara mengejutkan dan tidak memiliki pengetahuan formalnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kepuasan tertentu karena menguasai aturan bahasa secara formal dan saya yakin bahwa perasaan ini semacam motivasi untuk membela pemerolehan sadar selalu mendahului produksi bahasa, tetapi penting untuk memperhatikan pada mengutamakan tata bahasa dahulu mendorong apa yang akan diajarkan. Para ahli bahasa telah mengakui bahwa mereka dapat mendeskripsikan hanya fragmen yang berasal dari bahasa yang alami. Buku teks bahasa kedua dan para gurunya mungkin dapat mengadopsi hanya satu bagian dari deskripsi para ahli bahasa ke dalam aturan pembelajaran dan para siswa mungkin hanya dapat memahami bagian itu. Jika kita kokoh mempertahankan kontrol sadar mendahului pemerolehan bahasa, maka hanya sebagian kecil bahasa yang akan dikuasai. Fakta ini mungkin menjadi alasan mengapa terdapat kekurangan buku teks bahasa asing bagi siswa kelas 2 sementara buku kelas 1-nya berlimpah. Buku kelas 1 mendorong pembelajaran sadar pada tata bahasa sederhana atau tata bahasa yang bisa dipelajari oleh mahasiswa baru. Sementara buku kelas 2 memuat tata bahasa yang lebih sulit seperti subjunctive, contrary-to-fact conditionals, dan lainnya.
Menurut contoh yang diambil tata bahasa kelas 2 jika telah dikuasai maka akan diperoleh (acquired) dan hanya siswa yang paling analitis dan pandai yang dapat menguasainya. Materi yang mendorong pemerolehan lebih bisa efektif daripada materi yang mendorong pembelajaran. Node belajar menguasai 2 sub-node salah satunya “rules of thumb” dan “tata bahasa target”. Rules of thumb yang ditujukan untuk memfasilitasi performance dan yang kedua adalah optional learning atau apresiasi bahasa.
"Rules of thumb" adalah tataba hasa yang bisa digunakan oleh optimal user, tata bahasa conscious bagi Monitor. Menurut (Krashen, Butler, Birnbaum, dan Robertson, 1978), tata bahasa yang diperoleh akhir (atau lebih baik belum dikuasai) dan mudah dipelajari. Mudah bisa didefinisikan tidak melibatkan penggunaan mental yang berlebihan. Tata bahasa membutuhkan banyak gerakan dan perubahan yang tidak mudah untuk dipelajari maupun digunakan. Contonhya Passive Voice atau Wh-Questions.
Cara lain mengatakan tata bahasa itu mudah adalah jika aturan semantiknya langsung. Contohnya penggunaan artikel dimana proses sintaksis digunakan, tetapi artikel ini dianggap mudah dalam pengertian pertimbangan sematik sederhana yang dibutuhkan dalam penggunaan yang benar. Saya tidak menyiapkan daftar baku tentang tata bahasa yang harus diajarkan karena hal itu lebih banyak berhubungan dengan tugas Linguistik Terapan.
Saya dapat memberikan contoh morfem akhir yang langsung termasuk akhiran orang ketiga tunggal pada kata kerja beraraturan dalam Present Tense dan penanda posesif (s) dan akhiran kata kerja beraturan maupun tidak beraturan. Dalam menulis tata bahasa yang mudah dipelajari termasuk tanda bacanya adalah (tetapi tidak keseluruhan aspek: aturan penggunaan huruf besar dan penanda kutipan langsung, tetapi aturan penggunaan koma dan titik koma mungkin tidak harus dikuasai) dan beberapa aturan ejaan. Penggunaan rules of thumb dapat meningkatkan ketepatan penggunaan bahasa dalam penggunaan bahasa yang dimonitor. Mereka mungkin tidak membuat perbedaan dalam komunikasinya, sebab hal-hal yang dikuasai akhir ini cenderung selalu diulang-ulang, tetapi hal itu akan memberikan performer kemampuan menulis dan ujaran yang lebih siap dan penampilan yang lebih intelek/cerdas. (Kounin and Krashen,1978).
Simpulan struktur bahasa, merupakan bagian opsional untuk para pemerhati linguistik bahasa target. Saya sendiri secara pribadi sangat tertarik pada informasi sejenis dalam semua bahasa yang saya kuasai dan semua ahli bahasa juga akan tertarik pada hal tersebut.
Saya mengamati bahwa kebanyakan siswa tidak terlalu berminat pada informasi ini dan posisi yang dibuat kerangka di sini mengimplikasikan bahwa mereka tidak perlu menguasai bahasa secara sempurna. Kelas inilah yang dapat diberikan pada analisis transformasional bahasa yang akan dikuasai, dimana perkembangan historis bahasa dapat dilacak. Siswa dalam tahap ini mungkin perlu diberi tahu bahwa informasi ini tidak ditujukan pada penggunaan dalam bahasa sehari-hari kecuali jika salah satunya merupakan "super Monitor user".
Sementara setiap bagian diurutkan secara terpisah dalam diagram, kita mungkin dapat mengamati hubungan diantaranya. Contohnya output dalam kelancaran “fluency” mungkin merupakan bagian dari error correction sebagai bantuan dalam mempelajari the rules of the thumb. Dapat dipahami bahwa tidak semua kesalahan dapat dibetulkan: jika pembetulan tersebut ditujukan untuk mengubah pemahaman conscious tata bahasa. Pembetulan hanya dapat diterapkan pada tata bahasa yang dipelajari di luar kelas yang dapat dibetulkan dalam the rules of the thumb.
Juga telah disebutkan di atas output siswa dalam kelancaran berbahasa dapat dijadikan intake bagi siswa lain, minimal dalam situasi pemerolehan bahasa kedua.
Kesimpulan
Dalam makalah ini saya menyarankan bahwa kelas bahasa kedua mungkin merupakan temapt yang baik untuk pemerolehan bahasa kedua. Kajian (Upshur, 1968; Carroll, 1967; Mason, 1971) memberikan bukti yang menarik bahwa lingkungan informal mungkin lebih baik daripada kelas, tetapi ulasan ulang saya menunujukkan bahwa apa yang sedang menjadi trens sekarang ini adalah jumlah inatek yang bisa didapatkan (Bab 3). Dalam lingkungan informal yang kaya intake, pemerolehan dapat terjadi dan di kelas yang minim intake maka tidak akan terjadi pemerolehan bahasa yang tidak optimal.
Kelas yang banyak memberikan intake mungkin akan sangat efisien, dan mungkin solusi terbaik bagi pembelajar dewasa. Ada beberapa cara dimana kelas dapat mendukung pemerolehan bahasa. Intake bisa diperoleh melalui kegiatan belajar mengajar yang meaningful dan komunikatif, inilah cara yang paling langsung dialami siswa.
Seperti telah kita lihat, terdapat cara lain dimana kelas dapat mendukung pemerolehan bahasa, dalam situasi bahasa kedua, hal ini dapat membantu dalam mengembangkan kelompok pasangan siswa asing yang merupakan sumber intake intermediate yang paling memungkinkan. Komponen yang paling penting dalam pembelajaran bahasa adalah informasi bahasa yang eksplisit dan drill (tubian) mekanis mungkin komponen yang paling tidak berperan dalam pemerolehan bahasa.
Meskipun saya pribadi dapat belajar bahasa sendiri, tetapi saya akan memilih belajar di kelas secara formal jika saya diberi kesempatan belajar bahasa asing. Tujuan saya adalah untuk memperoleh intake dari guru, latihan di kelas, dan dari teman-teman sekelas saya.
Subjek dalam studi “Good Lang Language Learner” (Naimon, Fröhlich, Stern, and Todesco, 1978) (34 kasus historis siswa dalam bab pertama) dikombinasikan dengan pembelajaran tata bahasa dan immersi sebagai pendekatan yang disenangi pada pemerolehan bahasa pertama. Naimon dkk. menemukan bahwa terdapat beberapa bukti bahwa “...orang yang belajar bahasa di negara asal bahasa dan juga belajar secara otodidak biasanya akan menguasai bahasa dengan baik (p. 34).
Sementara itu, belajar tata bahasa secara otodidak bukan merupakan cara yang benar. Beberapa siswa yang pandai akan mengikuti beberapa kelas tatabahasa di sekolah: “... dalam kilas balik, beberapa siswa yang telah diwawancarai, siswa dengan nilai tinggi di kelas merasa tidak terlalu berhasil...karena mereka mereka merasa tidak dapat berbicara dalam bahasa yang mereka pelajari jika bisa hanya terbata-bata (hal 34).
Bukti ini sejalan dengan generalisasi bahwa nilai penting pembelajaran di kelas adalah memberikan siswa intake yang sesuai, kesimpulan yang para guru bahasa melalui latihan dan praktik maju sejalan dengan teori pemerolehan bahasa.
Disusun oleh:
1. Titik Sholihah NIM 12706251018
2. Immawati Fitri Lestari NIM 12706251027
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemerolehan Bahasa
yang Diampu oleh Prof. Dr. Pratomo Widodo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar