Jumat, 19 April 2013

Variasi Bahasa

BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa dan masyarakat merupakan dua hal yang saling berkaitan, keduanya mempunyai hubungan layaknya hubungan simbiosis mutualisme (hubungan antara dua makhluk hidup yang saling menggantungkan dan menguntungkan). Hubungannya tampak jelas bahwa ujaran dan bunyi disebut sebagai bahasa jika berada dan digunakan oleh masyarakat. Masyarakat tidak dapat berjalan (survive) tanpa adanya bahasa yang berguna sebagai sarana untuk saling berinteraksi dan bekerjasama antarindividu di masyarakat. Lembaga-lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat dipertahankan dan dikembangkan dengan menggunakan bahasa. Tiada satu segi kehidupan yang dapat dipisahkan dengan bahasa. Kita memanipulasi, membujuk, mengejek, dan bernegosiasi tanpa kita sadari bahwa kita sedang terlibat dalam pelaksanaan kehidupan berbahasa. Adanya berbagai macam perbedaan dalam masyarakat seperti jenis kelamin, umur, status, dan kelas mengakibatkan berbagai macam variasi bahasa.

Manusia dalam masyarakat mempunyai sifat elastis karena manusia bermasyarakat, sehingga menempati tempat dan menemui suasana yang sangat bervariasi dan disebabkan juga oleh manusia yang mempunyai daya kreatif secara alamiah. Banyak hal yang melatarbelakangi adanya variasi bahasa dalam masyarakat yang sangat menarik. Mempelajari bahasa dalam masyarakat bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang mengakibatkan adanya variasi bahasa. Pengetahuan mengenai sebab-sebab variasi bahasa sangat berguna untuk hidup bermasyarakat. Berbagai masalah dan kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari menuntut kita untuk dapat menggunakan variasi bahasa tersebut sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Sebagai sebuah langue, bahasa memiliki sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang konkret (parole) menjadi tidak seragam. Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini juga disebabkan oleh kegiatan interaksi sosial yang penutur bahasa lakukan yang juga beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa. Keragaman ini akan semakin bertambah jika bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak serta dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya, bahasa Inggris yang digunakan oleh hampir di seluruh dunia.

Hartman dan Stork (lewat Abdul Chaer, 2004: 62) membedakan variasi bahasa berdasarkan kriteria (a) latar belakang geografi dan sosial penutur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan. Menurut Preston dan Shuy, variasi bahasa (khususnya untuk bahasa Inggris dan Amerika) dibedakan berdasarkan (a) penutur, (b) interaksi, (c) kode, dan (d) realisasi. Menurut Halliday, variasi bahasa dibedakan berdasarkan (a) pemakai, yang dimaksud dialek, dan (b) pemakaian, yang disebut register. Menurut Mc David, variasi bahasa dibedakan berdasarkan (a) dimensi regional, (b) dimensi sosial, dan (c) dimensi temporal.

Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina, dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi, variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat diterima atau ditolak. Namun, variasi bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di masyarakat.

Setiap bahasa yang terdapat di dunia mengenal variasi bahasa. Variasi bahasa adalah keragaman bahasa yang terdapat pada masyarakat tutur (Kridalaksana, 1974: 134). Pendapat lain menyebutkan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara.

Aslindgf (2007:17) menyatakan bahwa variasi bahasa adalah bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola yang menyerupai pola umum bahasa induksinya. Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat/kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturannya yang tidak bersifat homogen.

Jadi, dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa adalah sejenis ragam bahasa  yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan, variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa.

B.    Klasifikasi Variasi Bahasa
Menurut Abdul Chaer (2004: 62) variasi bahasa dibedakan berdasarkan penuturnya, pemakaiannya, keformalannya, dan sarananya. Berikut ini akan dibahas macam-macam variasi bahasa tersebut.
1.    Variasi dari Segi Penutur
a.    Idiolek
Idiolek yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang memiliki variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan lainnya. Dari  hal-hal di atas yang paling mendominasi adalah warna suara sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang, hanya mendengar bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat mengenalinya. Mengenali idiolek seseorang dari bicaranya lebih mudah daripada melalui karya tulisnya.

b.    Dialek
Variasi bahasa dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional, atau dialek geografi. Para penutur dalam suatu dialek, meskipun mereka memiliki idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek, yang berbeda dengan kelompok penutur lain, yang berada dalam daleknya sendiri dengan ciri lain yang menandai dialeknya juga. Umpamanya, bahasa Jawa dialek Bayumas, Pekalongan, Surabaya, dan lain sebagainya.

c.    Kronolek atau Dialek Temporal
Variasi bahasa kronolek atau dialek temporal adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi bahasa pada tahun lima puluhan, dan variasi bahasa pada masa kini. Variasi bahasa pada ketiga zaman itu tentunya berbeda, baik dari segi lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis. Yang paling tampak biasanya dari segi leksikon, karena bidang ini mudah sekali berubah akibat perubahan sosial budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

d.    Sosiolek atau Dialek Sosial
Sosiolek adalah variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik, biasanya variasi bahasa inilah yang paling banyak dibicarakan, karena variasi bahasa ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, dan keadaan sosial ekonomi. Perbedaan variasi bahasa ini bukan berkenaan dengan isi pembicaraan, melainkan perbedaan dalam bidang morfologi, sintaksis, dan kosakata.
1)    Variasi bahasa berdasarkan usia
Variasi bahasa berdasarkan usia yaitu variasi bahasa yang digunakan berdasarkan tingkat usia. Misalnya variasi bahasa anak-anak akan berbeda dengan variasi remaja atau orang dewasa.

2)    Variasi bahasa berdasarkan pendidikan
Variasi bahasa berdasarkan pendidikan yaitu variasi bahasa yang terkait dengan tingkat pendidikan si pengguna bahasa. Misalnya, orang yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar akan berbeda variasi bahasanya dengan orang yang lulus sekolah tingkal atas. Demikian pula, orang lulus pada tingkat sekolah menengah atas akan berbeda penggunaan variasi bahasanya dengan mahasiswa atau para sarjana.

3)    Variasi bahasa berdasarkan seks
Variasi bahasa berdasarkan seks adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis kelamin, dalam ini pria atau wanita. Misalnya, variasi bahasa yang digunakan oleh ibu-ibu akan berbeda dengan variasi bahasa yang digunakan bapak-bapak.

4)    Variasi berdasarkan profesi, pekerjaan, atau tugas
Variasi bahasa berdasarkan profesi adalah variasi bahasa yang terkait dengan jenis profesi, pekerjaan dan tugas para penguna bahasa tersebut. Misalnya, variasi yang digunakan oleh para buruh, guru, mubalik, dokter, dan lain sebagninya tentu mempunyai perbedaan variasi bahasa.

5)    Variasi bahasa berdasarkan tingkat kebangsawanan
Variasi bahasa berdasarkan tingkat kebangsawanan adalah variasi yang terkait dengan tingkat dan kedudukan penutur (kebangsawanan atau raja-raja) dalam masyarakatnya. Misalnya, adanya perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh raja (keturunan raja) dengan masyarakat biasa dalam bidang kosa kata, seperti kata mati digunakan untuk masyarakat biasa, sedangkan para raja menggunakan kata mangkat.

6)    Variasi bahasa berdasarkan tingkat ekonomi para penutur
Variasi bahasa berdasarkan tingkat ekonomi para penutur adalah variasi bahasa yang mempunyai kemiripan dengan variasi bahasa berdasarkan tingkat kebangsawanan, hanya saja tingkat ekonomi bukan mutlak sebagai warisan sebagaimana halnya dengan tingkat kebangsawanan. Misalnya, seseorang yang mempunyai tingkat ekonomi yang tinggi akan mempunyai variasi bahasa yang berbeda dengan orang yang mempunyai tingkat ekonomi lemah.

Berkaitan dengan variasi bahasa berdasarkan tingkat golongan, status dan kelas sosial para penuturnya dikenal adanya variasi bahasa akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, ken, dan prokem. Adapun penjelasan tentang variasi bahasa tersebut adalah sebagai berikut.
•    Akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada variasi sosial lainya. Sebagai contoh akrolek ini adalah yang disebut sebagai bahasa bagongan, yaitu bahasa Jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton Jawa.
•    Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dipandang rendah. Contoh basilek adalah bahasa Inggris yang digunakan oleh para cowboy dan kuli tambang. Begitu juga nahasa Jawa “krama desa”.
•    Vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pada pemakai bahasa yang kurang terpelajar atau dari kalangan yang tidak berpendidikan.
•    Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalanga tertentu yang sangat terbatas dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu.
•    Kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kata kolokial berasal dari kata colloquium yang berarti ‘percakapan, konversasi’. Jadi kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa ulis. Kolokial ini cenderung menyingkat kata karena bukan merupakan bahasa tulis. Misalnya dok (dokter), prof (profesor), let (letnan), nda (tidak), dll.
•    Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan itu tidak bersifat rahasia. Misalnya, ungkapan para montir dengan istilah roda gila, didongkrak, dan lain-lain.
•    Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot ini adalah pada kosakata. Misalnya, bahasa para pencuri dan tukang copet, kaca mata artinya polisi.
•    Ken adalah variasi sosial yang bernada memelas, dibuat merengek-rengek penuh dengan kepura-puraan. Misalnya, variasi bahasa para pengemis.
•    Prokem adalah variasi bahasa dengan leksikon tertentu digunakan oleh kaum remaja. Contohnya, kata bokap untuk bapak, sepokat untuk sepatu, dan bokin untuk bini. Ada juga yang mengatakan bahwa prokem adalah sejenis variasi bahasa khas yang boleh disebut sebagai jenis bahasa rahasia yang hanya digunakan kelompok tertentu saja untuk berkomunikasi dengan warga masyarakat yang bukan anggota kelompok mereka.

2.    Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan lewat Abdul Chaer, 2004: 68) atau register. Variasi bahasa ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaiannya ini menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuwan.

Variasi bahasa dari segi pemakaian ini yang paling tampak cirinya adalah dalam hal kosakata. Setiap bidang kegiatan biasanya mempunyai kosakata khusus yang tidak digunakan dalam bidang lain. Namun demikian, variasi berdasarkan bidang pemakaian ini tampak pula dalam tataran morfologi dan sintaksis. 

Ragam bahasa sastra biasanya menekan penggunaan kata dari segi estetis sehingga dipilih dan digunakanlah kosakata yang tepat. Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah; komunikatif karena jurnalistik harus menyampaikan berita secara tepat; dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasan waktu (dalam media elektronik). Intinya ragam bahasa yang dimaksud adalah ragam bahasa yang menunjukkan perbedaan ditinjau dari segi siapa yang menggunakan bahasa tersebut. 

Ragam bahasa militer dikenal dengan cirinya yang ringkas dan bersifat tegas, sesuai dengan tugas dan kehidupan kemiliteran yang penuh dengan disiplin dan instruksi. Bahasa militer di Indonesia dikenal dengan cirinya yang memerlukan ketegasan yang dipenuhi berbagai singkatan dan akronim.

Ragam bahasa ilmiah yang juga dikenal dengan cirinya yang lugas, jelas, dan bebas dari ambigu, serta segala macam metafora dan idiom. Bebas dari segala keambiguan karena bahasa ilmiah harus memberikan informasi keilmuan secara jelas, tanpa keraguan makna, dan terbebas dari kemungkinan tafsiran makna yang berbeda.

3.    Variasi dari segi Keformalan
Variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (lewat Abdul Chaer, 2004: 70) membagi variasi bahasa atas lima macam gaya, yaitu:
a.    Gaya atau ragam beku (frozen)
Gaya atau ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan pada situasi-situasi khikmat dan upacara-upacara resmi, misalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah, kitab undang-undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan.

b.    Gaya atau ragam resmi (formal)
Gaya atau ragam resmi adalah variasi bahasa yang biasa digunakan pada pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, buku pelajaran, dan lain sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi.

c.    Gaya atau ragam usaha (konsultatif)
Gaya atau ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim dalam pembicaraan biasa di sekoliah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi. Jadi, dapat dikatakan, ragam bahasa ini adalah ragam bahasa yang paling operasional. Wujud ragam ini berada di antara ragam formal dan ragam informal atau santai.

d.    Gaya atau ragam santai (casual)
Gaya bahasa ragam santai adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi yang tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu istirahat, berolahraga, berekreasi, dan sebagainya.

e.    Gaya atau ragam akrab (intimate)
Gaya atau ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antaranggota keluarga atau antarteman yang sudah karib. Variasi bahasa ini biasanya ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek dan artikulasi  seringkali tidak jelas. Hal ini karena di antara partisipan sudah ada saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama.

4.    Variasi dari Segi Sarana
Di dalam bahasa Indonesia di samping dikenal kosakata baku Indonesia dikenal pula kosakata bahasa Indonesia ragam baku, yang sering disebut sebagai kosa kata baku bahasa Indonesia baku. Kosakata baku bahasa Indonesia, memiliki ciri kaidah bahasa Indonesia ragam baku, yang dijadikan tolok ukur yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan penutur bahasa Indonesia, bukan otoritas lembaga atau instansi didalam menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Jadi, kosa kata itu digunakan di dalam ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam pemakian ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa ragam yang bersangkutan.

Suatu ragam bahasa, terutama ragam bahasa jurnalistik dan hukum, tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan bentuk kosakata ragam bahasa baku agar dapat menjadi panutan bagi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Perlu diperhatikan ialah kaidah tentang norma yang berlaku yang berkaitan dengan latar belakang pembicaraan (situasi pembicaraan), pelaku bicara, dan topik pembicaraan (Fishman ed., 1968; Spradley, 1980). Ragam bahasa Indonesia berdasarkan media dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut.

a.    Ragam bahasa lisan
Ragam bahasa lisan adalah ragam bahasa yang diungkapkan melalui media lisan, terkait oleh ruang dan waktu sehingga situasi pengungkapan dapat membantu pemahaman. Ragam bahasa lisan didukung oleh situasi pemakaian. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur  di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan. Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis. Ciri-ciri ragam lisan adalah sebagai berikut:
1)    memerlukan orang kedua atau teman bicara,
2)    tergantung situasi, kondisi, ruang, dan waktu,
3)    hanya perlu intonasi serta bahasa tubuh,
4)    berlangsung cepat,
5)    sering dapat berlangsung tanpa alat bantu,
6)    kesalahan dapat langsung dikoreksi,
7)    dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta intonasi.
Yang termasuk dalam ragam lisan di antaranya pidato, ceramah, sambutan, berbincang-bincang, dan masih banyak lagi. Semua itu sering digunakan kebanyakan orang dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat berbincang-bincang, karena tidak diikat oleh aturan-aturan atau cara penyampaian seperti halnya pidato ataupun ceramah.

b.    Ragam bahasa tulis
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosakata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.

Contoh dari ragam bahasa tulis adalah surat, karya ilmiah, dan surat kabar. Dalam ragam bahsa tulis perlu memperhatikan ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Terutama dalam pembuatan karya-karya ilmiah. Ciri ragam bahasa tulis adalah sebagai berikut:
1)    tidak memerlukan kehadiran orang lain,
2)    tidak terikat ruang dan waktu,
3)    kosakata yang digunakan dipilih secara cermat,
4)    pembentukan kata dilakukan secara sempurna,
5)    kalimat dibentuk dengan struktur yang lengkap,
6)    paragraf dikembangkan secara lengkap dan padu,
7)    berlangsung lambat,
8)    memerlukan alat bantu.

C.    Penyebab Variasi Bahasa
Beberapa penyebab adanya variasi bahasa adalah sebagai berikut.
1.    Perbedaan wilayah
Setiap daerah mempunyai perbedaan kultur atau daerah hidup yang berbeda seperti wilayah Jawa dan Papua dan beberapa wilayah Indonesia lainnya.

2.    Perbedaan demografi
Setiap daerah memiliki dataran yang berbeda seperti wilayah di daerah pantai, pegunungan yang biasanya cenderung mengunakan bahasa yang singkat jelas dan dengan intonasi volume suara yang besar. Berbeda dengan pada pemukiman padat penduduk yang menggunakan bahasa lisan yang panjang lebar dikarenakan lokasinya yang saling berdekatan dengan intonasi volume suara yang kecil.

3.    Perbedaan adat istiadat
Setiap daerah mempunyai kebiasaan dan bahasa nenek moyang senderi sendiri dan berbeda beda. Sebagai contoh ilustrasi berikut akan menggambarkan contoh simple adanya keragaman bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari hari. 

Ana adalah seorang pelajar, ibunya berasal dari Papua dan ayahnya dari Lampung, Ana sedari kecil tinggal di Papua dareah pegunungan, sehari hari Ana menggunakan bahasa daerah Papua, ketika berusia 17 tahun Ana pindah dan memetap di Jakarta, teman teman Ana heran mendengar logat dialek bahasa Ana yang berbeda dan terbiasa berbicara dengan volume suara yang keras namun mereka mampu memaklumi karena inilah ragam bahasa Indonesia.


BAB III
KESIMPULAN

Variasi bahasa adalah sejenis ragam bahasa  yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan, variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa.

Jenis-jenis variasi bahasa, antara lain adalah sebagai berikut:
1.    variasi bahasa dari segi penutur,
2.    variasi bahasa dari segi segi pemakaian,
3.    variasi bahasa dari segi segi keformalan,
4.    variasi bahasa dari segi segi sarana.

Penyebab adanya variasi bahasa adalah sebagai berikut:
1.    perbedaan wilayah,
2.    perbedaan adat istiadat,
3.    perbedaan demografi.


DAFTAR PUSTAKA

Alwi,dkk (eds). 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Aslindgf. 2007. Variasi Bahasa. http://larasati-cadiva.blogspot.com /2010/04 /variasi-bahasa.html. Diunduh pada tanggal 10 April 2011.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dkk. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Moch. Maulana Syahruddin. 2012. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Timbulnya Ragam Bahasa Di Indonesia. http://maulodonk221027.blogspot.com/2012/06/faktor-faktoryang-menyebabkan_25.html?m=1. Diunduh pada tanggal 5 Maret 2013.

Sumarsono. 2012. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

KAJIAN STILISTIKA CERPEN EMHA AINUN NADJIB, PADANG KURUSETRA (Bag. 2)

BAB III
HASIL KAJIAN

A.    UNSUR LEKSIKAL
Unsur leksikal yang membangun cerpen Padang Kurusetra karya Emha Ainun Nadjib ini mengacu pada penggunaan diksi atau pilihan kata. Cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra merupakan cerpen yang menggunakan kata-kata yang sederhana sekaligus kompleks.  Dikatakan demikian, sebab jika dilihat dari bentuk yang cenderung banyak menggunakan tanda koma (pola asindenton) menyebabkan kalimat menjadi kompleks. Dilihat dari maknanya pun memang cenderung kompleks. Namun, pada beberapa bagian, Emha menggunakan kata-kata, frase, dan rangkaian kalimat sederhana yang lugas dan mudah dipahami.

Kata-kata yang digunakan kebanyakan adalah bahasa nonformal atau kolokial. Hal ini dipilih agar pembaca lebih mudah memahami isi dan maksud dari cerpen ini. Penggunaan kata-kata kolokial ini tidak terlepas dari latar belakang sang pengarang sebagai salah satu tokoh sosial, budaya, dan agama yang biasa menggunakan dialek Jawa.

Bahasa non-formal dan kolokial yang tampak, misalnya pada kalimat:
— Sejak dulu kejujuran itu mahal, Arjuna.
+ Sejak dulu kejujuran itu mahal, Kakang, mahal dan goblok.
— Kata-katamu kacau, Adi!

Sedangkan, kata-kata asing yang digunakan adalah sebagai berikut:
Bahasa Jawa
kursi selonjor    kakang
tiwikrama    adi
tapasamadi    goblok
denawa    loyo
lhadalah    prana
mesu    apana
lelanabrata    mripat
diserimpung    kok
kamitua    toh

Penggunaan ungkapan dan juga kata-kata yang diambil dari istilah asing sengaja dipakai untuk menimbulkan nilai rasa yang berbeda. Misalnya penggunaan kata kursi selonjor yang bersinonim dengan kursi santai/kursi malas tentu memunyai nilai rasa yang lebih khusus. Istilah kursi selonjor merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang bermakna ’tempat duduk panjang yang digunakan untuk bersantai dengan cara meluruskan kaki ke depan’. Sedangkan, kursi santai atau kursi malas cenderung lebih umum.

Kata lain yang diambil dari bahasa Jawa adalah lhadalah, di-serimpung, kamitua, kakang, adi, goblok, loyo, dan mripat. Lhadalah adalah ’kata seru yang sering diungkapkan jika seseorang merasa terkejut atau tidak percaya pada sesuatu yang baru didengarnya’; kata di-serimpung memiliki makna yang dekat dengan 'dihalau', hanya saja lebih khusus ditujukan pada kaki; kata kamitua memiliki makna ’kepala desa/ dukuh’; kata kakang dan adi maknanya sama dengan kata 'kakak' dan 'adik', hanya saja kedua kata di belakang tidak akan digunakan dalam dunia pewayangan Jawa; kata goblok dan loyo sering digunakan dalam perbincangan sehari-hari, bahkan oleh orang yang tidak menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasinya; kata mripat adalah bentuk kasar kedua, setelah mata, dalam bahasa Jawa, kata ini biasa digunakan dalam pembicaraan yang melibatkan dua/ lebih orang yang memiliki kedudukan sama /hampir sama dalam strata sosial Jawa; kata kok dirangkaikan dalam kalimat yang memiliki makna meyakinkan seseorang; sedangkan kata toh sering digunakan untuk memberi penekanan terhadap suatu pernyataan.

Kita dapat melihat penggunaan kata/ ungkapan tersebut, misalnya, dalam kalimat:
— Lhadalah! Sungguh yang kudengar darimu ialah kabar bencana. Malapetaka dan aib yang tiada taranya bagi keluarga Pandawa. Bukanlah ksatria orang yang tak tahan derita. Tak patutlah seseorang menjadi keturunan Pandu Dewanata jika ia gampang tergoyah!

Atau dalam kalimat:

+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?

Terdapat juga beberapa kata/ frase yang belum akrab pada pembaca. Namun, beberapa kata/ frase/ istilah tersebut memang sering digunakan dalam dunia pewayangan, misalnya tiwikrama, tapasamadi, mesu, lelanabrata, prana, dan apana.

Kata-kata tersebut akan tampak maknanya jika dikaitkan dengan konteks kalimat, misalnya:
Prabu Kresna terenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa. Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping.

Cerpen ini terdiri atas kurang lebih 4402 kata, 363 frase, 321 klausa, 324 kalimat, dan 84 paragraf/ bagian (perincian terdapat dalam lampiran). Ada beberapa jenis kata yang dipakai dalam cerpen tersebut. Diantaranya adalah kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, dan kata tugas.
Jenis kata    Jumlah
Kata benda dan kata ganti (nomina dan pronomina)    2165 = 49,20%
Kata kerja (verba)    1279 = 29,05%
Kata sifat (adjektiv)    502 = 11,40 %
Kata bilangan (numeralia)    114 = 2,59%
Kata tugas (partikel)    233 = 5,29 %
Adverbia     109 = 2,47%

Dari tabel di atas diketahui bahwa pengarang lebih banyak menggunakan kata berjenis nomina dalam cerpennya. Namun, rentetan kata benda (nomina) tidak akan cukup menyampaikan makna jika tidak dirangkai dengan jenis kata lain, seperti kata kerja (verba), kata sifat (adjektiv), kata bilangan (numeralia), kata tugas (partikel), dan/atau adverbia.

Kata benda (nomina) yang dipilih pengarang untuk cerpennya ini beragam dan kompleks. Beberapa di antaranya tergolong nomina konkret dan beberapa yang lain tergolong nomina abstrak. Nomina konkret tampak pada kata rakyat, prajurit, mereka, sang Kresna, para Pandawa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, raja, tukang kayu, para pekatik, cendol, kaki-kaki kuda, Padang Kurusetra, pasar, desa, hutan, dan kancah pertarungan dalam  beberapa kalimat di bawah ini:
Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu. Sang Kresna tidak mau membantu jatuhnya seorang raja, menaikkan raja yang lain, ganti berganti, dan rakyat terlempar dari penindasan ke penindasan berikutnya; diinjak-injak oleh kaki-kaki kuda dan para pekatik; dihardik oleh penderitaan kemarin, hari ini dan besok. Tidak, sekali-kali tidak. Biarlah para Pandawa hidup di desa atau mengembara di hutan. Biarlah Yudhistira jadi kamituwa, Bima jadi tukang kayu, Arjuna bercocok tanam, sementara Nakula dan Sadewa menjual cendol di pasar.

Kata rakyat, prajurit, mereka, sang Kresna, para Pandawa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, raja, tukang kayu, dan para pekatik merujuk pada manusia; cendol merujuk pada benda; kaki-kaki kuda merujuk pada makhluk hidup; sedangkan Padang Kurusetra, pasar, desa, hutan, dan kancah pertarungan merujuk pada tempat.

Sedangkan, nomina abstrak juga banyak muncul dalam cerpen ini. Beberapa di antaranya tampak pada kata cahaya, keluhuran, kejahatan, dosa, derita, kematian, hidup, mati, ada, dan tiada dalam paragraf di bawah ini:
+ Kakang Kresna! Bisa kulepaskan cahaya, anak panah yang meleburkan besi baja. Tapi, betapa mungkin saudara-saudaraku sendiri yang amat kucintai mesti kutusuk dadanya. Keluhuran apa gerangan yang hendak kucapai, jika dengan merajah darah sanak kandang sendiri. Mending aku jadi peminta-minta daripada harus dirundung dosa dan derita akibat kematian saudara-saudara yang tercinta.
— Arjuna Adiku! Sesalilah apa yang memang patut disesali. Seorang ksatria yang arif tak bakal bersedih, karena yang harus ia tumpas bukanlah saudara-saudaranya, melainkan kejahatan yang mereka sandang. Seorang ksatria yang paripurna tak akan menderita, karena dirinya tak dibelah oleh air dan api, oleh hidup dan mati, oleh ada atau pun tiada.

Kata cahaya bermakna petunjuk; keluhuran dan kejahatan merujuk pada kualitas moral; dosa dan derita merujuk pada proses; kematian, hidup, mati, ada, dan tiada merujuk pada peristiwa.

Kata kerja (verba) yang mengisi cerpen ini adalah kata kerja transitif, intransitif, dan pasif. Kata kerja transitif tampak pada kata menggenggam, membusungkan, dan mengisap dalam kalimat-kalimat:
Prabu Kresna terenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa. Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping. Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.

Ketiga kata di atas memiliki makna yang sama, yaitu tindakan atau perbuatan. 

Kata kerja intransitif tampak pada kata naik, turun, bertarung, bertahan, keluar, dan masuk, yang ketiganya memiliki makna tindakan.
+ Kakang Kresna! Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk. Demikian jua aku.

Sedangkan, kata kerja pasif ada pada kata dibela yang memiliki makna perbuatan dalam kalimat:
Kurawa memang adalah penguasa. Tapi apa gerangan yang hendak dibela oleh para Pandawa? Mereka tidak mewakili rakyat. Mereka hanya mewakili kebenaran: kebenaran masalah mereka sendiri. Kini kebenaran itu tak ada. Tanah ini hanyalah warisan Sang Hyang Wenang kepada rakyat.

Kata sifat (adjektiv) banyak tampil pada kalimat di bawah ini:

—    Gila! Mereka tak akan sirna
Sebelum menumpas Kurawa!
+ Kurawa takkan tumpas Duryudana yang busuk, jika putus nyawa
Telah siap pengganti-penggantinya
Sengkuni yang licik dan kumal jiwanya
Dorna si kerak neraka
Menjadi debu racun di tangan Bisma
—    Kejahatan mesti tumpas oleh kebenaran!
+ Mesti, tapi tak tentu.

Kata gila, busuk, licik, dan kumal (pada frase kumal jiwanya) menjelaskan sesuatu yang bersifat psikis dan emotif. Kata tumpas, mesti, dan tak tentu lebih menekankan sifat referensial.
Kata bilangan (numeralia) yang ada dalam cerpen Padang Kurusetra lebih didominasi oleh numeralia tak tentu, misalnya pada bagian:
... Tubuh kami tertancam di bumi. Karena perut kami telah penuh oleh beratus ribu jengkal kebun, ladang, sawah, joglo-joglo mewah serta berjuta mata uang yang berlimpah. Kakang Suyudana telah menenteramkan hidup kami.

Kata tugas yang muncul sangat beragam. Beberapa di antaranya berwujud konjungsi, sedangkan beberapa yang lain berwujud preposisi.

B.    UNSUR GRAMATIKAL
Unsur gramatikal merujuk pada pengertian struktur kalimat. Sebuah gagasan  dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat yang berbeda struktur dan kosa katanya. Cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra ini memiliki unsur-unsur gramatikal sebagai berikut:
1.    Kompleksitas Kalimat
Struktur kalimat yang digunakan oleh pengarang cenderung kompleks. Hal itu ditandai banyaknya tanda baca koma (,) dalam satu kalimat. Paling tidak, ada lebih dari tiga tanda koma (,) dalam beberapa kalimat. Hal itu dimaksudkan untuk memperjelas maksud dari kalimat yang dirujuk. Dalam dua paragraf di bawah ini tampak pola asindenton tersebut.
Setyaki siap melaksanakan perintah itu. Membenahi kereta dan kuda, kemudian memandang Pancajanya dan bergumam sendiri: ”Terompet yang malang! Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah. Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?”
Sejak lama memang Sang Prabu Kresna menganggur. Ia yakin sudah bahwa Bharata Yudha memang tak akan pernah terjadi. Tak ada perebutan tanah. Tanah itu milik rakyat, dan di manakah rakyat, di tengah jajaran wayang-wayang? Tentu tidak tertampung dalam kotak ki dalang. Di mana? Mungkin mereka adalah para penonton yang terkantuk-kantuk sepanjang malam, berbaring di rerumputan, bersandar di pepohonan, bergumam di antara mereka sendiri tapi tak berkata apa pun kepada ki dalang.

Dalam satu kalimat rata-rata terdiri atas 19 kata. Dengan gaya asindenton yang banyak memakai tanda koma. Pola yang paling menonjol yakni pola hubungan koordinatif dan subordinatif.

2.    Jenis Kalimat
Jenis kalimat yang banyak digunakan oleh pengarang adalah kalimat deklaratif (kalimat yang menyatakan sesuatu) dengan frekuensi kemunculan 173 kali. Hal dimaksudkan untuk memberikan banyak informasi kepada pembaca mengenai jalan cerita, watak tokoh, serta informasi-informasi penting yaang menyangkut makna dan metafora dalam cerita.
Selain kalimat berjenis deklaratif, Emha juga menggunakan kalimat berjenis lain yang mendukung efek estetis dan puitisnya, seperti: kalimat interogatif (kalimat yang makna pertanyaan), kalimat imperatif (kalimat yang mengandung makna perintah atau larangan), kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat langsung, kalimat tak langsung, dan beberapa kalimat minor (kalimat yang tak lengkap fungtor-fungtornya). Namun, untuk perincian jenis kalimat, lihat tabel 1 pada lampiran halaman i-viii.

Jenis Kalimat    Jumlah    Jumlah (%)
Kalimat deklaratif    173    73,93
Kalimat interogatif    19    8,12
Kalimat imperatif    42    17,93
Kalimat aktif    89    62,68
Kalimat pasif    53    37,32
Kalimat langsung    166    98,81
Kalimat tak langsung    2    1,19

3.    Jenis Klausa dan Frase
Cerpen yang berjudul Padang Kurusetra ini memiliki 321 klausa, yang kebanyakan tergolong klausa predikatif (untuk perincian jumlah klausa, lihat tabel 2 pada lampiran halaman ix-xiv). Sedangkan, frase yang ada berjumlah 363 buah (untuk perician jenis frase, lihat tabel 3 pada lampiran halaman xv-xxi).

Pemakaian struktur kalimat yang menggunakan banyak tanda koma memang dapat membingungkan pembaca. Namun, sebenarnya apa yang dilakukan oleh pengarang adalah untuk memperjelas makna.
Kosa kata- kosa kata yang dipakai dengan memakai istilah Jawa memang dimaksudkan untuk lebih memperjelas makna, terutama nilai rasa dan kekhasan (kekhususan). Sebab, apabila kosa kata asing itu diubah ke dalam kosa kata Bahasa Indonesia, walaupun memiliki arti yang sama, akan tetap menyebabkan nilai rasanya berbeda, bahkan tidak tersampaikan pesannya.

C.    UNSUR RETORIKA
Pembahasan mengenai retorika berhubungan dengan pemajasan, penyiasatan struktur, dan pencitraan. Cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra ini akan dibahas dengan aspek-aspek di atas.
1.    Pemajasan
a.    Hiperbola
Pemajasan ini ada dalam bagian-bagian di bawah ini:
1) Ungkapan menggenggam bulatan bumi tidak mungkin dilakukakan oleh manusia biasa dan dalam keadaan biasa. Ungkapan ini dipergunakan untuk menunjukkan kesaktian seseorang berserta emosi yang tengah merasuk hatinya. Di dalam kalimat ini dinyatakan bahwa Sang Kresna tengah bangun dari duduk santainya lantas akan melakukan sesuatu kewajiban yang hampir saja lupa dilakukannya.
Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping. ...

2) Ungkapan mengisap seluruh udara, seperti halnya ungkapan di atas, dipergunakan untuk menunjukkan kesaktian seseorang.
Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala. ...

b.    Metonimi
Pemajasan ini ada dalam bagian-bagian di bawah ini:
1) Frase kereta perang serta terompet Pancajanya menunjukkan dua buah benda milik Sang Kresna. Dalam kalimat ini, dua buah benda tersebut disebutkan beserta namanya.
Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki, memerintahkan agar ia menyiapkan kereta perang serta terompet Pancajanya.

2) Kata Pancajanya merujuk pada terompet milik Sang Kresna.
Setyaki siap melaksanakan perintah itu. Membenahi kereta dan kuda, kemudian memandang Pancajanya dan bergumam sendiri.
3) Bharata Yuda adalah nama perang yang dituju oleh Sang Kresna.
Sejak lama memang Sang Prabu Kresna menganggur. Ia yakin sudah bahwa Bharata Yudha memang tak akan pernah terjadi.

4) Kata kebenaran dalam kalimat ini dinyatakan secara eksplisit, bahwa sesungguhnya rakyat membutuhkan kebenaran, hanya saja kebenaran yang tampak sekarang merupakan kamuflase, gincu yang menor yang tidak seharusnya disaksikan oleh rakyat.
Mereka tidak mewakili rakyat. Mereka hanya mewakili kebenaran: kebenaran masalah mereka sendiri.

5) Dewanata adalah terompet milik Arjuna; Paundra adalah gada milik Bima; Anantawijaya adalah senjata Yudhistita; sedangkan Sugosa dan Manipuspaka, masing-masing, merupakan andalan Nakula dan Sadewa; dalam kalimat ini nama-nama tersebut disebutkan.
+ Kakang Kresna! Di tanganku tergenggam terompet Dewanata. Kakang Bima siap dengan Paundra. Kakang Yudhistira dengan Anantawijaya. Adi Nakula dengan Sugosa dan Adi Sadewa dengan Manipuspaka. Bahkan Adi Srikandi telah gatal ingin meneteskan darah pahlawannya. Juga Drestajumena telah lama pasang kuda-kuda. Tetapi, kami termangu-mangu saja. Sukma kami tergetar, keragu-raguan menimpa.

6) Kata kamituwa dan tukang kayu merupakan dua profesi yang secara langsung diungkapkan dalam cerpen ini.
Biarlah para Pandawa hidup di desa atau mengembara di hutan. Biarlah Yudhistira jadi kamituwa, Bima jadi tukang kayu, Arjuna bercocok tanam, sementara Nakula dan Sadewa menjual cendol di pasar.
c.    Perbandingan (Simile)
Pemajasan ini ada dalam bagian-bagian di bawah ini:
1) Ungkapan ... bagai onggokan sampah merupakan ungkapan yang membantu pemabaca untuk membayangkan betapa terompet tersebut sudah tidak pernah disentuh oleh Sang Kresna. Keberadaannya, bahkan, sedah dilupakan karena tidak berguna lagi.
”Terompet yang malang! Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah. ...
2) Ungkapan ... bagai ditabrak matahari mukanya menyatakan keadaan bahwa Sang Kresna kaget bukan kepalang, sekaligus marah karena sesuatu hal.
Sang Prabu Kresna bagai ditabrak matahari mukanya.

d.    Personifikasi
Pemajasan ini ada dalam bagian-bagian di bawah ini:
1) Kata langit secara denotasi tidak memiliki daya untuk mengisap karena kata kerja tersebut hanya dimiliki oleh manusia. Namun, dalam cerpen Padang Kurusetra ini, pengarang mengatakan habis diisap langit sepi yang menunjukkan bahwa keinginan Sang Prabu Kresna untuk meniup Pancajaya sudah tidak ada sama sekali.
... Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?

2) Ungkapan waktu terhenti digunakan menunjukkan betapa saktinya Sang Kresna. Kata kerja yang digunakan dalam klausa tersebut mengambil sifat yang dimiliki oleh manusia. Demikian juga dengan ungkapan kehidupan yang berjalan .... Kata berjalan adalah kata kerja yang dikenakan pada manusia atau makhluk Tuhan yang dapat melakukan mobilitas, sedangkan waktu, tidak. Hal ini dapat terjadi sebab pengarang ingin menyampaikan bahwa proses hidup yang dijalani oleh tokohnya masih terus berlangsung.
Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.

3) Ungkapan keraguanmu menyeret ... dan jiwamu diserimpung ... meminjam verba yang biasa dikenakan pada manusia. Sesuatu yang dapat melakukan kata kerja menyeret dan diserimpung hanyalah manusia, sedangkan kata benda abstrak, seperti keraguan dan jiwa, sebenarnya tidak memiliki keduanya. Penggunaan dua kata kerja di atas untuk disandingkan pada kedua nomina tersebut untuk menyamakan sifat keraguan (berkonotasi negatif) yang dapat membuat seseorang menjadi buruk dan jiwamu (memiliki sifat netral) yang dapat dipengaruhi dengan hal-hal yang buruk sehingga mengalami degradasi.
Keraguanmu menyeret ke jagat fana. Pikiranmu pecah, jiwamu di-serimpung oleh nafsu dan benda.

e.    Metafora
1) Kalimat rakyat bukanlah tanah landasan ...; rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan ...; dan mereka juga bukan Padang Kurusetra itu ... merupakan kiasan yang tidak menggunakan kata pembanding sebagai pengantarnya. Penyampaiannya dilakukan secara langsung.
Maka, selama itu Sang Prabu Kresna menghentikan tiupan Pancajanya di tangannya. Ia tak mau mengadu raja melawan calon raja. Penguasa melawan calon penguasa. Rakyat bukanlah tanah landasan bagi kekuasaan raja demi raja. Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu. Sang Kresna tidak mau membantu jatuhnya seorang raja, menaikkan raja yang lain, ganti berganti, dan rakyat terlempar dari penindasan ke penindasan berikutnya; diinjak-injak oleh kaki-kaki kuda dan para pekatik; dihardik oleh penderitaan kemarin, hari ini dan besok. Tidak, sekali-kali tidak.

2) Ungkapan angin paling dahsyat memiliki makna 'cobaan paling besar yang harus ditaklukkan dan itu adalah nafsu yang tak dapat dikendalikan yang melekat dalam diri setiap orang’.
Sebab angin paling dahsyat yang harus ditaklukkan, terletak dalam jiwa setiap orang.

3) Ungkapan kenikmatan yang beranak derita berarti 'kenikmatan yang semu, yang mudah sekali berubah menjadi kesengsaraan panjang, karena kenikmatan tersebut didapat dengan menuruti hawa nafsu belaka’.
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita.

4)   Ungkapan merah dan kuning, dalam konteks cerpen ini, memiliki makna 'warna bendera parpol’.
Di merah atau kuning, di tanah atau angin, Arjuna adalah Arjuna.

5)    Frase gelombang samudera memiliki makna 'mudah berubah/dinamis’.
+ Kakang Kresna! Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk. Demikian jua aku.

6) Frase siluman dunia berarti 'sesuatu yang memiliki tendensi buruk terhadap seseorang dan dia melancarkan serangannya dengan cara siluman (licik)’.
Orang suci harus membebaskan diri dari siluman dunia agar memperoleh kedamaian hidup yang sebenarnya.

7) Ungkapan itulah pohon kanker bumi ... memiliki makna 'penyakit yang makin hari makin menggila (berbahaya) jika tidak segera ditumpas dari akarnya’.
Lihatlah Arjuna! Itulah pohon kanker bumi yang harus ditumbangkan. Itulah tantangan bagi ksatria yang memiliki kesadaran.

f.    Allegori
Allegori ialah cerita kias yang mengiaskan kejadian lain atau hal lain. Dalam cerpen Padang Kurusetra karya Emha Ainun Nadjib di atas memiliki beberapa cerita allegori. Beberapa di antaranya adalah:
1) Cerita allegori pertama lebih bersifat apa adanya, sesuai dengan konteks, yaitu menceritakan kenikmatan dunia yang hanya membawa kesengsaraan, sekaligus mengemukakan cara-cara agar kita terhindar dari nafsu-nafsu ingin memperoleh kenikmatan dunia tersebut.
— Engkau sudah teguh samadi, Arjuna. Mustinya telah kaucapai tingkat paling suci. Takut menderita adalah pantangan bagi seorang Yogi. Apalagi sekadar tak makan sehari dua hari. Pikiran bening dan seimbang, tak bakal terguncang meski oleh badai teramat kencang. Sebab angin paling dahsyat yang harus ditaklukkan, terletak dalam jiwa setiap orang.
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?

2) Cerita di bawah sebenarnya adalah cerita tentang bagaimana kesalahan seseorang ditimpakan kepada orang lain dengan cara menyuruh orang lain tersebut melakukan sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya (dijebak). Dalam era reformasi, teknik seperti ini kerap kali dilakukan oleh kalangan "atas”, dan publik menyebutnya dengan istilah mencari "kambing hitam/mengkambing-hitamkan”.
+ Mohon ampun adalah dosa kedua sesudah kerja ditinggalkan. Arjuna! Pandanglah langit memerah, ditutupi tabir putih. Ada kerbau menabrak pagar, kambing yang dihajar. Si kambing disuruh makan rumput, untuk bisa dipersalahkan. Sekawanan sapi diadu melawan sekawanan kerbau, untuk melihat bagaimana warna darah sapi-sapi itu serta agar mukanya bisa dicorengi dengan kotoran duburnya sendiri. Beberapa ekor harimau digiring agar merajah hutan sebelah, agar supaya ada alasan untuk memusnahkan harimau-harimau itu. Pandanglah ketegangan yang tenang, pandanglah gerak yang diam. Lihatlah sekam yang mengancam!

g.    Paradoks
1) Paradoks pertama adalah penolakan Arjuna atas penyamaan dirinya dengan sifat wayang yang "manut” pada apapun kata dalang. Ia memilih menjadi manusia yang memiliki kedaulatan atas dirinya, sekaligus alasannya untuk melakukan kesalahan. "Toh, manusia-lah tempatnya lupa,” demikian pikirnya.
+ Maafkan aku, Kakang Kresna. Aku bukanlah selembar wayang. Aku hanyalah seorang manusia.

2) Masih dalam dialog Arjuna yang mengatakan bahwa dirinya tetap Arjuna walaupun kini telah cenderung berubah. Ungkapan yang dipakai Arjuna untuk membela dirinya adalah, ”... sama bisa juga lain, seperti lain bisa juga sama.” Pernyataan ini sekaligus untuk menyindir pada elit politik yang tampak ”munafik” pada pernyataan-pernyataannya.
+ Arjuna adalah Arjuna. Janaka adalah Janaka. Memang. Tapi, sama bisa juga lain, seperti lain bisa juga sama.

3) Pernyataan-pernyataan di bawah ini juga mengandung banyak sindiran kepada pemerintah, jajaran birokrat, dan penguasa.  Mengenai proses hukum yang tidak adil, juga mengenai pencurian-pencurian akbar yang dilakukan oleh para ”orang besar”.
+ Negaraku memang kacau. Bagaimana tak kacau, rakyat disuruh makan gandum, sedangkan sang raja makan gunung. Gareng mencuri ayam dikurung tiga bulan, sang senopati makan tiga samudera minyak malah tidur ongkang-ongkang di permadani yang bersambung dari satu bukit ke bukit lain.

4) Pernyataan-pernyataan di bawah ini menunjukkan sindiran terhadap para manusia yang pernah "mendeklarasikan” bahwa dirinya adalah pahlawan, namun tidak memberikan bukti konkret pada kata-katanya.
— Kejahatan mesti tumpas oleh kebenaran!
+  Mesti, tapi tak tentu.
— Pandawa tetap ada!
+  Pandawa tetap ada, tapi ksatria Pandawa
Menguap ke angkasa.
Mereka telah jadi denawa.
Jadi raksasa-raksasa.
Yang makan apa pun saja!

5) Pernyataan-pernyataan di bawah ini merupakan pengakuan tokoh Arjuna tentang kekerdilan jiwanya.
    + Aduh, aduh Kakang Kresna! Jagad telah kutelan kembali. Kutemukan ruang hampa di tengah desingan udara. Kugenggam angin dan tenaga. Tetapi, darahku buntu, semangat perjuanganku seperti dicegat hantu.

h.    Tautologi
1) Tautologi dalam bagian di bawah ini menyatakan rakyat bukanlah objek yang dapat diperlakukan seenak para pemimpinnya sendiri. Hal ini dilakukan tiga kali, dengan kalimat yang berbeda namun memiliki makna yang hampir sama, supaya hal yang dimaksud lebih mendalam bagi pembaca.
... Rakyat bukanlah tanah landasan bagi kekuasaan raja demi raja. Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu. Sang Kresna ...

2) Pernyataan di bawah ini merupakan bagian dari dialog tokoh Arjuna untuk meyakinkan Sang Kresna bahwa dirinya masih ingat pada janji ksatrianya.
+ Kelaparan memang bikin kapok kok, Kakang. Tapi, bukan karena itu kami ragu berjuang. Soal berjuang itu, Kakang, tetap kok, tetap kok.

i.    Pleonasme
Pleonasme, jika dilihat sepintas lalu seperti taotologi, tetapi kata yang kedua telah tersimpul pada kata pertama. Hal tersebut tampak pada bagian dialog tokoh Arjuna yang dikutip di bawah ini.
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?

j.    Ironi
1) Pernyatan di bawah ini merupakan sindiran tajam terhadap keadaan bangsa yang tenagah carut-marut dan memiliki ”dunia” serba terbalik.
+ Aku dilahirkan oleh zaman yang memang terbalik-balik, Kakang. Dunia yang terbalik-balik, hukum yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik, keadilan yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik menjadi kebenaran. Yang jujur kojur, yang tak jujur mujur.

2) Pernyataan di bawah ini merupakan bagian dari dialog Sang Kresna yang digunakan untuk menyindir tokoh Arjuna yang telah mulai lupa pada tugas suci ksatrianya. Juga, untuk memberi tahu Arjuna tentang kebodohan rakyat yang sudah dirugikan namun masih belum juga sadar.
— Bagus, Adi! Jika demikian engkaulah Parantapa, penakluk setiap musuh. Tetapi, kenapakah engkau diam tepekur di sini, sedangkan hujan kejahatan tumpah, rakyat basah kuyup, meskipun mereka tetap tertawa.

3) Dua pernyataan ini adalah pernyataan dua tokoh yang memiliki pandangan berbeda terhadap negaranya. Secara kasat mata, pandangan mereka ini sangat jauh berbeda. Namun, sejatinya, tidak, karena salah satunya mendukung pernyataan yang satunya dengan cara menyindir.
+ Negara kita aman-aman saja.
— Aman-aman saja karena penyelewengan dibiarkan merajalela!

4) Pernyataan di bawah ini juga digunakan oleh tokoh Kresna untuk menyindir Arjuna.
— Lhadalah! Sungguh yang kudengar darimu ialah kabar bencana. Malapetaka dan aib yang tiada taranya bagi keluarga Pandawa. Bukanlah ksatria orang yang tak tahan derita. Tak patutlah seseorang menjadi keturunan Pandu Dewanata jika ia gampang tergoyah!

k.    Sinekdoki
Sinekdoki digunakan untuk menyebutkan suatu bagian yang penting dari suatu hal untuk hal itu sendiri. Sinekdoki yang terjadi pada bagian di bawah ini adalah sinekdoki pars prototo.
Sang Prabu Kresna naik pitam! Arjuna si pejuang hanya mohon dan mohon ampunan tanpa menyatakan sepercik pun niat perbuatan. Sang Prabu berkilat-kilat matanya. Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung.

2.    Penyiasatan Struktur
a.    Paralelisme
1)    Bagian berdiri tegak, membusungkan dada, dan mengisap seluruh udara memiliki tempat yang sejajar.
Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.

2)    Bagian berhari-hari, berbelan-bulan, dan bertahun-tahun memiliki fungsi yang sama dalam kalimat di bawah ini.
Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?

3)    Bagian terkantuk-kantuk, berbaring, bersandar, dan bergumam memiliki fungsi yang sama.
Mungkin mereka adalah para penonton yang terkantuk-kantuk sepanjang malam, berbaring di rerumputan, bersandar di pepohonan, bergumam di antara mereka sendiri tapi tak berkata apa pun kepada ki dalang?

b.    Repetisi
1)    Pada bagian ini rakyat menjadi pusat pembicaraan. Pengulangan kata rakyat untuk mengatakan bahwa rakyat—sebenarnya—adalah pemilik sah dari negeri ini.
... Rakyat bukanlah tanah landasan bagi kekuasaan raja demi raja. Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu.

2)    Bagian ini adalah dialog tokoh Arjuna yang berisi pernyataan bernada meyakinkan tokoh Kresna.
+ Kelaparan memang bikin kapok kok, Kakang. Tapi, bukan karena itu kami ragu berjuang. Soal berjuang itu, Kakang, tetap kok, tetap kok.

3)    Bagian ini adalah dialog Kresna.
— Lhadalah! Arjuna adalah Arjuna. Di langit atau bumi, di rimba atau samudera, Arjuna adalah Arjuna. Di waktu silam atau di masa datang, di dalam atau di luar ruang, Arjuna adalah Arjuna. Di merah atau kuning, di tanah angin, Arjuna adalah Arjuna. Arjuna adalah Arjuna.

4)    Bagian ini adalah bagian dialog tokoh Arjuna.
+ Aku dilahirkan oleh zaman yang memang terbalik-balik, Kakang. Dunia yang terbalik-balik, hukum yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik, keadilan yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik menjadi kebenaran.

c.    Anafora
1)    Bagian ini merupakan bagian silat lidah tokoh Arjuna.
Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk.

2)    Bagian ini adalah penjelasan sang Kresna kepada Arjuna tentang tantangan bagi tugas suci ksatria.
— Lihatlah Arjuna! Itulah pohon kanker bumi yang harus ditumbangkan. Itulah tantangan bagi ksatria yang memiliki kesadaran. Itulah alasan dan tanggung jawab untuk berjuang. Itulah sumber tekad yang harus ditegakkan. Majulah ke Padang Kurusetra, Adiku!

d.    Enumerasi
1)    Bagian pertama pada dialog ini menyatakan bahwa bumi memiliki penyakit kanker yang berbahaya. Bagian kedua dan ketiga merupakan pencabangan dari bagian pertama tersebut.
— Lihatlah Arjuna! Itulah pohon kanker bumi yang harus ditumbangkan. Itulah tantangan bagi ksatria yang memiliki kesadaran. Itulah alasan dan tanggung jawab untuk berjuang. Itulah sumber tekad yang harus ditegakkan. Majulah ke Padang Kurusetra, Adiku!

2)    Bagian pertama pada dialog ini merupakan awalan bagi bagian lainnya.
+ Mohon ampun adalah dosa kedua sesudah kerja ditinggalkan. Arjuna! Pandanglah langit memerah, ditutupi tabir putih. Ada kerbau menabrak pagar, kambing yang dihajar. Si kambing disuruh makan rumput, untuk bisa dipersalahkan. Sekawanan sapi diadu melawan sekawanan kerbau, untuk melihat bagaimana warna darah sapi-sapi itu serta agar mukanya bisa dicorengi dengan kotoran duburnya sendiri. Beberapa ekor harimau digiring agar merajah hutan sebelah, agar supaya ada alasan untuk memusnahkan harimau-harimau itu. Pandanglah ketegangan yang tenang, pandanglah gerak yang diam. Lihatlah sekam yang mengancam!

e.    Pertanyaan retoris
1)    Dialog ini adalah milik tokoh Arjuna.
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?

2)    Dialog ini juga masih milik tokoh Arjuna.
+ Kakang Kresna! Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk. Demikian jua aku.

3.    Pencitraan
Pencitraan yang digunakan dalam cerpen Padang Kurusetra beragam, di antaranya:
a.    Citraan penglihatan (visual imagery)
No.    Kalimat
1.    Mungkin mereka adalah para penonton yang terkantuk-kantuk sepanjang malam, berbaring di rerumputan, bersandar di pepohonan, bergumam di antara mereka sendiri tapi tak berkata apa pun kepada ki dalang.
2.    Biarlah Yudhistira jadi kamituwa, Bima jadi tukang kayu, Arjuna bercocok tanam, sementara Nakula dan Sadewa menjual cendol di pasar.
3.    Lelaki itu, yang sedang sibuk di kebunnya,
4.    kenapakah engkau diam tepekur di sini, sedangkan hujan kejahatan tumpah
5.    Pandanglah langit memerah, ditutupi tabir putih.
6.    Ada kerbau menabrak pagar, kambing yang dihajar.
7.    Arjuna terpana dan bingung beberapa saat, tapi segera sadar diri.
8.    Menemui alas yang bersih, ia kemudian duduk bersila
9.    semangat perjuanganku seperti dicegat hantu.

b.    Citraan pendengaran (auditory imagery)
No.    Kalimat
1.    Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi.
2.    Maka, selama itu Sang Prabu Kresna menghentikan tiupan Pancajanya di tangannya.
3.    Tetapi, fajar pagi itu, dalam tapasamadi-nya, Sang Prabu Kresna mendengar suara-suara dari penitisnya:
4.    ... mendengar rentetan kata-kata Kresna, segera bersembah:
5.    Kemudian terjadilah dialog, yang menyadarkan Sang Prabu Kresna akan kereta waktu, dunia, ruang dan peristiwa.
6.    rakyat basah kuyup, meskipun mereka tetap tertawa.
7.    Kami tak henti-henti bikin pernyataan-pernyataan.
8.    Tentu ada. Para punakawan, Bagong, Petruk, dan Gareng kami suruh mogok makan, tapi tak bisa bertahan lebih dari satu hari setengah malam.
9.    Sungguh yang kudengar darimu ialah kabar bencana.

c.    Citraan gerak (movement imagery)
No.    Kalimat
1.    Prabu Kresna terenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa.
2.    Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping.
3.    Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala
4.    Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki
5.    ”Aku akan menemui Arjuna beserta sekalian Pandawa,” katanya.
6.    Setyaki siap melaksanakan perintah itu
7.    Membenahi kereta dan kuda, kemudian memandang Pancajanya dan bergumam sendiri.
8.    Tidak! Kami semua melawan penyelewengan, melawan setiap penyalahgunaan kekuasaan, setiap ketidakadilan.
9.    Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung.

D.    UNSUR KOHESI DAN KOHERENSI
Sebuah cerita akan menjadi padu dan menarik jika terdapat hubungan yang mengaitkan antar bagian yang membangun jalannya cerita. Hubungan antarkata, kalimat, klausa, dan paragraf akan menjadi padu jika menggunakan penanda yang tepat dan benar. Kepaduan antarkata, kalimat, klausa, dan paragraf ini disebut dengan kohesi. Ada beberapa penanda dalam kohesi, di antaranya dengan menggunakan kata hubung antarkalimat atau antarparagraf, hubungan rujuk silang yang masih mengacu pada satu makna.
Untuk mengungkapkan sebuah gagasan yang utuh, tiap bagian kalimat, tiap kalimat, atau tiap alinea, yang dimaksudkan untuk mendukung gagasan itu haruslah dihubungkan satu dengan lainnya, baik secara eksplisit, implisit maupun keduanya (Nurgiyantoro, 2005: 306). Penggunaan penghubung dalam sebuah cerita akan menjadikan cerita tersebut utuh dan saling mengait antara cerita yang satu dengan cerita yang lainnya.
Bentuk-bentuk kohesi antara lain kata hubung, rujuk silang, bentuk penyingkatan, pengurangan atau penggantian. Kohesi yang ditemukan dalam cerpen Padang Kurusetra karya Emha Ainun Nadjib di antaranyaadalah sebagai berikut.
1.    Kata hubung
Pengarang menggunkan kata hubung untuk penanda kohesinya tampak pada kalimat:
a. Dua klausa di bawah ini dihubungkan dengan kata hubung karena untuk menyatakan hubungan kausalitasnya.
Prabu Kresna terenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa.

b. Dua hal di bawah ini dihubungkan dengan kata hubung dan untuk menyatakan hubungan kesejajarannya.
Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping.

c. Dua hal di bawah ini dihubungkan dengan kata hubung beserta untuk menyatakan kesejajaran.
”Aku akan menemui Arjuna beserta sekalian Pandawa,” katanya.

d. Dua kalimat ini dihubungkan oleh kata hubung tapi untuk mengungkapkan hubungan pertentangannya.
Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping. Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, ...

e. Dua klausa di bawah ini dihubungkan oleh penanda sehingga dan hingga untuk menjelaskan bahwa klausa kedua merupakan akibat dar klausa pertama.
Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.

f. Dua bagian ini memiliki hubungan tujuan.
Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki, memerintahkan agar ia menyiapkan kereta perang serta terompet Pancajanya.

g. Klausa pertama dijelaskan oleh hal yang menyertainya dengan cara pembandingkan. Cara membandingkan biasa menggunakan kata bagai.
Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah.

h. Penggunaan kata hubung bahwa dimaksudkan untuk menjelaskan objek yang dimaksud oleh pernyataan awal.
Ia yakin sudah bahwa Bharata Yudha memang tak akan pernah terjadi.

i. Dua paragraf di bawah dihubungkan oleh penanda maka, yang biasa dipakai dalam menghubungkan dua buah klausa. Penggunaan penanda maka dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pernyataan akhir merupakan kompensasi dari adanya pernyataan awal.
... Mereka tidak mewakili rakyat. Mereka hanya mewakili kebenaran: kebenaran masalah mereka sendiri. Kini kebenaran itu tak ada. Tanah ini hanyalah warisan Sang Hyang Wenang kepada rakyat.
Maka, selama itu Sang Prabu Kresna menghentikan tiupan Pancajanya di tangannya. ...

2.    Rujuk silang
a.    Rujuk silang pada bagian ini menggunakan kata ganti ia untuk merujuk pada tokoh Sang Kresna.
Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.
b.    Rujuk silang pada bagian ini menggunakan kata ganti ia untuk merujuk pada tokoh Harya Setyaki.
Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki, memerintahkan agar ia menyiapkan kereta perang serta terompet Pancajanya.

c.    Rujuk silang pada bagian ini menggunakan kata ganti kau (klitika) dan -mu untuk merujuk pada benda terompet Pancajanya milik Kresna.
”Terompet yang malang! Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah. Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?”

3.    Pengurangan
a.    Pada bagian ini kata Arjuna yang menjadi fokus pembicaraan dalam bagian ini dihilangkan. Hal ini tampak pada kalimat:
Sang Prabu berkilat-kilat matanya. Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung. Terjerembab di kelam hutan. Arjuna terpana dan bingung beberapa saat, tapi segera sadar diri.

b.    Pada bagian ini kata Sang Prabu yang menjadi tokoh utama dalam adegan ini beberapa kali dihilangkan.
Sang Prabu berkilat-kilat matanya. Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung. Terjerembab di kelam hutan.

c.    Pada bagian ini kata siap hanya dipakai pada bagian awal, sedangkan pada bagian berikutnya kata ini telah melebur dan tidak digunakan, namun sebenarnya pemaknaan terhadap kata ini tetap berlangsung.
+ Kakang Kresna! Di tanganku tergenggam terompet Dewanata. Kakang Bima siap dengan Paundra. Kakang Yudhistira dengan Anantawijaya. Adi Nakula dengan Sugosa dan Adi Sadewa dengan Manipuspaka.

d.    Kata ganti aku tidak dipakai dalam klausa kedua karena makna kata ini telah melesap.
+ Kakang. Aku rela dibunuh mereka daripada harus hidup dengan kenangan tentang darah muncrat di leher mereka. Biarlah aku menjadi tumbal kehidupan yang dikuasai api angkara murka.


BAB IV
KESIMPULAN

Karya-karya Emha Ainun Nadjib—puisi, esai, maupun naskah drama—hampir semuanya memiliki tendensi terhadap kebudayaan, kehidupan sosial, dan relijius. Entah berupa kritik sosial, penguatan dalam berkeyakinan, atau makna kontemplasi. Demikian pula dalam cerpennya ini. Kebudayaan Jawa diangkat dengan media tokoh wayang, kritikan-kritikan pedas namun mengalir juga memenuhi sebagian besar cerpen, dan tentu saja muatan moral juga kental terasa. Maka, tidak akan rugi rasanya, jika kita menyisihkan sebagian waktu kita untuk membaca cerpen ini atau mengkajinya lebih mendalam—entah dalam gaya pengarang, maupun pemaknaannya yang dalam.
1.    Unsur Leksikal
a.    Cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra merupakan cerpen yang menggunakan kata-kata yang sederhana sekaligus kompleks,
b.    Kata-kata yang digunakan menggunakan kebanyakan adalah bahasa non-formal atau kolokial,
c.    Penggunaan ungkapan dan juga kata-kata yang diambil dari istilah asing sengaja dipakai untuk menimbulkan nilai rasa yang berbeda,
d.    Cerpen ini terdiri atas kurang lebih 4402 kata, 363 frase, 321 klausa, 324 kalimat, dan 84 paragraf/bagian (perincian terdapat dalam lampiran),
Jenis kata    Jumlah
Kata benda dan kata ganti (nomina dan pronomina)    2165 = 49,20%
Kata kerja (verba)    1279 = 29,05%
Kata sifat (adjektiv)    502 = 11,40 %
Kata bilangan (numeralia)    114 = 2,59%
Kata tugas (partikel)    233 = 5,29 %
Adverbia     109 = 2,47%

2.    Unsur Gramatikal
a.    Struktur kalimat yang digunakan oleh pengarang cenderung kompleks,
b.    Jenis kalimat yang banyak digunakan oleh pengarang adalah kalimat deklaratif (kalimat yang menyatakan sesuatu),
Jenis Kalimat    Jumlah    Jumlah (%)
Kalimat deklaratif    173    73,93
Kalimat interogatif    19    8,12
Kalimat imperatif    42    17,93
Kalimat aktif    89    62,68
Kalimat pasif    53    37,32
Kalimat langsung    166    98,81
Kalimat tak langsung    2    1,19

c.    Cerpen yang berjudul Padang Kurusetra ini memiliki 321 klausa, yang kebanyakan tergolong klausa predikatif (untuk perincian jumlah klausa, lihat tabel 2 pada lampiran halaman ix-xiv),
d.    Frase yang ada berjumlah 363 buah (untuk perician jenis frase, lihat tabel 3 pada lampiran halaman xv-xxi).
3.    Unsur Retorika
a.    Pemajasan yang digunakan dalam cerpen Padang Kurusetra di antaranya: hiperbola, metafora, metonimia, paradoks, sinekdok, simile, personifikasi, allegori, ironi, tautologi, dan pleonasme,
b.    Penyiasatan struktur yang sering dipakai dalam cerpen ini adalah paralelisme, anafora, enumerasi, repetisi, dan pertanyaan retoris,
c.    Pencitraan yang muncul, di antaranya adalah pencitraan penglihatan (visual imagery), pencitraan pendengaran (auditory imagery), dan pencitraan gerak (movement imagery).
4.    Unsur Kohesi dan Koherensi
a.    Unsur kohesi dan koherensi yang muncul diungkapkan dengan penggunaan penanda hubung, rujuk silang, dan penghilangan beberapa bagian.


Sinopsis Cerpen Padang Kurusetra karya Emha Ainun Nadib
Saat itu, Sang Prabu Kresna tengah bersantai di kursi selonjornya. Namun, ia segera ingat bahwa suatu saat nanti akan terjadi perang besar, Bharata Yuda. Maka, ia segera bangkit dan memerintahkan kepada Harya Setyaki untuk menyiapkan kereta dan terompet Pancajanya, ia ingin menemui Arjuna.
Arjuna adalah anak ketiga dari keturunan Pandu Dewanata. Ialah yang paling dekat dengan Sang Prabu. Dalam suratan takdir, pada perang akbar itu, Sang Kresna akan membantunya sebagai sais kereta. Namun, tiba-tiba Sang Prabu mendengar suara Penitisnya, Wisnu, yang mengatakan bahwa Bharata Yuda batal terjadi. Perang antara kebaikan dan kejahatan itu tidak akan terjadi karena para Pandawa telah kehilangan jiwa ksatrianya. Sang Prabu tidak mau memercayai hal itu. Ia tetap akan berangkat menemui Arjuna.
Setibanya di tempat Arjuna, seperti biasa, ia disambut hangat oleh kelima adiknya itu. Namun, keadaan para Pandawa telah jauh berubah. Cahaya ksatria yang dulu memancar dari wajah mereka, kini telah tiada. Pandawa tampak seperti manusia biasa.
Kemudian, terjadilah dialog yang panjang antara Sang Prabu Kresna dan Arjuna. Sang Prabu mengingatkan Arjuna mengenai perang Bharata Yuda yang telah dekat waktunya. Arjuna, juga segenap Pandawa, memang tidak melupakan suratan takdir itu. Namun, mereka telah memutuskan untuk melawan kehendak takdir itu. Mereka merasa, persaudaraan dan "perdamaian” yang ada sekarang lebih daripada perang. Para Pandawa menolak maju ke padang Kurusetra.
Karena tampikan itu, sang Prabu marah bukan kepalang. Apalagi antara kedua belah pihak telah memiliki persepsi yang berbeda atas Bharata Yuda yang akan dilaksanakan di Padang Kurusetra. Para Pandawa, dengan juru bicara Arjuna, tetap mempertahankan idealisme baru mereka untuk mempertahankan ”perdamaian” yang telah ada dengan alasan bahwa mereka tidak akan sanggup melihat darah muncrat dari kubu pandawa maupun Kurawa karena hakikatnya keduanya bersaudara. Apalagi jika harus mengorbankan rakyat yang tidak berdosa, mereka tidak rela.
Namun, Sang Prabu masih dapat memahami pemikiran itu, dan dengan sabar, ia masih bersedia menjelaskan hakikat Bharata Yuda tersebut. Bahwa sesungguhnya yang ditumpas bukanlah saudara-saudara yang dicintai melainkan kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan di atas muka bumi ini. Para Pandawa tetap teguh pada pendiriannya. Mereka lebih memilih kehidupan yang berlangsung sekarang.
Maka, marahlah Sang Prabu Kresna. Dilemparkannya para Pandawa ke hutan yang kelam. Di hutan tersebut mereka diperintahkan untuk introspeksi pada atas pendirian mereka. Di hutan itu pula, Arjuna dan saudara-saudaranya dapat kembali mendengarkan suara hati mereka untuk mengembalikan jiwa ksatria mereka yang telah menguap. Namun, suara hati mereka tidak cukup kuat. Para Pandawa kalah melawan nafsunya.
Maka, datanglah kembali mereka menghadap Prabu Kresna. Mereka mengatakan bahwa mereka telah mendengar suara hati mereka kembali. Namun, mereka tak sanggup kembali ke kehidupan ksatrianya. Hal ini diakui oleh Arjuna dan Saudara-saudaranya karena pihak Kurawa, dalam kepemimpinan Suyudana telah menjejali perut mereka dengan makanan-makanan lezat dan memberikan harta benda yang berlimpah. Untuk itulah mereka menolak untuk melawan Kurawa yang telah ”berbaik hati” kepada mereka.
Setelah mendengar pengakuan Pandawa, hancur hati Sang Kresna dan marahlah dia. Kemudian, para Pandawa yang tadi dicengkeramnya terjatuh hingga jasadnya menggelinding. Dilemparkannya Pancajanya ke angkasa sehingga langit sobek.


DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Nadjib, Emha Ainun. 2006. BH (Kumpulan Cerpen). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pendit, Nyoman S. 2004. Mahabharata. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ramlan. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia—Sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono.

Sukandar, Sedopati. 2007. ”Membaca Sajak-Sajak Emha: Membaca Perjalanan Sujud” dalam Sabili No. 22, Th. XIV 17 Mei 2007/29 Rabiulakhir 1428 H, halaman 16-18.

Sumardjo, Jakob. 1980. Seluk-Beluk Cerita Pendek. Bandung: Mitra Kencana.

_____. 2004. Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teew, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra (Diindonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Tim Redaksi. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Diindonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT. Gramedia.

 Kumpulan Cerpen Emha Ainun Nadjib "BH"