BAB III
HASIL KAJIAN
A. UNSUR LEKSIKAL
Unsur leksikal yang membangun cerpen Padang Kurusetra karya Emha Ainun Nadjib ini mengacu pada penggunaan diksi atau pilihan kata. Cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra merupakan cerpen yang menggunakan kata-kata yang sederhana sekaligus kompleks. Dikatakan demikian, sebab jika dilihat dari bentuk yang cenderung banyak menggunakan tanda koma (pola asindenton) menyebabkan kalimat menjadi kompleks. Dilihat dari maknanya pun memang cenderung kompleks. Namun, pada beberapa bagian, Emha menggunakan kata-kata, frase, dan rangkaian kalimat sederhana yang lugas dan mudah dipahami.
Kata-kata yang digunakan kebanyakan adalah bahasa nonformal atau kolokial. Hal ini dipilih agar pembaca lebih mudah memahami isi dan maksud dari cerpen ini. Penggunaan kata-kata kolokial ini tidak terlepas dari latar belakang sang pengarang sebagai salah satu tokoh sosial, budaya, dan agama yang biasa menggunakan dialek Jawa.
Bahasa non-formal dan kolokial yang tampak, misalnya pada kalimat:
— Sejak dulu kejujuran itu mahal, Arjuna.
+ Sejak dulu kejujuran itu mahal, Kakang, mahal dan goblok.
— Kata-katamu kacau, Adi!
Sedangkan, kata-kata asing yang digunakan adalah sebagai berikut:
Bahasa Jawa
kursi selonjor kakang
tiwikrama adi
tapasamadi goblok
denawa loyo
lhadalah prana
mesu apana
lelanabrata mripat
diserimpung kok
kamitua toh
Penggunaan ungkapan dan juga kata-kata yang diambil dari istilah asing sengaja dipakai untuk menimbulkan nilai rasa yang berbeda. Misalnya penggunaan kata kursi selonjor yang bersinonim dengan kursi santai/kursi malas tentu memunyai nilai rasa yang lebih khusus. Istilah kursi selonjor merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang bermakna ’tempat duduk panjang yang digunakan untuk bersantai dengan cara meluruskan kaki ke depan’. Sedangkan, kursi santai atau kursi malas cenderung lebih umum.
Kata lain yang diambil dari bahasa Jawa adalah lhadalah, di-serimpung, kamitua, kakang, adi, goblok, loyo, dan mripat. Lhadalah adalah ’kata seru yang sering diungkapkan jika seseorang merasa terkejut atau tidak percaya pada sesuatu yang baru didengarnya’; kata di-serimpung memiliki makna yang dekat dengan 'dihalau', hanya saja lebih khusus ditujukan pada kaki; kata kamitua memiliki makna ’kepala desa/ dukuh’; kata kakang dan adi maknanya sama dengan kata 'kakak' dan 'adik', hanya saja kedua kata di belakang tidak akan digunakan dalam dunia pewayangan Jawa; kata goblok dan loyo sering digunakan dalam perbincangan sehari-hari, bahkan oleh orang yang tidak menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasinya; kata mripat adalah bentuk kasar kedua, setelah mata, dalam bahasa Jawa, kata ini biasa digunakan dalam pembicaraan yang melibatkan dua/ lebih orang yang memiliki kedudukan sama /hampir sama dalam strata sosial Jawa; kata kok dirangkaikan dalam kalimat yang memiliki makna meyakinkan seseorang; sedangkan kata toh sering digunakan untuk memberi penekanan terhadap suatu pernyataan.
Kita dapat melihat penggunaan kata/ ungkapan tersebut, misalnya, dalam kalimat:
— Lhadalah! Sungguh yang kudengar darimu ialah kabar bencana. Malapetaka dan aib yang tiada taranya bagi keluarga Pandawa. Bukanlah ksatria orang yang tak tahan derita. Tak patutlah seseorang menjadi keturunan Pandu Dewanata jika ia gampang tergoyah!
Atau dalam kalimat:
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?
Terdapat juga beberapa kata/ frase yang belum akrab pada pembaca. Namun, beberapa kata/ frase/ istilah tersebut memang sering digunakan dalam dunia pewayangan, misalnya tiwikrama, tapasamadi, mesu, lelanabrata, prana, dan apana.
Kata-kata tersebut akan tampak maknanya jika dikaitkan dengan konteks kalimat, misalnya:
Prabu Kresna terenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa. Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping.
Cerpen ini terdiri atas kurang lebih 4402 kata, 363 frase, 321 klausa, 324 kalimat, dan 84 paragraf/ bagian (perincian terdapat dalam lampiran). Ada beberapa jenis kata yang dipakai dalam cerpen tersebut. Diantaranya adalah kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, dan kata tugas.
Jenis kata Jumlah
Kata benda dan kata ganti (nomina dan pronomina) 2165 = 49,20%
Kata kerja (verba) 1279 = 29,05%
Kata sifat (adjektiv) 502 = 11,40 %
Kata bilangan (numeralia) 114 = 2,59%
Kata tugas (partikel) 233 = 5,29 %
Adverbia 109 = 2,47%
Dari tabel di atas diketahui bahwa pengarang lebih banyak menggunakan kata berjenis nomina dalam cerpennya. Namun, rentetan kata benda (nomina) tidak akan cukup menyampaikan makna jika tidak dirangkai dengan jenis kata lain, seperti kata kerja (verba), kata sifat (adjektiv), kata bilangan (numeralia), kata tugas (partikel), dan/atau adverbia.
Kata benda (nomina) yang dipilih pengarang untuk cerpennya ini beragam dan kompleks. Beberapa di antaranya tergolong nomina konkret dan beberapa yang lain tergolong nomina abstrak. Nomina konkret tampak pada kata rakyat, prajurit, mereka, sang Kresna, para Pandawa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, raja, tukang kayu, para pekatik, cendol, kaki-kaki kuda, Padang Kurusetra, pasar, desa, hutan, dan kancah pertarungan dalam beberapa kalimat di bawah ini:
Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu. Sang Kresna tidak mau membantu jatuhnya seorang raja, menaikkan raja yang lain, ganti berganti, dan rakyat terlempar dari penindasan ke penindasan berikutnya; diinjak-injak oleh kaki-kaki kuda dan para pekatik; dihardik oleh penderitaan kemarin, hari ini dan besok. Tidak, sekali-kali tidak. Biarlah para Pandawa hidup di desa atau mengembara di hutan. Biarlah Yudhistira jadi kamituwa, Bima jadi tukang kayu, Arjuna bercocok tanam, sementara Nakula dan Sadewa menjual cendol di pasar.
Kata rakyat, prajurit, mereka, sang Kresna, para Pandawa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, raja, tukang kayu, dan para pekatik merujuk pada manusia; cendol merujuk pada benda; kaki-kaki kuda merujuk pada makhluk hidup; sedangkan Padang Kurusetra, pasar, desa, hutan, dan kancah pertarungan merujuk pada tempat.
Sedangkan, nomina abstrak juga banyak muncul dalam cerpen ini. Beberapa di antaranya tampak pada kata cahaya, keluhuran, kejahatan, dosa, derita, kematian, hidup, mati, ada, dan tiada dalam paragraf di bawah ini:
+ Kakang Kresna! Bisa kulepaskan cahaya, anak panah yang meleburkan besi baja. Tapi, betapa mungkin saudara-saudaraku sendiri yang amat kucintai mesti kutusuk dadanya. Keluhuran apa gerangan yang hendak kucapai, jika dengan merajah darah sanak kandang sendiri. Mending aku jadi peminta-minta daripada harus dirundung dosa dan derita akibat kematian saudara-saudara yang tercinta.
— Arjuna Adiku! Sesalilah apa yang memang patut disesali. Seorang ksatria yang arif tak bakal bersedih, karena yang harus ia tumpas bukanlah saudara-saudaranya, melainkan kejahatan yang mereka sandang. Seorang ksatria yang paripurna tak akan menderita, karena dirinya tak dibelah oleh air dan api, oleh hidup dan mati, oleh ada atau pun tiada.
Kata cahaya bermakna petunjuk; keluhuran dan kejahatan merujuk pada kualitas moral; dosa dan derita merujuk pada proses; kematian, hidup, mati, ada, dan tiada merujuk pada peristiwa.
Kata kerja (verba) yang mengisi cerpen ini adalah kata kerja transitif, intransitif, dan pasif. Kata kerja transitif tampak pada kata menggenggam, membusungkan, dan mengisap dalam kalimat-kalimat:
Prabu Kresna terenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa. Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping. Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.
Ketiga kata di atas memiliki makna yang sama, yaitu tindakan atau perbuatan.
Kata kerja intransitif tampak pada kata naik, turun, bertarung, bertahan, keluar, dan masuk, yang ketiganya memiliki makna tindakan.
+ Kakang Kresna! Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk. Demikian jua aku.
Sedangkan, kata kerja pasif ada pada kata dibela yang memiliki makna perbuatan dalam kalimat:
Kurawa memang adalah penguasa. Tapi apa gerangan yang hendak dibela oleh para Pandawa? Mereka tidak mewakili rakyat. Mereka hanya mewakili kebenaran: kebenaran masalah mereka sendiri. Kini kebenaran itu tak ada. Tanah ini hanyalah warisan Sang Hyang Wenang kepada rakyat.
Kata sifat (adjektiv) banyak tampil pada kalimat di bawah ini:
— Gila! Mereka tak akan sirna
Sebelum menumpas Kurawa!
+ Kurawa takkan tumpas Duryudana yang busuk, jika putus nyawa
Telah siap pengganti-penggantinya
Sengkuni yang licik dan kumal jiwanya
Dorna si kerak neraka
Menjadi debu racun di tangan Bisma
— Kejahatan mesti tumpas oleh kebenaran!
+ Mesti, tapi tak tentu.
Kata gila, busuk, licik, dan kumal (pada frase kumal jiwanya) menjelaskan sesuatu yang bersifat psikis dan emotif. Kata tumpas, mesti, dan tak tentu lebih menekankan sifat referensial.
Kata bilangan (numeralia) yang ada dalam cerpen Padang Kurusetra lebih didominasi oleh numeralia tak tentu, misalnya pada bagian:
... Tubuh kami tertancam di bumi. Karena perut kami telah penuh oleh beratus ribu jengkal kebun, ladang, sawah, joglo-joglo mewah serta berjuta mata uang yang berlimpah. Kakang Suyudana telah menenteramkan hidup kami.
Kata tugas yang muncul sangat beragam. Beberapa di antaranya berwujud konjungsi, sedangkan beberapa yang lain berwujud preposisi.
B. UNSUR GRAMATIKAL
Unsur gramatikal merujuk pada pengertian struktur kalimat. Sebuah gagasan dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat yang berbeda struktur dan kosa katanya. Cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra ini memiliki unsur-unsur gramatikal sebagai berikut:
1. Kompleksitas Kalimat
Struktur kalimat yang digunakan oleh pengarang cenderung kompleks. Hal itu ditandai banyaknya tanda baca koma (,) dalam satu kalimat. Paling tidak, ada lebih dari tiga tanda koma (,) dalam beberapa kalimat. Hal itu dimaksudkan untuk memperjelas maksud dari kalimat yang dirujuk. Dalam dua paragraf di bawah ini tampak pola asindenton tersebut.
Setyaki siap melaksanakan perintah itu. Membenahi kereta dan kuda, kemudian memandang Pancajanya dan bergumam sendiri: ”Terompet yang malang! Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah. Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?”
Sejak lama memang Sang Prabu Kresna menganggur. Ia yakin sudah bahwa Bharata Yudha memang tak akan pernah terjadi. Tak ada perebutan tanah. Tanah itu milik rakyat, dan di manakah rakyat, di tengah jajaran wayang-wayang? Tentu tidak tertampung dalam kotak ki dalang. Di mana? Mungkin mereka adalah para penonton yang terkantuk-kantuk sepanjang malam, berbaring di rerumputan, bersandar di pepohonan, bergumam di antara mereka sendiri tapi tak berkata apa pun kepada ki dalang.
Dalam satu kalimat rata-rata terdiri atas 19 kata. Dengan gaya asindenton yang banyak memakai tanda koma. Pola yang paling menonjol yakni pola hubungan koordinatif dan subordinatif.
2. Jenis Kalimat
Jenis kalimat yang banyak digunakan oleh pengarang adalah kalimat deklaratif (kalimat yang menyatakan sesuatu) dengan frekuensi kemunculan 173 kali. Hal dimaksudkan untuk memberikan banyak informasi kepada pembaca mengenai jalan cerita, watak tokoh, serta informasi-informasi penting yaang menyangkut makna dan metafora dalam cerita.
Selain kalimat berjenis deklaratif, Emha juga menggunakan kalimat berjenis lain yang mendukung efek estetis dan puitisnya, seperti: kalimat interogatif (kalimat yang makna pertanyaan), kalimat imperatif (kalimat yang mengandung makna perintah atau larangan), kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat langsung, kalimat tak langsung, dan beberapa kalimat minor (kalimat yang tak lengkap fungtor-fungtornya). Namun, untuk perincian jenis kalimat, lihat tabel 1 pada lampiran halaman i-viii.
Jenis Kalimat Jumlah Jumlah (%)
Kalimat deklaratif 173 73,93
Kalimat interogatif 19 8,12
Kalimat imperatif 42 17,93
Kalimat aktif 89 62,68
Kalimat pasif 53 37,32
Kalimat langsung 166 98,81
Kalimat tak langsung 2 1,19
3. Jenis Klausa dan Frase
Cerpen yang berjudul Padang Kurusetra ini memiliki 321 klausa, yang kebanyakan tergolong klausa predikatif (untuk perincian jumlah klausa, lihat tabel 2 pada lampiran halaman ix-xiv). Sedangkan, frase yang ada berjumlah 363 buah (untuk perician jenis frase, lihat tabel 3 pada lampiran halaman xv-xxi).
Pemakaian struktur kalimat yang menggunakan banyak tanda koma memang dapat membingungkan pembaca. Namun, sebenarnya apa yang dilakukan oleh pengarang adalah untuk memperjelas makna.
Kosa kata- kosa kata yang dipakai dengan memakai istilah Jawa memang dimaksudkan untuk lebih memperjelas makna, terutama nilai rasa dan kekhasan (kekhususan). Sebab, apabila kosa kata asing itu diubah ke dalam kosa kata Bahasa Indonesia, walaupun memiliki arti yang sama, akan tetap menyebabkan nilai rasanya berbeda, bahkan tidak tersampaikan pesannya.
C. UNSUR RETORIKA
Pembahasan mengenai retorika berhubungan dengan pemajasan, penyiasatan struktur, dan pencitraan. Cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra ini akan dibahas dengan aspek-aspek di atas.
1. Pemajasan
a. Hiperbola
Pemajasan ini ada dalam bagian-bagian di bawah ini:
1) Ungkapan menggenggam bulatan bumi tidak mungkin dilakukakan oleh manusia biasa dan dalam keadaan biasa. Ungkapan ini dipergunakan untuk menunjukkan kesaktian seseorang berserta emosi yang tengah merasuk hatinya. Di dalam kalimat ini dinyatakan bahwa Sang Kresna tengah bangun dari duduk santainya lantas akan melakukan sesuatu kewajiban yang hampir saja lupa dilakukannya.
Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping. ...
2) Ungkapan mengisap seluruh udara, seperti halnya ungkapan di atas, dipergunakan untuk menunjukkan kesaktian seseorang.
Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala. ...
b. Metonimi
Pemajasan ini ada dalam bagian-bagian di bawah ini:
1) Frase kereta perang serta terompet Pancajanya menunjukkan dua buah benda milik Sang Kresna. Dalam kalimat ini, dua buah benda tersebut disebutkan beserta namanya.
Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki, memerintahkan agar ia menyiapkan kereta perang serta terompet Pancajanya.
2) Kata Pancajanya merujuk pada terompet milik Sang Kresna.
Setyaki siap melaksanakan perintah itu. Membenahi kereta dan kuda, kemudian memandang Pancajanya dan bergumam sendiri.
3) Bharata Yuda adalah nama perang yang dituju oleh Sang Kresna.
Sejak lama memang Sang Prabu Kresna menganggur. Ia yakin sudah bahwa Bharata Yudha memang tak akan pernah terjadi.
4) Kata kebenaran dalam kalimat ini dinyatakan secara eksplisit, bahwa sesungguhnya rakyat membutuhkan kebenaran, hanya saja kebenaran yang tampak sekarang merupakan kamuflase, gincu yang menor yang tidak seharusnya disaksikan oleh rakyat.
Mereka tidak mewakili rakyat. Mereka hanya mewakili kebenaran: kebenaran masalah mereka sendiri.
5) Dewanata adalah terompet milik Arjuna; Paundra adalah gada milik Bima; Anantawijaya adalah senjata Yudhistita; sedangkan Sugosa dan Manipuspaka, masing-masing, merupakan andalan Nakula dan Sadewa; dalam kalimat ini nama-nama tersebut disebutkan.
+ Kakang Kresna! Di tanganku tergenggam terompet Dewanata. Kakang Bima siap dengan Paundra. Kakang Yudhistira dengan Anantawijaya. Adi Nakula dengan Sugosa dan Adi Sadewa dengan Manipuspaka. Bahkan Adi Srikandi telah gatal ingin meneteskan darah pahlawannya. Juga Drestajumena telah lama pasang kuda-kuda. Tetapi, kami termangu-mangu saja. Sukma kami tergetar, keragu-raguan menimpa.
6) Kata kamituwa dan tukang kayu merupakan dua profesi yang secara langsung diungkapkan dalam cerpen ini.
Biarlah para Pandawa hidup di desa atau mengembara di hutan. Biarlah Yudhistira jadi kamituwa, Bima jadi tukang kayu, Arjuna bercocok tanam, sementara Nakula dan Sadewa menjual cendol di pasar.
c. Perbandingan (Simile)
Pemajasan ini ada dalam bagian-bagian di bawah ini:
1) Ungkapan ... bagai onggokan sampah merupakan ungkapan yang membantu pemabaca untuk membayangkan betapa terompet tersebut sudah tidak pernah disentuh oleh Sang Kresna. Keberadaannya, bahkan, sedah dilupakan karena tidak berguna lagi.
”Terompet yang malang! Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah. ...
2) Ungkapan ... bagai ditabrak matahari mukanya menyatakan keadaan bahwa Sang Kresna kaget bukan kepalang, sekaligus marah karena sesuatu hal.
Sang Prabu Kresna bagai ditabrak matahari mukanya.
d. Personifikasi
Pemajasan ini ada dalam bagian-bagian di bawah ini:
1) Kata langit secara denotasi tidak memiliki daya untuk mengisap karena kata kerja tersebut hanya dimiliki oleh manusia. Namun, dalam cerpen Padang Kurusetra ini, pengarang mengatakan habis diisap langit sepi yang menunjukkan bahwa keinginan Sang Prabu Kresna untuk meniup Pancajaya sudah tidak ada sama sekali.
... Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?
2) Ungkapan waktu terhenti digunakan menunjukkan betapa saktinya Sang Kresna. Kata kerja yang digunakan dalam klausa tersebut mengambil sifat yang dimiliki oleh manusia. Demikian juga dengan ungkapan kehidupan yang berjalan .... Kata berjalan adalah kata kerja yang dikenakan pada manusia atau makhluk Tuhan yang dapat melakukan mobilitas, sedangkan waktu, tidak. Hal ini dapat terjadi sebab pengarang ingin menyampaikan bahwa proses hidup yang dijalani oleh tokohnya masih terus berlangsung.
Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.
3) Ungkapan keraguanmu menyeret ... dan jiwamu diserimpung ... meminjam verba yang biasa dikenakan pada manusia. Sesuatu yang dapat melakukan kata kerja menyeret dan diserimpung hanyalah manusia, sedangkan kata benda abstrak, seperti keraguan dan jiwa, sebenarnya tidak memiliki keduanya. Penggunaan dua kata kerja di atas untuk disandingkan pada kedua nomina tersebut untuk menyamakan sifat keraguan (berkonotasi negatif) yang dapat membuat seseorang menjadi buruk dan jiwamu (memiliki sifat netral) yang dapat dipengaruhi dengan hal-hal yang buruk sehingga mengalami degradasi.
Keraguanmu menyeret ke jagat fana. Pikiranmu pecah, jiwamu di-serimpung oleh nafsu dan benda.
e. Metafora
1) Kalimat rakyat bukanlah tanah landasan ...; rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan ...; dan mereka juga bukan Padang Kurusetra itu ... merupakan kiasan yang tidak menggunakan kata pembanding sebagai pengantarnya. Penyampaiannya dilakukan secara langsung.
Maka, selama itu Sang Prabu Kresna menghentikan tiupan Pancajanya di tangannya. Ia tak mau mengadu raja melawan calon raja. Penguasa melawan calon penguasa. Rakyat bukanlah tanah landasan bagi kekuasaan raja demi raja. Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu. Sang Kresna tidak mau membantu jatuhnya seorang raja, menaikkan raja yang lain, ganti berganti, dan rakyat terlempar dari penindasan ke penindasan berikutnya; diinjak-injak oleh kaki-kaki kuda dan para pekatik; dihardik oleh penderitaan kemarin, hari ini dan besok. Tidak, sekali-kali tidak.
2) Ungkapan angin paling dahsyat memiliki makna 'cobaan paling besar yang harus ditaklukkan dan itu adalah nafsu yang tak dapat dikendalikan yang melekat dalam diri setiap orang’.
Sebab angin paling dahsyat yang harus ditaklukkan, terletak dalam jiwa setiap orang.
3) Ungkapan kenikmatan yang beranak derita berarti 'kenikmatan yang semu, yang mudah sekali berubah menjadi kesengsaraan panjang, karena kenikmatan tersebut didapat dengan menuruti hawa nafsu belaka’.
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita.
4) Ungkapan merah dan kuning, dalam konteks cerpen ini, memiliki makna 'warna bendera parpol’.
Di merah atau kuning, di tanah atau angin, Arjuna adalah Arjuna.
5) Frase gelombang samudera memiliki makna 'mudah berubah/dinamis’.
+ Kakang Kresna! Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk. Demikian jua aku.
6) Frase siluman dunia berarti 'sesuatu yang memiliki tendensi buruk terhadap seseorang dan dia melancarkan serangannya dengan cara siluman (licik)’.
Orang suci harus membebaskan diri dari siluman dunia agar memperoleh kedamaian hidup yang sebenarnya.
7) Ungkapan itulah pohon kanker bumi ... memiliki makna 'penyakit yang makin hari makin menggila (berbahaya) jika tidak segera ditumpas dari akarnya’.
Lihatlah Arjuna! Itulah pohon kanker bumi yang harus ditumbangkan. Itulah tantangan bagi ksatria yang memiliki kesadaran.
f. Allegori
Allegori ialah cerita kias yang mengiaskan kejadian lain atau hal lain. Dalam cerpen Padang Kurusetra karya Emha Ainun Nadjib di atas memiliki beberapa cerita allegori. Beberapa di antaranya adalah:
1) Cerita allegori pertama lebih bersifat apa adanya, sesuai dengan konteks, yaitu menceritakan kenikmatan dunia yang hanya membawa kesengsaraan, sekaligus mengemukakan cara-cara agar kita terhindar dari nafsu-nafsu ingin memperoleh kenikmatan dunia tersebut.
— Engkau sudah teguh samadi, Arjuna. Mustinya telah kaucapai tingkat paling suci. Takut menderita adalah pantangan bagi seorang Yogi. Apalagi sekadar tak makan sehari dua hari. Pikiran bening dan seimbang, tak bakal terguncang meski oleh badai teramat kencang. Sebab angin paling dahsyat yang harus ditaklukkan, terletak dalam jiwa setiap orang.
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?
2) Cerita di bawah sebenarnya adalah cerita tentang bagaimana kesalahan seseorang ditimpakan kepada orang lain dengan cara menyuruh orang lain tersebut melakukan sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya (dijebak). Dalam era reformasi, teknik seperti ini kerap kali dilakukan oleh kalangan "atas”, dan publik menyebutnya dengan istilah mencari "kambing hitam/mengkambing-hitamkan”.
+ Mohon ampun adalah dosa kedua sesudah kerja ditinggalkan. Arjuna! Pandanglah langit memerah, ditutupi tabir putih. Ada kerbau menabrak pagar, kambing yang dihajar. Si kambing disuruh makan rumput, untuk bisa dipersalahkan. Sekawanan sapi diadu melawan sekawanan kerbau, untuk melihat bagaimana warna darah sapi-sapi itu serta agar mukanya bisa dicorengi dengan kotoran duburnya sendiri. Beberapa ekor harimau digiring agar merajah hutan sebelah, agar supaya ada alasan untuk memusnahkan harimau-harimau itu. Pandanglah ketegangan yang tenang, pandanglah gerak yang diam. Lihatlah sekam yang mengancam!
g. Paradoks
1) Paradoks pertama adalah penolakan Arjuna atas penyamaan dirinya dengan sifat wayang yang "manut” pada apapun kata dalang. Ia memilih menjadi manusia yang memiliki kedaulatan atas dirinya, sekaligus alasannya untuk melakukan kesalahan. "Toh, manusia-lah tempatnya lupa,” demikian pikirnya.
+ Maafkan aku, Kakang Kresna. Aku bukanlah selembar wayang. Aku hanyalah seorang manusia.
2) Masih dalam dialog Arjuna yang mengatakan bahwa dirinya tetap Arjuna walaupun kini telah cenderung berubah. Ungkapan yang dipakai Arjuna untuk membela dirinya adalah, ”... sama bisa juga lain, seperti lain bisa juga sama.” Pernyataan ini sekaligus untuk menyindir pada elit politik yang tampak ”munafik” pada pernyataan-pernyataannya.
+ Arjuna adalah Arjuna. Janaka adalah Janaka. Memang. Tapi, sama bisa juga lain, seperti lain bisa juga sama.
3) Pernyataan-pernyataan di bawah ini juga mengandung banyak sindiran kepada pemerintah, jajaran birokrat, dan penguasa. Mengenai proses hukum yang tidak adil, juga mengenai pencurian-pencurian akbar yang dilakukan oleh para ”orang besar”.
+ Negaraku memang kacau. Bagaimana tak kacau, rakyat disuruh makan gandum, sedangkan sang raja makan gunung. Gareng mencuri ayam dikurung tiga bulan, sang senopati makan tiga samudera minyak malah tidur ongkang-ongkang di permadani yang bersambung dari satu bukit ke bukit lain.
4) Pernyataan-pernyataan di bawah ini menunjukkan sindiran terhadap para manusia yang pernah "mendeklarasikan” bahwa dirinya adalah pahlawan, namun tidak memberikan bukti konkret pada kata-katanya.
— Kejahatan mesti tumpas oleh kebenaran!
+ Mesti, tapi tak tentu.
— Pandawa tetap ada!
+ Pandawa tetap ada, tapi ksatria Pandawa
Menguap ke angkasa.
Mereka telah jadi denawa.
Jadi raksasa-raksasa.
Yang makan apa pun saja!
5) Pernyataan-pernyataan di bawah ini merupakan pengakuan tokoh Arjuna tentang kekerdilan jiwanya.
+ Aduh, aduh Kakang Kresna! Jagad telah kutelan kembali. Kutemukan ruang hampa di tengah desingan udara. Kugenggam angin dan tenaga. Tetapi, darahku buntu, semangat perjuanganku seperti dicegat hantu.
h. Tautologi
1) Tautologi dalam bagian di bawah ini menyatakan rakyat bukanlah objek yang dapat diperlakukan seenak para pemimpinnya sendiri. Hal ini dilakukan tiga kali, dengan kalimat yang berbeda namun memiliki makna yang hampir sama, supaya hal yang dimaksud lebih mendalam bagi pembaca.
... Rakyat bukanlah tanah landasan bagi kekuasaan raja demi raja. Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu. Sang Kresna ...
2) Pernyataan di bawah ini merupakan bagian dari dialog tokoh Arjuna untuk meyakinkan Sang Kresna bahwa dirinya masih ingat pada janji ksatrianya.
+ Kelaparan memang bikin kapok kok, Kakang. Tapi, bukan karena itu kami ragu berjuang. Soal berjuang itu, Kakang, tetap kok, tetap kok.
i. Pleonasme
Pleonasme, jika dilihat sepintas lalu seperti taotologi, tetapi kata yang kedua telah tersimpul pada kata pertama. Hal tersebut tampak pada bagian dialog tokoh Arjuna yang dikutip di bawah ini.
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?
j. Ironi
1) Pernyatan di bawah ini merupakan sindiran tajam terhadap keadaan bangsa yang tenagah carut-marut dan memiliki ”dunia” serba terbalik.
+ Aku dilahirkan oleh zaman yang memang terbalik-balik, Kakang. Dunia yang terbalik-balik, hukum yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik, keadilan yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik menjadi kebenaran. Yang jujur kojur, yang tak jujur mujur.
2) Pernyataan di bawah ini merupakan bagian dari dialog Sang Kresna yang digunakan untuk menyindir tokoh Arjuna yang telah mulai lupa pada tugas suci ksatrianya. Juga, untuk memberi tahu Arjuna tentang kebodohan rakyat yang sudah dirugikan namun masih belum juga sadar.
— Bagus, Adi! Jika demikian engkaulah Parantapa, penakluk setiap musuh. Tetapi, kenapakah engkau diam tepekur di sini, sedangkan hujan kejahatan tumpah, rakyat basah kuyup, meskipun mereka tetap tertawa.
3) Dua pernyataan ini adalah pernyataan dua tokoh yang memiliki pandangan berbeda terhadap negaranya. Secara kasat mata, pandangan mereka ini sangat jauh berbeda. Namun, sejatinya, tidak, karena salah satunya mendukung pernyataan yang satunya dengan cara menyindir.
+ Negara kita aman-aman saja.
— Aman-aman saja karena penyelewengan dibiarkan merajalela!
4) Pernyataan di bawah ini juga digunakan oleh tokoh Kresna untuk menyindir Arjuna.
— Lhadalah! Sungguh yang kudengar darimu ialah kabar bencana. Malapetaka dan aib yang tiada taranya bagi keluarga Pandawa. Bukanlah ksatria orang yang tak tahan derita. Tak patutlah seseorang menjadi keturunan Pandu Dewanata jika ia gampang tergoyah!
k. Sinekdoki
Sinekdoki digunakan untuk menyebutkan suatu bagian yang penting dari suatu hal untuk hal itu sendiri. Sinekdoki yang terjadi pada bagian di bawah ini adalah sinekdoki pars prototo.
Sang Prabu Kresna naik pitam! Arjuna si pejuang hanya mohon dan mohon ampunan tanpa menyatakan sepercik pun niat perbuatan. Sang Prabu berkilat-kilat matanya. Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung.
2. Penyiasatan Struktur
a. Paralelisme
1) Bagian berdiri tegak, membusungkan dada, dan mengisap seluruh udara memiliki tempat yang sejajar.
Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.
2) Bagian berhari-hari, berbelan-bulan, dan bertahun-tahun memiliki fungsi yang sama dalam kalimat di bawah ini.
Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?
3) Bagian terkantuk-kantuk, berbaring, bersandar, dan bergumam memiliki fungsi yang sama.
Mungkin mereka adalah para penonton yang terkantuk-kantuk sepanjang malam, berbaring di rerumputan, bersandar di pepohonan, bergumam di antara mereka sendiri tapi tak berkata apa pun kepada ki dalang?
b. Repetisi
1) Pada bagian ini rakyat menjadi pusat pembicaraan. Pengulangan kata rakyat untuk mengatakan bahwa rakyat—sebenarnya—adalah pemilik sah dari negeri ini.
... Rakyat bukanlah tanah landasan bagi kekuasaan raja demi raja. Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu.
2) Bagian ini adalah dialog tokoh Arjuna yang berisi pernyataan bernada meyakinkan tokoh Kresna.
+ Kelaparan memang bikin kapok kok, Kakang. Tapi, bukan karena itu kami ragu berjuang. Soal berjuang itu, Kakang, tetap kok, tetap kok.
3) Bagian ini adalah dialog Kresna.
— Lhadalah! Arjuna adalah Arjuna. Di langit atau bumi, di rimba atau samudera, Arjuna adalah Arjuna. Di waktu silam atau di masa datang, di dalam atau di luar ruang, Arjuna adalah Arjuna. Di merah atau kuning, di tanah angin, Arjuna adalah Arjuna. Arjuna adalah Arjuna.
4) Bagian ini adalah bagian dialog tokoh Arjuna.
+ Aku dilahirkan oleh zaman yang memang terbalik-balik, Kakang. Dunia yang terbalik-balik, hukum yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik, keadilan yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik menjadi kebenaran.
c. Anafora
1) Bagian ini merupakan bagian silat lidah tokoh Arjuna.
Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk.
2) Bagian ini adalah penjelasan sang Kresna kepada Arjuna tentang tantangan bagi tugas suci ksatria.
— Lihatlah Arjuna! Itulah pohon kanker bumi yang harus ditumbangkan. Itulah tantangan bagi ksatria yang memiliki kesadaran. Itulah alasan dan tanggung jawab untuk berjuang. Itulah sumber tekad yang harus ditegakkan. Majulah ke Padang Kurusetra, Adiku!
d. Enumerasi
1) Bagian pertama pada dialog ini menyatakan bahwa bumi memiliki penyakit kanker yang berbahaya. Bagian kedua dan ketiga merupakan pencabangan dari bagian pertama tersebut.
— Lihatlah Arjuna! Itulah pohon kanker bumi yang harus ditumbangkan. Itulah tantangan bagi ksatria yang memiliki kesadaran. Itulah alasan dan tanggung jawab untuk berjuang. Itulah sumber tekad yang harus ditegakkan. Majulah ke Padang Kurusetra, Adiku!
2) Bagian pertama pada dialog ini merupakan awalan bagi bagian lainnya.
+ Mohon ampun adalah dosa kedua sesudah kerja ditinggalkan. Arjuna! Pandanglah langit memerah, ditutupi tabir putih. Ada kerbau menabrak pagar, kambing yang dihajar. Si kambing disuruh makan rumput, untuk bisa dipersalahkan. Sekawanan sapi diadu melawan sekawanan kerbau, untuk melihat bagaimana warna darah sapi-sapi itu serta agar mukanya bisa dicorengi dengan kotoran duburnya sendiri. Beberapa ekor harimau digiring agar merajah hutan sebelah, agar supaya ada alasan untuk memusnahkan harimau-harimau itu. Pandanglah ketegangan yang tenang, pandanglah gerak yang diam. Lihatlah sekam yang mengancam!
e. Pertanyaan retoris
1) Dialog ini adalah milik tokoh Arjuna.
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?
2) Dialog ini juga masih milik tokoh Arjuna.
+ Kakang Kresna! Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk. Demikian jua aku.
3. Pencitraan
Pencitraan yang digunakan dalam cerpen Padang Kurusetra beragam, di antaranya:
a. Citraan penglihatan (visual imagery)
No. Kalimat
1. Mungkin mereka adalah para penonton yang terkantuk-kantuk sepanjang malam, berbaring di rerumputan, bersandar di pepohonan, bergumam di antara mereka sendiri tapi tak berkata apa pun kepada ki dalang.
2. Biarlah Yudhistira jadi kamituwa, Bima jadi tukang kayu, Arjuna bercocok tanam, sementara Nakula dan Sadewa menjual cendol di pasar.
3. Lelaki itu, yang sedang sibuk di kebunnya,
4. kenapakah engkau diam tepekur di sini, sedangkan hujan kejahatan tumpah
5. Pandanglah langit memerah, ditutupi tabir putih.
6. Ada kerbau menabrak pagar, kambing yang dihajar.
7. Arjuna terpana dan bingung beberapa saat, tapi segera sadar diri.
8. Menemui alas yang bersih, ia kemudian duduk bersila
9. semangat perjuanganku seperti dicegat hantu.
b. Citraan pendengaran (auditory imagery)
No. Kalimat
1. Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi.
2. Maka, selama itu Sang Prabu Kresna menghentikan tiupan Pancajanya di tangannya.
3. Tetapi, fajar pagi itu, dalam tapasamadi-nya, Sang Prabu Kresna mendengar suara-suara dari penitisnya:
4. ... mendengar rentetan kata-kata Kresna, segera bersembah:
5. Kemudian terjadilah dialog, yang menyadarkan Sang Prabu Kresna akan kereta waktu, dunia, ruang dan peristiwa.
6. rakyat basah kuyup, meskipun mereka tetap tertawa.
7. Kami tak henti-henti bikin pernyataan-pernyataan.
8. Tentu ada. Para punakawan, Bagong, Petruk, dan Gareng kami suruh mogok makan, tapi tak bisa bertahan lebih dari satu hari setengah malam.
9. Sungguh yang kudengar darimu ialah kabar bencana.
c. Citraan gerak (movement imagery)
No. Kalimat
1. Prabu Kresna terenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa.
2. Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping.
3. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala
4. Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki
5. ”Aku akan menemui Arjuna beserta sekalian Pandawa,” katanya.
6. Setyaki siap melaksanakan perintah itu
7. Membenahi kereta dan kuda, kemudian memandang Pancajanya dan bergumam sendiri.
8. Tidak! Kami semua melawan penyelewengan, melawan setiap penyalahgunaan kekuasaan, setiap ketidakadilan.
9. Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung.
D. UNSUR KOHESI DAN KOHERENSI
Sebuah cerita akan menjadi padu dan menarik jika terdapat hubungan yang mengaitkan antar bagian yang membangun jalannya cerita. Hubungan antarkata, kalimat, klausa, dan paragraf akan menjadi padu jika menggunakan penanda yang tepat dan benar. Kepaduan antarkata, kalimat, klausa, dan paragraf ini disebut dengan kohesi. Ada beberapa penanda dalam kohesi, di antaranya dengan menggunakan kata hubung antarkalimat atau antarparagraf, hubungan rujuk silang yang masih mengacu pada satu makna.
Untuk mengungkapkan sebuah gagasan yang utuh, tiap bagian kalimat, tiap kalimat, atau tiap alinea, yang dimaksudkan untuk mendukung gagasan itu haruslah dihubungkan satu dengan lainnya, baik secara eksplisit, implisit maupun keduanya (Nurgiyantoro, 2005: 306). Penggunaan penghubung dalam sebuah cerita akan menjadikan cerita tersebut utuh dan saling mengait antara cerita yang satu dengan cerita yang lainnya.
Bentuk-bentuk kohesi antara lain kata hubung, rujuk silang, bentuk penyingkatan, pengurangan atau penggantian. Kohesi yang ditemukan dalam cerpen Padang Kurusetra karya Emha Ainun Nadjib di antaranyaadalah sebagai berikut.
1. Kata hubung
Pengarang menggunkan kata hubung untuk penanda kohesinya tampak pada kalimat:
a. Dua klausa di bawah ini dihubungkan dengan kata hubung karena untuk menyatakan hubungan kausalitasnya.
Prabu Kresna terenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa.
b. Dua hal di bawah ini dihubungkan dengan kata hubung dan untuk menyatakan hubungan kesejajarannya.
Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping.
c. Dua hal di bawah ini dihubungkan dengan kata hubung beserta untuk menyatakan kesejajaran.
”Aku akan menemui Arjuna beserta sekalian Pandawa,” katanya.
d. Dua kalimat ini dihubungkan oleh kata hubung tapi untuk mengungkapkan hubungan pertentangannya.
Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping. Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, ...
e. Dua klausa di bawah ini dihubungkan oleh penanda sehingga dan hingga untuk menjelaskan bahwa klausa kedua merupakan akibat dar klausa pertama.
Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.
f. Dua bagian ini memiliki hubungan tujuan.
Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki, memerintahkan agar ia menyiapkan kereta perang serta terompet Pancajanya.
g. Klausa pertama dijelaskan oleh hal yang menyertainya dengan cara pembandingkan. Cara membandingkan biasa menggunakan kata bagai.
Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah.
h. Penggunaan kata hubung bahwa dimaksudkan untuk menjelaskan objek yang dimaksud oleh pernyataan awal.
Ia yakin sudah bahwa Bharata Yudha memang tak akan pernah terjadi.
i. Dua paragraf di bawah dihubungkan oleh penanda maka, yang biasa dipakai dalam menghubungkan dua buah klausa. Penggunaan penanda maka dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pernyataan akhir merupakan kompensasi dari adanya pernyataan awal.
... Mereka tidak mewakili rakyat. Mereka hanya mewakili kebenaran: kebenaran masalah mereka sendiri. Kini kebenaran itu tak ada. Tanah ini hanyalah warisan Sang Hyang Wenang kepada rakyat.
Maka, selama itu Sang Prabu Kresna menghentikan tiupan Pancajanya di tangannya. ...
2. Rujuk silang
a. Rujuk silang pada bagian ini menggunakan kata ganti ia untuk merujuk pada tokoh Sang Kresna.
Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.
b. Rujuk silang pada bagian ini menggunakan kata ganti ia untuk merujuk pada tokoh Harya Setyaki.
Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki, memerintahkan agar ia menyiapkan kereta perang serta terompet Pancajanya.
c. Rujuk silang pada bagian ini menggunakan kata ganti kau (klitika) dan -mu untuk merujuk pada benda terompet Pancajanya milik Kresna.
”Terompet yang malang! Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah. Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?”
3. Pengurangan
a. Pada bagian ini kata Arjuna yang menjadi fokus pembicaraan dalam bagian ini dihilangkan. Hal ini tampak pada kalimat:
Sang Prabu berkilat-kilat matanya. Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung. Terjerembab di kelam hutan. Arjuna terpana dan bingung beberapa saat, tapi segera sadar diri.
b. Pada bagian ini kata Sang Prabu yang menjadi tokoh utama dalam adegan ini beberapa kali dihilangkan.
Sang Prabu berkilat-kilat matanya. Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung. Terjerembab di kelam hutan.
c. Pada bagian ini kata siap hanya dipakai pada bagian awal, sedangkan pada bagian berikutnya kata ini telah melebur dan tidak digunakan, namun sebenarnya pemaknaan terhadap kata ini tetap berlangsung.
+ Kakang Kresna! Di tanganku tergenggam terompet Dewanata. Kakang Bima siap dengan Paundra. Kakang Yudhistira dengan Anantawijaya. Adi Nakula dengan Sugosa dan Adi Sadewa dengan Manipuspaka.
d. Kata ganti aku tidak dipakai dalam klausa kedua karena makna kata ini telah melesap.
+ Kakang. Aku rela dibunuh mereka daripada harus hidup dengan kenangan tentang darah muncrat di leher mereka. Biarlah aku menjadi tumbal kehidupan yang dikuasai api angkara murka.
BAB IV
KESIMPULAN
Karya-karya Emha Ainun Nadjib—puisi, esai, maupun naskah drama—hampir semuanya memiliki tendensi terhadap kebudayaan, kehidupan sosial, dan relijius. Entah berupa kritik sosial, penguatan dalam berkeyakinan, atau makna kontemplasi. Demikian pula dalam cerpennya ini. Kebudayaan Jawa diangkat dengan media tokoh wayang, kritikan-kritikan pedas namun mengalir juga memenuhi sebagian besar cerpen, dan tentu saja muatan moral juga kental terasa. Maka, tidak akan rugi rasanya, jika kita menyisihkan sebagian waktu kita untuk membaca cerpen ini atau mengkajinya lebih mendalam—entah dalam gaya pengarang, maupun pemaknaannya yang dalam.
1. Unsur Leksikal
a. Cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra merupakan cerpen yang menggunakan kata-kata yang sederhana sekaligus kompleks,
b. Kata-kata yang digunakan menggunakan kebanyakan adalah bahasa non-formal atau kolokial,
c. Penggunaan ungkapan dan juga kata-kata yang diambil dari istilah asing sengaja dipakai untuk menimbulkan nilai rasa yang berbeda,
d. Cerpen ini terdiri atas kurang lebih 4402 kata, 363 frase, 321 klausa, 324 kalimat, dan 84 paragraf/bagian (perincian terdapat dalam lampiran),
Jenis kata Jumlah
Kata benda dan kata ganti (nomina dan pronomina) 2165 = 49,20%
Kata kerja (verba) 1279 = 29,05%
Kata sifat (adjektiv) 502 = 11,40 %
Kata bilangan (numeralia) 114 = 2,59%
Kata tugas (partikel) 233 = 5,29 %
Adverbia 109 = 2,47%
2. Unsur Gramatikal
a. Struktur kalimat yang digunakan oleh pengarang cenderung kompleks,
b. Jenis kalimat yang banyak digunakan oleh pengarang adalah kalimat deklaratif (kalimat yang menyatakan sesuatu),
Jenis Kalimat Jumlah Jumlah (%)
Kalimat deklaratif 173 73,93
Kalimat interogatif 19 8,12
Kalimat imperatif 42 17,93
Kalimat aktif 89 62,68
Kalimat pasif 53 37,32
Kalimat langsung 166 98,81
Kalimat tak langsung 2 1,19
c. Cerpen yang berjudul Padang Kurusetra ini memiliki 321 klausa, yang kebanyakan tergolong klausa predikatif (untuk perincian jumlah klausa, lihat tabel 2 pada lampiran halaman ix-xiv),
d. Frase yang ada berjumlah 363 buah (untuk perician jenis frase, lihat tabel 3 pada lampiran halaman xv-xxi).
3. Unsur Retorika
a. Pemajasan yang digunakan dalam cerpen Padang Kurusetra di antaranya: hiperbola, metafora, metonimia, paradoks, sinekdok, simile, personifikasi, allegori, ironi, tautologi, dan pleonasme,
b. Penyiasatan struktur yang sering dipakai dalam cerpen ini adalah paralelisme, anafora, enumerasi, repetisi, dan pertanyaan retoris,
c. Pencitraan yang muncul, di antaranya adalah pencitraan penglihatan (visual imagery), pencitraan pendengaran (auditory imagery), dan pencitraan gerak (movement imagery).
4. Unsur Kohesi dan Koherensi
a. Unsur kohesi dan koherensi yang muncul diungkapkan dengan penggunaan penanda hubung, rujuk silang, dan penghilangan beberapa bagian.
Sinopsis Cerpen Padang Kurusetra karya Emha Ainun Nadib
Saat itu, Sang Prabu Kresna tengah bersantai di kursi selonjornya. Namun, ia segera ingat bahwa suatu saat nanti akan terjadi perang besar, Bharata Yuda. Maka, ia segera bangkit dan memerintahkan kepada Harya Setyaki untuk menyiapkan kereta dan terompet Pancajanya, ia ingin menemui Arjuna.
Arjuna adalah anak ketiga dari keturunan Pandu Dewanata. Ialah yang paling dekat dengan Sang Prabu. Dalam suratan takdir, pada perang akbar itu, Sang Kresna akan membantunya sebagai sais kereta. Namun, tiba-tiba Sang Prabu mendengar suara Penitisnya, Wisnu, yang mengatakan bahwa Bharata Yuda batal terjadi. Perang antara kebaikan dan kejahatan itu tidak akan terjadi karena para Pandawa telah kehilangan jiwa ksatrianya. Sang Prabu tidak mau memercayai hal itu. Ia tetap akan berangkat menemui Arjuna.
Setibanya di tempat Arjuna, seperti biasa, ia disambut hangat oleh kelima adiknya itu. Namun, keadaan para Pandawa telah jauh berubah. Cahaya ksatria yang dulu memancar dari wajah mereka, kini telah tiada. Pandawa tampak seperti manusia biasa.
Kemudian, terjadilah dialog yang panjang antara Sang Prabu Kresna dan Arjuna. Sang Prabu mengingatkan Arjuna mengenai perang Bharata Yuda yang telah dekat waktunya. Arjuna, juga segenap Pandawa, memang tidak melupakan suratan takdir itu. Namun, mereka telah memutuskan untuk melawan kehendak takdir itu. Mereka merasa, persaudaraan dan "perdamaian” yang ada sekarang lebih daripada perang. Para Pandawa menolak maju ke padang Kurusetra.
Karena tampikan itu, sang Prabu marah bukan kepalang. Apalagi antara kedua belah pihak telah memiliki persepsi yang berbeda atas Bharata Yuda yang akan dilaksanakan di Padang Kurusetra. Para Pandawa, dengan juru bicara Arjuna, tetap mempertahankan idealisme baru mereka untuk mempertahankan ”perdamaian” yang telah ada dengan alasan bahwa mereka tidak akan sanggup melihat darah muncrat dari kubu pandawa maupun Kurawa karena hakikatnya keduanya bersaudara. Apalagi jika harus mengorbankan rakyat yang tidak berdosa, mereka tidak rela.
Namun, Sang Prabu masih dapat memahami pemikiran itu, dan dengan sabar, ia masih bersedia menjelaskan hakikat Bharata Yuda tersebut. Bahwa sesungguhnya yang ditumpas bukanlah saudara-saudara yang dicintai melainkan kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan di atas muka bumi ini. Para Pandawa tetap teguh pada pendiriannya. Mereka lebih memilih kehidupan yang berlangsung sekarang.
Maka, marahlah Sang Prabu Kresna. Dilemparkannya para Pandawa ke hutan yang kelam. Di hutan tersebut mereka diperintahkan untuk introspeksi pada atas pendirian mereka. Di hutan itu pula, Arjuna dan saudara-saudaranya dapat kembali mendengarkan suara hati mereka untuk mengembalikan jiwa ksatria mereka yang telah menguap. Namun, suara hati mereka tidak cukup kuat. Para Pandawa kalah melawan nafsunya.
Maka, datanglah kembali mereka menghadap Prabu Kresna. Mereka mengatakan bahwa mereka telah mendengar suara hati mereka kembali. Namun, mereka tak sanggup kembali ke kehidupan ksatrianya. Hal ini diakui oleh Arjuna dan Saudara-saudaranya karena pihak Kurawa, dalam kepemimpinan Suyudana telah menjejali perut mereka dengan makanan-makanan lezat dan memberikan harta benda yang berlimpah. Untuk itulah mereka menolak untuk melawan Kurawa yang telah ”berbaik hati” kepada mereka.
Setelah mendengar pengakuan Pandawa, hancur hati Sang Kresna dan marahlah dia. Kemudian, para Pandawa yang tadi dicengkeramnya terjatuh hingga jasadnya menggelinding. Dilemparkannya Pancajanya ke angkasa sehingga langit sobek.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Nadjib, Emha Ainun. 2006. BH (Kumpulan Cerpen). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pendit, Nyoman S. 2004. Mahabharata. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ramlan. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia—Sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono.
Sukandar, Sedopati. 2007. ”Membaca Sajak-Sajak Emha: Membaca Perjalanan Sujud” dalam Sabili No. 22, Th. XIV 17 Mei 2007/29 Rabiulakhir 1428 H, halaman 16-18.
Sumardjo, Jakob. 1980. Seluk-Beluk Cerita Pendek. Bandung: Mitra Kencana.
_____. 2004. Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teew, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra (Diindonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Tim Redaksi. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar