Jumat, 19 April 2013

KAJIAN STILISTIKA CERPEN EMHA AINUN NADJIB, PADANG KURUSETRA (Bag. 1)



 Kumpulan Cerpen Emha Ainun Nadjib, "BH"

BAB I
PENDAHULUAN

Suatu ide yang baik, yang terangkum dalam sebuah karya sastra, selayaknya diungkapkan dengan keterampilan menggunakan bahasa yang baik dan tepat pula karena sampai atau tidaknya gagasan atau ide tersebut kepada pihak lain (baca: pembaca/ pendengar) sering sekali tergantung pada bagaimana cara seorang sumber (baca: penulis/pembicara) menyampaikannya. Ada beberapa stile atau gaya dalam mengungkapkan sebuah ide. Penggunaan bahasa, pilihan kata yang estetis sekaligus bermakna sesuai prinsip dulce et utile, serta keutuhan cerita akan membuat nilai sebuah karya sastra lebih bermakna, mudah diterima, dan menarik.

Stile atau gaya dalam bercerita melingkupi beberapa aspek bahasa, antara lain unsur fonologi, leksikal, gramatikal, kohesi dan koherensi, serta retorika. Tetapi, karya sastra sebagai produk tulis yang bersifat kreatif, imajinatif, full meaning, dan estetis, tidak akan dapat lepas dari konteks dan peristiwa yang terjadi di ranah sosial dan realita kehidupan.

Dalam makalah ini akan dikaji unsur-unsur stile yang membangun sebuah cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra yang diambil dari kumpulan cerpennya, BH. Penulis memilih cerpen ini karena gaya bercerita Cak Nun (panggilan Emha Ainun Nadjib) yang sangat khas. Terlebih, banyak hal menarik yang ditemukan dalam cerpen ini. Beberapa hal tersebut misalnya bahasa yang apa adanya sekaligus sarat akan metafora dan pemaknaan yang luas. 

Karya-karya Cak Nun—puisi, esai, maupun naskah drama—hampir semuanya memiliki tendensi terhadap kebudayaan, kehidupan sosial, dan relijius. Entah berupa kritik sosial, penguatan dalam berkeyakinan, atau makna kontemplasi. Demikian pula dalam cerpennya ini. Kebudayaan Jawa diangkat dengan media tokoh wayang, kritikan-kritikan pedas namun mengalir juga memenuhi sebagian besar cerpen, dan tentu saja muatan moral juga kental terasa. Maka, tidak akan rugi rasanya, jika kita menyisihkan sebagian waktu kita untuk membaca cerpen ini atau mengkajinya lebih mendalam—entah dalam gaya pengarang, maupun pemaknaannya yang dalam.


BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Stilistika dan Unsur-Unsurnya
Stilistika (stylistics) merujuk pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap wujud kajian kebahasaan (Leech & Short via Nurgiyantoro, 2005: 279). Analisis stilistika dalam dunia sastra biasanya dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya, menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang dipergunakan itu memperlihatkan penyimpangan, serta bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus (Chapman via Nurgiyantoro, 2005: 279). 

Kata stile diturunkan dari kata latin, stilus, ’semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin’. Keahlian dalam menggunakan alat ini akan memengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Penekanannya dititikberatkan pada keahlian untuk menulis atau memengaruhi kata-kata secara indah. Pada perkembangan selanjutnya, stile tidak hanya terfokus pada penggunaan kata-kata secara indah, namun sudah meluas pada pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam sebuah karya sastra akan menunjukkan ciri tersendiri bagi pengarangnya. 

Stile (style, gaya bahasa) juga dapat dimaknai sebagai cara pengucapan bahasa atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Makna stile, menurut Leech & Short, adalah suatu hal yang pada umumnya tidak mengandung sifat kontroversial.

Menurut Keraf (1991: 113-115), syarat-syarat stile yang baik adalah sebagai berikut.
a.    Kejujuran. Dalam hal ini kita harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang benar.
b.    Sopan santun. Memberi pengarahan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca.
c.    Menarik. Beberapa gaya yang menarik dapat diukur dengan komponen-komponen variasi, humor yang sehat, dan pengertian yang baik.

Abrams mengemukakan bahwa unsur stile terdiri atas unsur fonologi, sintaksis, leksikal, retorika (berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dsb.). Sedangkan, Leech & Short mengemukakan bahwa unsur stile adalah unsur leksikal, gramatikal, figures of speech, serta konteks dan kohesi.

Pembicaraan unsur stile berikut dilakukan dengan menggabungkan antara pembagian unsur menurut Abrams dan Leech & Short tersebut, namun unsur fonologi (dari Abrams) sengaja tidak dibicarakan karena unsur itu kurang berpengaruh dalam stilistika cerpen.

a.    Leksikal
Unsur leksikal yang membangun sebuah puisi mengacu pada penggunaan diksi atau pilihan kata oleh pengarang. Bagaimana pengarang menggunakan kata-kata yang dapat mewakili jalannya suatu cerita. Hal ini sama dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 289), unsur leksikal sama pengertiannya dengan diksi, yaitu mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja pilih oleh pengarang. 

Pada dasarnya ”kata” merupakan suatu lambang, artinya kata itu menempati sesuatu yang diwakilinya, tetapi kata itu sendiri tidak identik dengan benda atau sesuatu yang diwakilinya. Kata, sebagai lambang, pada dasarnya tidak memunyai arti pada sebuah kata itu baru pada angan-angan dan sikap pemakai kata itu. Pengertian atau batasan kata, menurut tata bahasa tradisional, ditentukan berdasarkan semantiknya. Kata adalah kumpulan huruf yang mengandung arti. Dalam cerpen ada berbagai cara yang digunakan oleh pengarang untuk memberikan efek yang diinginkan terhadap puisi tersebut. Salah satunya adalah pilihan kata atau diksi.

Pemilihan kata-kata oleh pengarang dengan pertimbangan untuk memperoleh efek estetis yang sesuai dengan bentuk dan makna yang diinginkan dalam jalannya sebuah cerita. Pemilihan diksi juga harus memperhatikan ketepatan kata agar maksud yang diterima oleh pembaca sama dengan apa yang dimaksudkan oleh penulisnya. Pilihan kata dapat berupa penggunaan kata benda, kata sifat, kata kerja, sederhana, kompleks, kolokial, kata populer, dan kata ilmiah.

1)    Kosa kata. Dalam memilih kata-kata diperlukan kehalusan perasaan. W. S Rendra menganjurkan kepada sastrawan agar melihat makna kata di kamus agar dapat menggunakan arti kata dengan setepat-tepatnnya. Dengan demikian, bahasa sastrawan tidak berbeda dengan bahasa yang digunakan masyarakat. Penggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat memberi efek gaya yang realistis, sedang penggunaan bahasa nan indah memberi efek romantis.
2)    Pemilihan kata (diksi) dilakukan supaya penyair dapat mengekspresikan pengalaman jiwanya dengan tepat. Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens, sehingga memilih kata-kata yang tepat yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Penyair mempertimbangkan perbedaan arti dengan sangat cermat. Apabila kata yang dipilih menimbulkan imajinasi estetik maka disebut diksi puitis.
3)    Denotasi dan konotasi digunakan untuk menimbulkan gambaran yang jelas dan padat. Sebuah kata memunyai dua aspek arti, yaitu denotasi artinya menunjuk; dan konotasi yaitu arti tambahannya. Puisi harus mengandung keduanya Dalam membaca, pembaca puisi harus mengetahui arti denotatifnya dan konotifnya yang timbul dari arti denotatifnya.              

b.    Gramatikal
Unsur gramatikal adalah unsur yang mengacu pada struktur kalimat. Menurut Nurgiyantoro (2005: 292) unsur gramatikal merujuk pada pengertian struktur kalimat. Pengarang bebas menggunakan kalimat, termasuk ketika menggunakan penyimpangan struktur kalimatnya. Penyimpangan memunyai berbagai macam wujud, di antaranya pengulangan, pembalikan, dan penghilangan unsur tertentu. 

Dalam menganalisis unsur gramatikalnya dapat juga diambil beberapa pertanyaan:
1)    kompleksitas kalimat: sederhana atau kompleks struktur kalimat yang digunakan, berapa rata-rata jumlah kata per kalimat, bagaimanakah variasi penampilan struktur kalimatnya, sederhana atau kompleks?
2)    jenis kalimat: jenis kalimat apa sajakah yang dipergunakan, jenis kalimat manakah yang paling menonjol? Apakah fungsinya?
3)    jenis klausa dan frasa; klausa dan frasa apakah yang menonjol? Sederhana atau kompleks?

c.    Retorika
Menurut Nurgiyantoro dalam bukunya (2005: 296), retorika adalah suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Atau, seperti yang ditulis oleh Pradopo dalam bukunya, terdapat sekumpulan bentuk yang biasa dipergunakan yang disebut sarana retorika. Sarana retorika merupakan muslihat pikiran yang bertujuan untuk menarik perhatian, pikiran pembaca, hingga pembaca berkontemplatasi atas apa yang disampaikan pengarang. Pada umumnya sarana retorika menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan maksud pengarang.

Selain itu, kehadiran karya sastra juga dapat menunjukkan ciri karya seorang pengarang. Melalui sarana retorik yang terpancar dalam karyanya, pembaca akan dapat menerka bagaimana jiwa dan kepribadian pengarang (Keraf, 1991: 13). Apabila gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang baik, maka pengarang tersebut dianggap memiliki jiwa dan kepribadian yang baik pula.

Dalam teorinya, sarana retorika terdiri dari berbagai macam unsur.
1)    Pemajasan (figure of thought)
Pemajasan adalah teknik pengungkapan bahasa yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata pendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan. Sedangkan, Pradopo (1987: 61-62) mengidentikkan pemajasan dengan bahasa kiasan. Bahasa kiasan mempersamakan sesuatu dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, menarik, dan hidup.
Bentuk-bentuk pemajasan yang sering digunakan pengarang adalah:
a)    Simile (perbandingan)
Simile yaitu bahasa kias yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, seperti, laksana, bak, dan seumpama.
b)    Metafora
Metafora adalah bahasa kias yang tidak menggunakan pembanding. Metafora menyamakan sesuatu dengan hal lain. padahal sesungguhnya tidak sama. Metafora terdiri atas dua term, yaitu term pokok/tenor dan term kedua/vehicle. Term pokok menyebutkan hal yang dibandingkan, sedangkan term vehicle merupakan hal untuk membandingkan. Selain itu, juga terdapat term implisit (menyebut term vehicle tanpa menyebut term pokok) dan metafora mati (metafora yang sudah klise hingga orang sudah lupa bahwa itu metafora).
c)    Personifikasi
Personifikasi menyamakan benda dengan manusia. Benda-benda itu dibuat berpikir dan dapat berbuat seperti manusia.  Personifikasi memberikan bayangan angan yang konkret.
d)    Metonimi
Metonimia jarang dijumpai pemakaiannya. Metonimia dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama.
e)    Hiperbola
Hiperbola yaitu melebih-lebihkan suatu hal.
f)    Sinekdoki
Sinekdoki merupakan bahasa kias yang menyebutkan suatu bagian yang penting dari suatu hal untuk hal itu sendiri. Sinekdok ada dua, yaitu:
  • pars pro toto, sebagian untuk seluruh,
  • totem pro parte, keseluruhan untuk sebagian
g)    Allegori
Allegori ialah cerita kias yang mengiaskan kejadian lain atau hal lain. Allegori banyak terdapat dalam puisi-puisi pujangga baru.
h)    Ironi
Ironi merupakn gaya bahasa yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran.
i)    Paradoks
Paradoks yaitu sarana retorika yang menyatakan suatu hal secara berlawanan tetapi sebenarnya tidak benar-benar dipikir dan dirasakan.
j)    Tautologi
Tautologi adalah sarana retorika yang menyatakan hal dua kali supaya hal yang dimaksud lebih mendalam bagi pembaca. Sering pula kata yang digunakan untuk mengulang berbeda tetapi pada dasarnya bermakna sama.
k)    Pleonasme
Pleonasme adalah sarana retorika yang sepintas lalu seperti taotologi, tetapi kata yang kedua telah tersimpul pada kata pertama.
l)    Retorik retisense
Sarana ini menggunakan titik banyak untuk menggantikan perasaan yang tak terungkapkan.
2)    Penyiasatan struktur
a)    Paralelisme
Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Keraf, 1981:126). Kesejajaran dalam hal ini dapat berupa anak-anak kalimat yang bergantung pada induk kalimat yang sama.
b)    Repetisi
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 1991:127).
c)    Anafora
Anafora merupakan pengulangan kata-kata pada awal beberapa kalimat yang berurutan.
d)    Enumerasi
Enumerasi merupakan pemecahan suatu hal menjadi beberapa hal dengan tujuan agar hal itu lebih jelas bagi pembaca atau pendengar.
e)    Pertanyaan retoris
Pertanyaan retoris merupakan gaya yang menekankan pengungkapan dengan menampilkan semacam pertanyaan yang sebenarnya tak menghendaki jawaban.
3)    Pencitraan
a)    Citraan penglihatan (visual imagery) memberi rangsangan kepada indera penglihatan sehingga sering hal-hal yang tak terlihat seolah-olah terlihat,
b)    Citraan pendengaran (auditory imagery) dihasilkan dengan menyebutkan bunyi suara,
c)    Citraan rabaan dihasilkan dengan menyebutkan hal-hal yang merangsang imajinasi indera perabaan,
d)    Citraan penciuman dihasilkan dengan menyebutkan hal-hal yang merangsang daya khayal indera penciuman,
e)    Citraan pengecapan dihasilkan dengan menyebutkan hal-hal yang merangsang intuisi indera pengecapan, dan
f)    Citraan gerak (movement imagery) menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya.

d.    Kohesi dan Koherensi
Antara bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain, atau kalimat yang satu dengan yang lain, terdapat hubungan yang bersifat mengaitkan antarbagian kalimat atau antarkalimat itu. Bagian-ngian dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam sebuah alinea, yang masing-masing mengandung gagasan, tidak mungkin disusun secara acak. Antarunsur tersebut secara alami dihubungkan oleh makna semantik. Hubungan semantik merupakan bentuk hubungan yang esensial dalam kohesi yang mengaitkan makna-makna dalam sebuah teks. Hubungan tersebut mungkin bersifat eksplisit yang ditandai oleh adanya kata penghubung atau hanya berupa hubungan kelogisan yang disimpulkan oleh pembaca (infered connection), hubungan implisit. Hubungan yang demikian disebut kohesi/keutuhan (cohesion).

Penanda kohesi yang berupa sambungan dalam bahasa Indonesia ada banyak dan berbeda fungsinya. Ia dapat berupa kata-kata tugas, seperti: dan, kemudian, sedangkan, tetapi, namun, melainkan, bahwa, sebab, jika, dan maka. Penanda kohesi yang menghubungkan antarkalimat biasanya berupa kata atau kelompok kata, seperti: jadi, dengan demikian, akan tetapi, oleh karena itu, dan di samping itu.

Sambungan merupakan alat kohesi yang berupa kata-kata sambung. Sedangkan, rujuk silang berupa sarana bahasa yang menunjukkan kesamaan makna dengan bagian yang direferensi, atau dapat dimakna sebagai penyebutan kembali sesuatau yang telah dikemuakakan sebelumnya. Bentuk pengulangan yang paling nyata/formal adalah pengulanagan kata atau kelompok kata yang sama. 

Dalam kohesi, dikenal juga adanya prinsip pengurangan (reduction), yaitu yang memungkinkan kita untuk menyingkat apa yang akan disebut kembali atau menghindari pengulangan bentuk yang sama. Penyingkatan dan penggantian itu dapat terjadi pada penggunaan bentuk persona. Bentuk-bentuk penyingkatan tersebut dilihat dari sedut pandang lain dapat disebut sebagai deiksis. 

Penggunaan rujuk silang sebagai sarana memperoleh efek estetis dalam karya sastra dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:
1)    pengulangan ekspresif (expressive repetition) dengan wujud pengulangan formal yang merupakan bentuk penekanan makna dan emotif, ekspresif, dan memperkuat sifat paralelisme kalimat. Gaya anafora dan repetisi dapat menjadi contohnya.
2)    variasi anggun, variasi elegan (elegant variation) mendasarkan diri pada prinsip pengulanagn, namun dengan mempergunakan bentuk pengungkapan lain. Ia dapat berupa penggunaan sinonim, khususnya sinonim berdasarkan kelayakan konteks dan sinonim bentuk ekspresif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar