Jumat, 19 April 2013

KAJIAN STILISTIKA CERPEN EMHA AINUN NADJIB, PADANG KURUSETRA (Bag. 2)

BAB III
HASIL KAJIAN

A.    UNSUR LEKSIKAL
Unsur leksikal yang membangun cerpen Padang Kurusetra karya Emha Ainun Nadjib ini mengacu pada penggunaan diksi atau pilihan kata. Cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra merupakan cerpen yang menggunakan kata-kata yang sederhana sekaligus kompleks.  Dikatakan demikian, sebab jika dilihat dari bentuk yang cenderung banyak menggunakan tanda koma (pola asindenton) menyebabkan kalimat menjadi kompleks. Dilihat dari maknanya pun memang cenderung kompleks. Namun, pada beberapa bagian, Emha menggunakan kata-kata, frase, dan rangkaian kalimat sederhana yang lugas dan mudah dipahami.

Kata-kata yang digunakan kebanyakan adalah bahasa nonformal atau kolokial. Hal ini dipilih agar pembaca lebih mudah memahami isi dan maksud dari cerpen ini. Penggunaan kata-kata kolokial ini tidak terlepas dari latar belakang sang pengarang sebagai salah satu tokoh sosial, budaya, dan agama yang biasa menggunakan dialek Jawa.

Bahasa non-formal dan kolokial yang tampak, misalnya pada kalimat:
— Sejak dulu kejujuran itu mahal, Arjuna.
+ Sejak dulu kejujuran itu mahal, Kakang, mahal dan goblok.
— Kata-katamu kacau, Adi!

Sedangkan, kata-kata asing yang digunakan adalah sebagai berikut:
Bahasa Jawa
kursi selonjor    kakang
tiwikrama    adi
tapasamadi    goblok
denawa    loyo
lhadalah    prana
mesu    apana
lelanabrata    mripat
diserimpung    kok
kamitua    toh

Penggunaan ungkapan dan juga kata-kata yang diambil dari istilah asing sengaja dipakai untuk menimbulkan nilai rasa yang berbeda. Misalnya penggunaan kata kursi selonjor yang bersinonim dengan kursi santai/kursi malas tentu memunyai nilai rasa yang lebih khusus. Istilah kursi selonjor merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang bermakna ’tempat duduk panjang yang digunakan untuk bersantai dengan cara meluruskan kaki ke depan’. Sedangkan, kursi santai atau kursi malas cenderung lebih umum.

Kata lain yang diambil dari bahasa Jawa adalah lhadalah, di-serimpung, kamitua, kakang, adi, goblok, loyo, dan mripat. Lhadalah adalah ’kata seru yang sering diungkapkan jika seseorang merasa terkejut atau tidak percaya pada sesuatu yang baru didengarnya’; kata di-serimpung memiliki makna yang dekat dengan 'dihalau', hanya saja lebih khusus ditujukan pada kaki; kata kamitua memiliki makna ’kepala desa/ dukuh’; kata kakang dan adi maknanya sama dengan kata 'kakak' dan 'adik', hanya saja kedua kata di belakang tidak akan digunakan dalam dunia pewayangan Jawa; kata goblok dan loyo sering digunakan dalam perbincangan sehari-hari, bahkan oleh orang yang tidak menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasinya; kata mripat adalah bentuk kasar kedua, setelah mata, dalam bahasa Jawa, kata ini biasa digunakan dalam pembicaraan yang melibatkan dua/ lebih orang yang memiliki kedudukan sama /hampir sama dalam strata sosial Jawa; kata kok dirangkaikan dalam kalimat yang memiliki makna meyakinkan seseorang; sedangkan kata toh sering digunakan untuk memberi penekanan terhadap suatu pernyataan.

Kita dapat melihat penggunaan kata/ ungkapan tersebut, misalnya, dalam kalimat:
— Lhadalah! Sungguh yang kudengar darimu ialah kabar bencana. Malapetaka dan aib yang tiada taranya bagi keluarga Pandawa. Bukanlah ksatria orang yang tak tahan derita. Tak patutlah seseorang menjadi keturunan Pandu Dewanata jika ia gampang tergoyah!

Atau dalam kalimat:

+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?

Terdapat juga beberapa kata/ frase yang belum akrab pada pembaca. Namun, beberapa kata/ frase/ istilah tersebut memang sering digunakan dalam dunia pewayangan, misalnya tiwikrama, tapasamadi, mesu, lelanabrata, prana, dan apana.

Kata-kata tersebut akan tampak maknanya jika dikaitkan dengan konteks kalimat, misalnya:
Prabu Kresna terenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa. Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping.

Cerpen ini terdiri atas kurang lebih 4402 kata, 363 frase, 321 klausa, 324 kalimat, dan 84 paragraf/ bagian (perincian terdapat dalam lampiran). Ada beberapa jenis kata yang dipakai dalam cerpen tersebut. Diantaranya adalah kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, dan kata tugas.
Jenis kata    Jumlah
Kata benda dan kata ganti (nomina dan pronomina)    2165 = 49,20%
Kata kerja (verba)    1279 = 29,05%
Kata sifat (adjektiv)    502 = 11,40 %
Kata bilangan (numeralia)    114 = 2,59%
Kata tugas (partikel)    233 = 5,29 %
Adverbia     109 = 2,47%

Dari tabel di atas diketahui bahwa pengarang lebih banyak menggunakan kata berjenis nomina dalam cerpennya. Namun, rentetan kata benda (nomina) tidak akan cukup menyampaikan makna jika tidak dirangkai dengan jenis kata lain, seperti kata kerja (verba), kata sifat (adjektiv), kata bilangan (numeralia), kata tugas (partikel), dan/atau adverbia.

Kata benda (nomina) yang dipilih pengarang untuk cerpennya ini beragam dan kompleks. Beberapa di antaranya tergolong nomina konkret dan beberapa yang lain tergolong nomina abstrak. Nomina konkret tampak pada kata rakyat, prajurit, mereka, sang Kresna, para Pandawa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, raja, tukang kayu, para pekatik, cendol, kaki-kaki kuda, Padang Kurusetra, pasar, desa, hutan, dan kancah pertarungan dalam  beberapa kalimat di bawah ini:
Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu. Sang Kresna tidak mau membantu jatuhnya seorang raja, menaikkan raja yang lain, ganti berganti, dan rakyat terlempar dari penindasan ke penindasan berikutnya; diinjak-injak oleh kaki-kaki kuda dan para pekatik; dihardik oleh penderitaan kemarin, hari ini dan besok. Tidak, sekali-kali tidak. Biarlah para Pandawa hidup di desa atau mengembara di hutan. Biarlah Yudhistira jadi kamituwa, Bima jadi tukang kayu, Arjuna bercocok tanam, sementara Nakula dan Sadewa menjual cendol di pasar.

Kata rakyat, prajurit, mereka, sang Kresna, para Pandawa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, raja, tukang kayu, dan para pekatik merujuk pada manusia; cendol merujuk pada benda; kaki-kaki kuda merujuk pada makhluk hidup; sedangkan Padang Kurusetra, pasar, desa, hutan, dan kancah pertarungan merujuk pada tempat.

Sedangkan, nomina abstrak juga banyak muncul dalam cerpen ini. Beberapa di antaranya tampak pada kata cahaya, keluhuran, kejahatan, dosa, derita, kematian, hidup, mati, ada, dan tiada dalam paragraf di bawah ini:
+ Kakang Kresna! Bisa kulepaskan cahaya, anak panah yang meleburkan besi baja. Tapi, betapa mungkin saudara-saudaraku sendiri yang amat kucintai mesti kutusuk dadanya. Keluhuran apa gerangan yang hendak kucapai, jika dengan merajah darah sanak kandang sendiri. Mending aku jadi peminta-minta daripada harus dirundung dosa dan derita akibat kematian saudara-saudara yang tercinta.
— Arjuna Adiku! Sesalilah apa yang memang patut disesali. Seorang ksatria yang arif tak bakal bersedih, karena yang harus ia tumpas bukanlah saudara-saudaranya, melainkan kejahatan yang mereka sandang. Seorang ksatria yang paripurna tak akan menderita, karena dirinya tak dibelah oleh air dan api, oleh hidup dan mati, oleh ada atau pun tiada.

Kata cahaya bermakna petunjuk; keluhuran dan kejahatan merujuk pada kualitas moral; dosa dan derita merujuk pada proses; kematian, hidup, mati, ada, dan tiada merujuk pada peristiwa.

Kata kerja (verba) yang mengisi cerpen ini adalah kata kerja transitif, intransitif, dan pasif. Kata kerja transitif tampak pada kata menggenggam, membusungkan, dan mengisap dalam kalimat-kalimat:
Prabu Kresna terenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa. Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping. Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.

Ketiga kata di atas memiliki makna yang sama, yaitu tindakan atau perbuatan. 

Kata kerja intransitif tampak pada kata naik, turun, bertarung, bertahan, keluar, dan masuk, yang ketiganya memiliki makna tindakan.
+ Kakang Kresna! Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk. Demikian jua aku.

Sedangkan, kata kerja pasif ada pada kata dibela yang memiliki makna perbuatan dalam kalimat:
Kurawa memang adalah penguasa. Tapi apa gerangan yang hendak dibela oleh para Pandawa? Mereka tidak mewakili rakyat. Mereka hanya mewakili kebenaran: kebenaran masalah mereka sendiri. Kini kebenaran itu tak ada. Tanah ini hanyalah warisan Sang Hyang Wenang kepada rakyat.

Kata sifat (adjektiv) banyak tampil pada kalimat di bawah ini:

—    Gila! Mereka tak akan sirna
Sebelum menumpas Kurawa!
+ Kurawa takkan tumpas Duryudana yang busuk, jika putus nyawa
Telah siap pengganti-penggantinya
Sengkuni yang licik dan kumal jiwanya
Dorna si kerak neraka
Menjadi debu racun di tangan Bisma
—    Kejahatan mesti tumpas oleh kebenaran!
+ Mesti, tapi tak tentu.

Kata gila, busuk, licik, dan kumal (pada frase kumal jiwanya) menjelaskan sesuatu yang bersifat psikis dan emotif. Kata tumpas, mesti, dan tak tentu lebih menekankan sifat referensial.
Kata bilangan (numeralia) yang ada dalam cerpen Padang Kurusetra lebih didominasi oleh numeralia tak tentu, misalnya pada bagian:
... Tubuh kami tertancam di bumi. Karena perut kami telah penuh oleh beratus ribu jengkal kebun, ladang, sawah, joglo-joglo mewah serta berjuta mata uang yang berlimpah. Kakang Suyudana telah menenteramkan hidup kami.

Kata tugas yang muncul sangat beragam. Beberapa di antaranya berwujud konjungsi, sedangkan beberapa yang lain berwujud preposisi.

B.    UNSUR GRAMATIKAL
Unsur gramatikal merujuk pada pengertian struktur kalimat. Sebuah gagasan  dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat yang berbeda struktur dan kosa katanya. Cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra ini memiliki unsur-unsur gramatikal sebagai berikut:
1.    Kompleksitas Kalimat
Struktur kalimat yang digunakan oleh pengarang cenderung kompleks. Hal itu ditandai banyaknya tanda baca koma (,) dalam satu kalimat. Paling tidak, ada lebih dari tiga tanda koma (,) dalam beberapa kalimat. Hal itu dimaksudkan untuk memperjelas maksud dari kalimat yang dirujuk. Dalam dua paragraf di bawah ini tampak pola asindenton tersebut.
Setyaki siap melaksanakan perintah itu. Membenahi kereta dan kuda, kemudian memandang Pancajanya dan bergumam sendiri: ”Terompet yang malang! Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah. Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?”
Sejak lama memang Sang Prabu Kresna menganggur. Ia yakin sudah bahwa Bharata Yudha memang tak akan pernah terjadi. Tak ada perebutan tanah. Tanah itu milik rakyat, dan di manakah rakyat, di tengah jajaran wayang-wayang? Tentu tidak tertampung dalam kotak ki dalang. Di mana? Mungkin mereka adalah para penonton yang terkantuk-kantuk sepanjang malam, berbaring di rerumputan, bersandar di pepohonan, bergumam di antara mereka sendiri tapi tak berkata apa pun kepada ki dalang.

Dalam satu kalimat rata-rata terdiri atas 19 kata. Dengan gaya asindenton yang banyak memakai tanda koma. Pola yang paling menonjol yakni pola hubungan koordinatif dan subordinatif.

2.    Jenis Kalimat
Jenis kalimat yang banyak digunakan oleh pengarang adalah kalimat deklaratif (kalimat yang menyatakan sesuatu) dengan frekuensi kemunculan 173 kali. Hal dimaksudkan untuk memberikan banyak informasi kepada pembaca mengenai jalan cerita, watak tokoh, serta informasi-informasi penting yaang menyangkut makna dan metafora dalam cerita.
Selain kalimat berjenis deklaratif, Emha juga menggunakan kalimat berjenis lain yang mendukung efek estetis dan puitisnya, seperti: kalimat interogatif (kalimat yang makna pertanyaan), kalimat imperatif (kalimat yang mengandung makna perintah atau larangan), kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat langsung, kalimat tak langsung, dan beberapa kalimat minor (kalimat yang tak lengkap fungtor-fungtornya). Namun, untuk perincian jenis kalimat, lihat tabel 1 pada lampiran halaman i-viii.

Jenis Kalimat    Jumlah    Jumlah (%)
Kalimat deklaratif    173    73,93
Kalimat interogatif    19    8,12
Kalimat imperatif    42    17,93
Kalimat aktif    89    62,68
Kalimat pasif    53    37,32
Kalimat langsung    166    98,81
Kalimat tak langsung    2    1,19

3.    Jenis Klausa dan Frase
Cerpen yang berjudul Padang Kurusetra ini memiliki 321 klausa, yang kebanyakan tergolong klausa predikatif (untuk perincian jumlah klausa, lihat tabel 2 pada lampiran halaman ix-xiv). Sedangkan, frase yang ada berjumlah 363 buah (untuk perician jenis frase, lihat tabel 3 pada lampiran halaman xv-xxi).

Pemakaian struktur kalimat yang menggunakan banyak tanda koma memang dapat membingungkan pembaca. Namun, sebenarnya apa yang dilakukan oleh pengarang adalah untuk memperjelas makna.
Kosa kata- kosa kata yang dipakai dengan memakai istilah Jawa memang dimaksudkan untuk lebih memperjelas makna, terutama nilai rasa dan kekhasan (kekhususan). Sebab, apabila kosa kata asing itu diubah ke dalam kosa kata Bahasa Indonesia, walaupun memiliki arti yang sama, akan tetap menyebabkan nilai rasanya berbeda, bahkan tidak tersampaikan pesannya.

C.    UNSUR RETORIKA
Pembahasan mengenai retorika berhubungan dengan pemajasan, penyiasatan struktur, dan pencitraan. Cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra ini akan dibahas dengan aspek-aspek di atas.
1.    Pemajasan
a.    Hiperbola
Pemajasan ini ada dalam bagian-bagian di bawah ini:
1) Ungkapan menggenggam bulatan bumi tidak mungkin dilakukakan oleh manusia biasa dan dalam keadaan biasa. Ungkapan ini dipergunakan untuk menunjukkan kesaktian seseorang berserta emosi yang tengah merasuk hatinya. Di dalam kalimat ini dinyatakan bahwa Sang Kresna tengah bangun dari duduk santainya lantas akan melakukan sesuatu kewajiban yang hampir saja lupa dilakukannya.
Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping. ...

2) Ungkapan mengisap seluruh udara, seperti halnya ungkapan di atas, dipergunakan untuk menunjukkan kesaktian seseorang.
Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala. ...

b.    Metonimi
Pemajasan ini ada dalam bagian-bagian di bawah ini:
1) Frase kereta perang serta terompet Pancajanya menunjukkan dua buah benda milik Sang Kresna. Dalam kalimat ini, dua buah benda tersebut disebutkan beserta namanya.
Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki, memerintahkan agar ia menyiapkan kereta perang serta terompet Pancajanya.

2) Kata Pancajanya merujuk pada terompet milik Sang Kresna.
Setyaki siap melaksanakan perintah itu. Membenahi kereta dan kuda, kemudian memandang Pancajanya dan bergumam sendiri.
3) Bharata Yuda adalah nama perang yang dituju oleh Sang Kresna.
Sejak lama memang Sang Prabu Kresna menganggur. Ia yakin sudah bahwa Bharata Yudha memang tak akan pernah terjadi.

4) Kata kebenaran dalam kalimat ini dinyatakan secara eksplisit, bahwa sesungguhnya rakyat membutuhkan kebenaran, hanya saja kebenaran yang tampak sekarang merupakan kamuflase, gincu yang menor yang tidak seharusnya disaksikan oleh rakyat.
Mereka tidak mewakili rakyat. Mereka hanya mewakili kebenaran: kebenaran masalah mereka sendiri.

5) Dewanata adalah terompet milik Arjuna; Paundra adalah gada milik Bima; Anantawijaya adalah senjata Yudhistita; sedangkan Sugosa dan Manipuspaka, masing-masing, merupakan andalan Nakula dan Sadewa; dalam kalimat ini nama-nama tersebut disebutkan.
+ Kakang Kresna! Di tanganku tergenggam terompet Dewanata. Kakang Bima siap dengan Paundra. Kakang Yudhistira dengan Anantawijaya. Adi Nakula dengan Sugosa dan Adi Sadewa dengan Manipuspaka. Bahkan Adi Srikandi telah gatal ingin meneteskan darah pahlawannya. Juga Drestajumena telah lama pasang kuda-kuda. Tetapi, kami termangu-mangu saja. Sukma kami tergetar, keragu-raguan menimpa.

6) Kata kamituwa dan tukang kayu merupakan dua profesi yang secara langsung diungkapkan dalam cerpen ini.
Biarlah para Pandawa hidup di desa atau mengembara di hutan. Biarlah Yudhistira jadi kamituwa, Bima jadi tukang kayu, Arjuna bercocok tanam, sementara Nakula dan Sadewa menjual cendol di pasar.
c.    Perbandingan (Simile)
Pemajasan ini ada dalam bagian-bagian di bawah ini:
1) Ungkapan ... bagai onggokan sampah merupakan ungkapan yang membantu pemabaca untuk membayangkan betapa terompet tersebut sudah tidak pernah disentuh oleh Sang Kresna. Keberadaannya, bahkan, sedah dilupakan karena tidak berguna lagi.
”Terompet yang malang! Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah. ...
2) Ungkapan ... bagai ditabrak matahari mukanya menyatakan keadaan bahwa Sang Kresna kaget bukan kepalang, sekaligus marah karena sesuatu hal.
Sang Prabu Kresna bagai ditabrak matahari mukanya.

d.    Personifikasi
Pemajasan ini ada dalam bagian-bagian di bawah ini:
1) Kata langit secara denotasi tidak memiliki daya untuk mengisap karena kata kerja tersebut hanya dimiliki oleh manusia. Namun, dalam cerpen Padang Kurusetra ini, pengarang mengatakan habis diisap langit sepi yang menunjukkan bahwa keinginan Sang Prabu Kresna untuk meniup Pancajaya sudah tidak ada sama sekali.
... Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?

2) Ungkapan waktu terhenti digunakan menunjukkan betapa saktinya Sang Kresna. Kata kerja yang digunakan dalam klausa tersebut mengambil sifat yang dimiliki oleh manusia. Demikian juga dengan ungkapan kehidupan yang berjalan .... Kata berjalan adalah kata kerja yang dikenakan pada manusia atau makhluk Tuhan yang dapat melakukan mobilitas, sedangkan waktu, tidak. Hal ini dapat terjadi sebab pengarang ingin menyampaikan bahwa proses hidup yang dijalani oleh tokohnya masih terus berlangsung.
Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.

3) Ungkapan keraguanmu menyeret ... dan jiwamu diserimpung ... meminjam verba yang biasa dikenakan pada manusia. Sesuatu yang dapat melakukan kata kerja menyeret dan diserimpung hanyalah manusia, sedangkan kata benda abstrak, seperti keraguan dan jiwa, sebenarnya tidak memiliki keduanya. Penggunaan dua kata kerja di atas untuk disandingkan pada kedua nomina tersebut untuk menyamakan sifat keraguan (berkonotasi negatif) yang dapat membuat seseorang menjadi buruk dan jiwamu (memiliki sifat netral) yang dapat dipengaruhi dengan hal-hal yang buruk sehingga mengalami degradasi.
Keraguanmu menyeret ke jagat fana. Pikiranmu pecah, jiwamu di-serimpung oleh nafsu dan benda.

e.    Metafora
1) Kalimat rakyat bukanlah tanah landasan ...; rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan ...; dan mereka juga bukan Padang Kurusetra itu ... merupakan kiasan yang tidak menggunakan kata pembanding sebagai pengantarnya. Penyampaiannya dilakukan secara langsung.
Maka, selama itu Sang Prabu Kresna menghentikan tiupan Pancajanya di tangannya. Ia tak mau mengadu raja melawan calon raja. Penguasa melawan calon penguasa. Rakyat bukanlah tanah landasan bagi kekuasaan raja demi raja. Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu. Sang Kresna tidak mau membantu jatuhnya seorang raja, menaikkan raja yang lain, ganti berganti, dan rakyat terlempar dari penindasan ke penindasan berikutnya; diinjak-injak oleh kaki-kaki kuda dan para pekatik; dihardik oleh penderitaan kemarin, hari ini dan besok. Tidak, sekali-kali tidak.

2) Ungkapan angin paling dahsyat memiliki makna 'cobaan paling besar yang harus ditaklukkan dan itu adalah nafsu yang tak dapat dikendalikan yang melekat dalam diri setiap orang’.
Sebab angin paling dahsyat yang harus ditaklukkan, terletak dalam jiwa setiap orang.

3) Ungkapan kenikmatan yang beranak derita berarti 'kenikmatan yang semu, yang mudah sekali berubah menjadi kesengsaraan panjang, karena kenikmatan tersebut didapat dengan menuruti hawa nafsu belaka’.
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita.

4)   Ungkapan merah dan kuning, dalam konteks cerpen ini, memiliki makna 'warna bendera parpol’.
Di merah atau kuning, di tanah atau angin, Arjuna adalah Arjuna.

5)    Frase gelombang samudera memiliki makna 'mudah berubah/dinamis’.
+ Kakang Kresna! Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk. Demikian jua aku.

6) Frase siluman dunia berarti 'sesuatu yang memiliki tendensi buruk terhadap seseorang dan dia melancarkan serangannya dengan cara siluman (licik)’.
Orang suci harus membebaskan diri dari siluman dunia agar memperoleh kedamaian hidup yang sebenarnya.

7) Ungkapan itulah pohon kanker bumi ... memiliki makna 'penyakit yang makin hari makin menggila (berbahaya) jika tidak segera ditumpas dari akarnya’.
Lihatlah Arjuna! Itulah pohon kanker bumi yang harus ditumbangkan. Itulah tantangan bagi ksatria yang memiliki kesadaran.

f.    Allegori
Allegori ialah cerita kias yang mengiaskan kejadian lain atau hal lain. Dalam cerpen Padang Kurusetra karya Emha Ainun Nadjib di atas memiliki beberapa cerita allegori. Beberapa di antaranya adalah:
1) Cerita allegori pertama lebih bersifat apa adanya, sesuai dengan konteks, yaitu menceritakan kenikmatan dunia yang hanya membawa kesengsaraan, sekaligus mengemukakan cara-cara agar kita terhindar dari nafsu-nafsu ingin memperoleh kenikmatan dunia tersebut.
— Engkau sudah teguh samadi, Arjuna. Mustinya telah kaucapai tingkat paling suci. Takut menderita adalah pantangan bagi seorang Yogi. Apalagi sekadar tak makan sehari dua hari. Pikiran bening dan seimbang, tak bakal terguncang meski oleh badai teramat kencang. Sebab angin paling dahsyat yang harus ditaklukkan, terletak dalam jiwa setiap orang.
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?

2) Cerita di bawah sebenarnya adalah cerita tentang bagaimana kesalahan seseorang ditimpakan kepada orang lain dengan cara menyuruh orang lain tersebut melakukan sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya (dijebak). Dalam era reformasi, teknik seperti ini kerap kali dilakukan oleh kalangan "atas”, dan publik menyebutnya dengan istilah mencari "kambing hitam/mengkambing-hitamkan”.
+ Mohon ampun adalah dosa kedua sesudah kerja ditinggalkan. Arjuna! Pandanglah langit memerah, ditutupi tabir putih. Ada kerbau menabrak pagar, kambing yang dihajar. Si kambing disuruh makan rumput, untuk bisa dipersalahkan. Sekawanan sapi diadu melawan sekawanan kerbau, untuk melihat bagaimana warna darah sapi-sapi itu serta agar mukanya bisa dicorengi dengan kotoran duburnya sendiri. Beberapa ekor harimau digiring agar merajah hutan sebelah, agar supaya ada alasan untuk memusnahkan harimau-harimau itu. Pandanglah ketegangan yang tenang, pandanglah gerak yang diam. Lihatlah sekam yang mengancam!

g.    Paradoks
1) Paradoks pertama adalah penolakan Arjuna atas penyamaan dirinya dengan sifat wayang yang "manut” pada apapun kata dalang. Ia memilih menjadi manusia yang memiliki kedaulatan atas dirinya, sekaligus alasannya untuk melakukan kesalahan. "Toh, manusia-lah tempatnya lupa,” demikian pikirnya.
+ Maafkan aku, Kakang Kresna. Aku bukanlah selembar wayang. Aku hanyalah seorang manusia.

2) Masih dalam dialog Arjuna yang mengatakan bahwa dirinya tetap Arjuna walaupun kini telah cenderung berubah. Ungkapan yang dipakai Arjuna untuk membela dirinya adalah, ”... sama bisa juga lain, seperti lain bisa juga sama.” Pernyataan ini sekaligus untuk menyindir pada elit politik yang tampak ”munafik” pada pernyataan-pernyataannya.
+ Arjuna adalah Arjuna. Janaka adalah Janaka. Memang. Tapi, sama bisa juga lain, seperti lain bisa juga sama.

3) Pernyataan-pernyataan di bawah ini juga mengandung banyak sindiran kepada pemerintah, jajaran birokrat, dan penguasa.  Mengenai proses hukum yang tidak adil, juga mengenai pencurian-pencurian akbar yang dilakukan oleh para ”orang besar”.
+ Negaraku memang kacau. Bagaimana tak kacau, rakyat disuruh makan gandum, sedangkan sang raja makan gunung. Gareng mencuri ayam dikurung tiga bulan, sang senopati makan tiga samudera minyak malah tidur ongkang-ongkang di permadani yang bersambung dari satu bukit ke bukit lain.

4) Pernyataan-pernyataan di bawah ini menunjukkan sindiran terhadap para manusia yang pernah "mendeklarasikan” bahwa dirinya adalah pahlawan, namun tidak memberikan bukti konkret pada kata-katanya.
— Kejahatan mesti tumpas oleh kebenaran!
+  Mesti, tapi tak tentu.
— Pandawa tetap ada!
+  Pandawa tetap ada, tapi ksatria Pandawa
Menguap ke angkasa.
Mereka telah jadi denawa.
Jadi raksasa-raksasa.
Yang makan apa pun saja!

5) Pernyataan-pernyataan di bawah ini merupakan pengakuan tokoh Arjuna tentang kekerdilan jiwanya.
    + Aduh, aduh Kakang Kresna! Jagad telah kutelan kembali. Kutemukan ruang hampa di tengah desingan udara. Kugenggam angin dan tenaga. Tetapi, darahku buntu, semangat perjuanganku seperti dicegat hantu.

h.    Tautologi
1) Tautologi dalam bagian di bawah ini menyatakan rakyat bukanlah objek yang dapat diperlakukan seenak para pemimpinnya sendiri. Hal ini dilakukan tiga kali, dengan kalimat yang berbeda namun memiliki makna yang hampir sama, supaya hal yang dimaksud lebih mendalam bagi pembaca.
... Rakyat bukanlah tanah landasan bagi kekuasaan raja demi raja. Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu. Sang Kresna ...

2) Pernyataan di bawah ini merupakan bagian dari dialog tokoh Arjuna untuk meyakinkan Sang Kresna bahwa dirinya masih ingat pada janji ksatrianya.
+ Kelaparan memang bikin kapok kok, Kakang. Tapi, bukan karena itu kami ragu berjuang. Soal berjuang itu, Kakang, tetap kok, tetap kok.

i.    Pleonasme
Pleonasme, jika dilihat sepintas lalu seperti taotologi, tetapi kata yang kedua telah tersimpul pada kata pertama. Hal tersebut tampak pada bagian dialog tokoh Arjuna yang dikutip di bawah ini.
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?

j.    Ironi
1) Pernyatan di bawah ini merupakan sindiran tajam terhadap keadaan bangsa yang tenagah carut-marut dan memiliki ”dunia” serba terbalik.
+ Aku dilahirkan oleh zaman yang memang terbalik-balik, Kakang. Dunia yang terbalik-balik, hukum yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik, keadilan yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik menjadi kebenaran. Yang jujur kojur, yang tak jujur mujur.

2) Pernyataan di bawah ini merupakan bagian dari dialog Sang Kresna yang digunakan untuk menyindir tokoh Arjuna yang telah mulai lupa pada tugas suci ksatrianya. Juga, untuk memberi tahu Arjuna tentang kebodohan rakyat yang sudah dirugikan namun masih belum juga sadar.
— Bagus, Adi! Jika demikian engkaulah Parantapa, penakluk setiap musuh. Tetapi, kenapakah engkau diam tepekur di sini, sedangkan hujan kejahatan tumpah, rakyat basah kuyup, meskipun mereka tetap tertawa.

3) Dua pernyataan ini adalah pernyataan dua tokoh yang memiliki pandangan berbeda terhadap negaranya. Secara kasat mata, pandangan mereka ini sangat jauh berbeda. Namun, sejatinya, tidak, karena salah satunya mendukung pernyataan yang satunya dengan cara menyindir.
+ Negara kita aman-aman saja.
— Aman-aman saja karena penyelewengan dibiarkan merajalela!

4) Pernyataan di bawah ini juga digunakan oleh tokoh Kresna untuk menyindir Arjuna.
— Lhadalah! Sungguh yang kudengar darimu ialah kabar bencana. Malapetaka dan aib yang tiada taranya bagi keluarga Pandawa. Bukanlah ksatria orang yang tak tahan derita. Tak patutlah seseorang menjadi keturunan Pandu Dewanata jika ia gampang tergoyah!

k.    Sinekdoki
Sinekdoki digunakan untuk menyebutkan suatu bagian yang penting dari suatu hal untuk hal itu sendiri. Sinekdoki yang terjadi pada bagian di bawah ini adalah sinekdoki pars prototo.
Sang Prabu Kresna naik pitam! Arjuna si pejuang hanya mohon dan mohon ampunan tanpa menyatakan sepercik pun niat perbuatan. Sang Prabu berkilat-kilat matanya. Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung.

2.    Penyiasatan Struktur
a.    Paralelisme
1)    Bagian berdiri tegak, membusungkan dada, dan mengisap seluruh udara memiliki tempat yang sejajar.
Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.

2)    Bagian berhari-hari, berbelan-bulan, dan bertahun-tahun memiliki fungsi yang sama dalam kalimat di bawah ini.
Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?

3)    Bagian terkantuk-kantuk, berbaring, bersandar, dan bergumam memiliki fungsi yang sama.
Mungkin mereka adalah para penonton yang terkantuk-kantuk sepanjang malam, berbaring di rerumputan, bersandar di pepohonan, bergumam di antara mereka sendiri tapi tak berkata apa pun kepada ki dalang?

b.    Repetisi
1)    Pada bagian ini rakyat menjadi pusat pembicaraan. Pengulangan kata rakyat untuk mengatakan bahwa rakyat—sebenarnya—adalah pemilik sah dari negeri ini.
... Rakyat bukanlah tanah landasan bagi kekuasaan raja demi raja. Rakyat bukan prajurit yang ditumpahkan di Padang Kurusetra untuk beradu dan berbunuh-bunuhan. Mereka juga bukan Padang Kurusetra itu sendiri yang menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dan nafsu.

2)    Bagian ini adalah dialog tokoh Arjuna yang berisi pernyataan bernada meyakinkan tokoh Kresna.
+ Kelaparan memang bikin kapok kok, Kakang. Tapi, bukan karena itu kami ragu berjuang. Soal berjuang itu, Kakang, tetap kok, tetap kok.

3)    Bagian ini adalah dialog Kresna.
— Lhadalah! Arjuna adalah Arjuna. Di langit atau bumi, di rimba atau samudera, Arjuna adalah Arjuna. Di waktu silam atau di masa datang, di dalam atau di luar ruang, Arjuna adalah Arjuna. Di merah atau kuning, di tanah angin, Arjuna adalah Arjuna. Arjuna adalah Arjuna.

4)    Bagian ini adalah bagian dialog tokoh Arjuna.
+ Aku dilahirkan oleh zaman yang memang terbalik-balik, Kakang. Dunia yang terbalik-balik, hukum yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik, keadilan yang terbalik-balik, ketidakbenaran yang terbalik-balik menjadi kebenaran.

c.    Anafora
1)    Bagian ini merupakan bagian silat lidah tokoh Arjuna.
Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk.

2)    Bagian ini adalah penjelasan sang Kresna kepada Arjuna tentang tantangan bagi tugas suci ksatria.
— Lihatlah Arjuna! Itulah pohon kanker bumi yang harus ditumbangkan. Itulah tantangan bagi ksatria yang memiliki kesadaran. Itulah alasan dan tanggung jawab untuk berjuang. Itulah sumber tekad yang harus ditegakkan. Majulah ke Padang Kurusetra, Adiku!

d.    Enumerasi
1)    Bagian pertama pada dialog ini menyatakan bahwa bumi memiliki penyakit kanker yang berbahaya. Bagian kedua dan ketiga merupakan pencabangan dari bagian pertama tersebut.
— Lihatlah Arjuna! Itulah pohon kanker bumi yang harus ditumbangkan. Itulah tantangan bagi ksatria yang memiliki kesadaran. Itulah alasan dan tanggung jawab untuk berjuang. Itulah sumber tekad yang harus ditegakkan. Majulah ke Padang Kurusetra, Adiku!

2)    Bagian pertama pada dialog ini merupakan awalan bagi bagian lainnya.
+ Mohon ampun adalah dosa kedua sesudah kerja ditinggalkan. Arjuna! Pandanglah langit memerah, ditutupi tabir putih. Ada kerbau menabrak pagar, kambing yang dihajar. Si kambing disuruh makan rumput, untuk bisa dipersalahkan. Sekawanan sapi diadu melawan sekawanan kerbau, untuk melihat bagaimana warna darah sapi-sapi itu serta agar mukanya bisa dicorengi dengan kotoran duburnya sendiri. Beberapa ekor harimau digiring agar merajah hutan sebelah, agar supaya ada alasan untuk memusnahkan harimau-harimau itu. Pandanglah ketegangan yang tenang, pandanglah gerak yang diam. Lihatlah sekam yang mengancam!

e.    Pertanyaan retoris
1)    Dialog ini adalah milik tokoh Arjuna.
+ Aku tahu itu. Celaka bagi orang yang memusatkan jiwanya pada dunia, sebab itu hanyalah kenikmatan yang beranak derita. Ya toh? Siapa yang kuasa menahan nafsu berahi, menaklukkan amarah murka, dialah orang paling bahagia. Ya toh? Tenteram batinnya, cahaya dalam jiwanya, suci sukmanya, nirwana anugerahnya. Ya toh?

2)    Dialog ini juga masih milik tokoh Arjuna.
+ Kakang Kresna! Bukankah hidup adalah gelombang samudera, naik turun, naik kemudian turun lagi. Bukankah hidup ialah bertarung melawan naga, seperti Kakang Bima, terkadang di atas terkadang di bawah. Bukankah hidup ialah bertahan antara tidur dan jaga, antara samadi dan membuka mata raga, terkadang keluar terkadang masuk. Demikian jua aku.

3.    Pencitraan
Pencitraan yang digunakan dalam cerpen Padang Kurusetra beragam, di antaranya:
a.    Citraan penglihatan (visual imagery)
No.    Kalimat
1.    Mungkin mereka adalah para penonton yang terkantuk-kantuk sepanjang malam, berbaring di rerumputan, bersandar di pepohonan, bergumam di antara mereka sendiri tapi tak berkata apa pun kepada ki dalang.
2.    Biarlah Yudhistira jadi kamituwa, Bima jadi tukang kayu, Arjuna bercocok tanam, sementara Nakula dan Sadewa menjual cendol di pasar.
3.    Lelaki itu, yang sedang sibuk di kebunnya,
4.    kenapakah engkau diam tepekur di sini, sedangkan hujan kejahatan tumpah
5.    Pandanglah langit memerah, ditutupi tabir putih.
6.    Ada kerbau menabrak pagar, kambing yang dihajar.
7.    Arjuna terpana dan bingung beberapa saat, tapi segera sadar diri.
8.    Menemui alas yang bersih, ia kemudian duduk bersila
9.    semangat perjuanganku seperti dicegat hantu.

b.    Citraan pendengaran (auditory imagery)
No.    Kalimat
1.    Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi.
2.    Maka, selama itu Sang Prabu Kresna menghentikan tiupan Pancajanya di tangannya.
3.    Tetapi, fajar pagi itu, dalam tapasamadi-nya, Sang Prabu Kresna mendengar suara-suara dari penitisnya:
4.    ... mendengar rentetan kata-kata Kresna, segera bersembah:
5.    Kemudian terjadilah dialog, yang menyadarkan Sang Prabu Kresna akan kereta waktu, dunia, ruang dan peristiwa.
6.    rakyat basah kuyup, meskipun mereka tetap tertawa.
7.    Kami tak henti-henti bikin pernyataan-pernyataan.
8.    Tentu ada. Para punakawan, Bagong, Petruk, dan Gareng kami suruh mogok makan, tapi tak bisa bertahan lebih dari satu hari setengah malam.
9.    Sungguh yang kudengar darimu ialah kabar bencana.

c.    Citraan gerak (movement imagery)
No.    Kalimat
1.    Prabu Kresna terenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa.
2.    Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping.
3.    Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala
4.    Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki
5.    ”Aku akan menemui Arjuna beserta sekalian Pandawa,” katanya.
6.    Setyaki siap melaksanakan perintah itu
7.    Membenahi kereta dan kuda, kemudian memandang Pancajanya dan bergumam sendiri.
8.    Tidak! Kami semua melawan penyelewengan, melawan setiap penyalahgunaan kekuasaan, setiap ketidakadilan.
9.    Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung.

D.    UNSUR KOHESI DAN KOHERENSI
Sebuah cerita akan menjadi padu dan menarik jika terdapat hubungan yang mengaitkan antar bagian yang membangun jalannya cerita. Hubungan antarkata, kalimat, klausa, dan paragraf akan menjadi padu jika menggunakan penanda yang tepat dan benar. Kepaduan antarkata, kalimat, klausa, dan paragraf ini disebut dengan kohesi. Ada beberapa penanda dalam kohesi, di antaranya dengan menggunakan kata hubung antarkalimat atau antarparagraf, hubungan rujuk silang yang masih mengacu pada satu makna.
Untuk mengungkapkan sebuah gagasan yang utuh, tiap bagian kalimat, tiap kalimat, atau tiap alinea, yang dimaksudkan untuk mendukung gagasan itu haruslah dihubungkan satu dengan lainnya, baik secara eksplisit, implisit maupun keduanya (Nurgiyantoro, 2005: 306). Penggunaan penghubung dalam sebuah cerita akan menjadikan cerita tersebut utuh dan saling mengait antara cerita yang satu dengan cerita yang lainnya.
Bentuk-bentuk kohesi antara lain kata hubung, rujuk silang, bentuk penyingkatan, pengurangan atau penggantian. Kohesi yang ditemukan dalam cerpen Padang Kurusetra karya Emha Ainun Nadjib di antaranyaadalah sebagai berikut.
1.    Kata hubung
Pengarang menggunkan kata hubung untuk penanda kohesinya tampak pada kalimat:
a. Dua klausa di bawah ini dihubungkan dengan kata hubung karena untuk menyatakan hubungan kausalitasnya.
Prabu Kresna terenyak dari kursi selonjornya, pagi itu, karena kaget yang luar biasa.

b. Dua hal di bawah ini dihubungkan dengan kata hubung dan untuk menyatakan hubungan kesejajarannya.
Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping.

c. Dua hal di bawah ini dihubungkan dengan kata hubung beserta untuk menyatakan kesejajaran.
”Aku akan menemui Arjuna beserta sekalian Pandawa,” katanya.

d. Dua kalimat ini dihubungkan oleh kata hubung tapi untuk mengungkapkan hubungan pertentangannya.
Hampir saja ia ber-tiwikrama dan menggenggam bulatan bumi ini untuk dibantingnya hingga pecah berkeping-keping. Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, ...

e. Dua klausa di bawah ini dihubungkan oleh penanda sehingga dan hingga untuk menjelaskan bahwa klausa kedua merupakan akibat dar klausa pertama.
Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.

f. Dua bagian ini memiliki hubungan tujuan.
Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki, memerintahkan agar ia menyiapkan kereta perang serta terompet Pancajanya.

g. Klausa pertama dijelaskan oleh hal yang menyertainya dengan cara pembandingkan. Cara membandingkan biasa menggunakan kata bagai.
Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah.

h. Penggunaan kata hubung bahwa dimaksudkan untuk menjelaskan objek yang dimaksud oleh pernyataan awal.
Ia yakin sudah bahwa Bharata Yudha memang tak akan pernah terjadi.

i. Dua paragraf di bawah dihubungkan oleh penanda maka, yang biasa dipakai dalam menghubungkan dua buah klausa. Penggunaan penanda maka dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pernyataan akhir merupakan kompensasi dari adanya pernyataan awal.
... Mereka tidak mewakili rakyat. Mereka hanya mewakili kebenaran: kebenaran masalah mereka sendiri. Kini kebenaran itu tak ada. Tanah ini hanyalah warisan Sang Hyang Wenang kepada rakyat.
Maka, selama itu Sang Prabu Kresna menghentikan tiupan Pancajanya di tangannya. ...

2.    Rujuk silang
a.    Rujuk silang pada bagian ini menggunakan kata ganti ia untuk merujuk pada tokoh Sang Kresna.
Tapi, ia segera ingat perannya. Ia berdiri tegak, membusungkan dada, mengisap seluruh udara, sehingga lenganglah bumi untuk beberapa saat—waktu terhenti—tetapi kemudian segera ia embuskan kembali, hingga kehidupan berjalan seperti sediakala.
b.    Rujuk silang pada bagian ini menggunakan kata ganti ia untuk merujuk pada tokoh Harya Setyaki.
Titisan Wisnu ini memanggil Harya Setyaki, memerintahkan agar ia menyiapkan kereta perang serta terompet Pancajanya.

c.    Rujuk silang pada bagian ini menggunakan kata ganti kau (klitika) dan -mu untuk merujuk pada benda terompet Pancajanya milik Kresna.
”Terompet yang malang! Beberapa lama kautergeletak bagai onggokan sampah. Dulu Sang Prabu meniupmu berhari-hari terus-menerus, berbulan-bulan, bertahun-tahun, di Padang Kurusetra yang sunyi, habis diisap langit sepi?”

3.    Pengurangan
a.    Pada bagian ini kata Arjuna yang menjadi fokus pembicaraan dalam bagian ini dihilangkan. Hal ini tampak pada kalimat:
Sang Prabu berkilat-kilat matanya. Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung. Terjerembab di kelam hutan. Arjuna terpana dan bingung beberapa saat, tapi segera sadar diri.

b.    Pada bagian ini kata Sang Prabu yang menjadi tokoh utama dalam adegan ini beberapa kali dihilangkan.
Sang Prabu berkilat-kilat matanya. Bergerak maju, meraih sehelai rambut Arjuna, menghentakkannya sehingga tubuh Arjuna terlempar ke balik gunung. Terjerembab di kelam hutan.

c.    Pada bagian ini kata siap hanya dipakai pada bagian awal, sedangkan pada bagian berikutnya kata ini telah melebur dan tidak digunakan, namun sebenarnya pemaknaan terhadap kata ini tetap berlangsung.
+ Kakang Kresna! Di tanganku tergenggam terompet Dewanata. Kakang Bima siap dengan Paundra. Kakang Yudhistira dengan Anantawijaya. Adi Nakula dengan Sugosa dan Adi Sadewa dengan Manipuspaka.

d.    Kata ganti aku tidak dipakai dalam klausa kedua karena makna kata ini telah melesap.
+ Kakang. Aku rela dibunuh mereka daripada harus hidup dengan kenangan tentang darah muncrat di leher mereka. Biarlah aku menjadi tumbal kehidupan yang dikuasai api angkara murka.


BAB IV
KESIMPULAN

Karya-karya Emha Ainun Nadjib—puisi, esai, maupun naskah drama—hampir semuanya memiliki tendensi terhadap kebudayaan, kehidupan sosial, dan relijius. Entah berupa kritik sosial, penguatan dalam berkeyakinan, atau makna kontemplasi. Demikian pula dalam cerpennya ini. Kebudayaan Jawa diangkat dengan media tokoh wayang, kritikan-kritikan pedas namun mengalir juga memenuhi sebagian besar cerpen, dan tentu saja muatan moral juga kental terasa. Maka, tidak akan rugi rasanya, jika kita menyisihkan sebagian waktu kita untuk membaca cerpen ini atau mengkajinya lebih mendalam—entah dalam gaya pengarang, maupun pemaknaannya yang dalam.
1.    Unsur Leksikal
a.    Cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra merupakan cerpen yang menggunakan kata-kata yang sederhana sekaligus kompleks,
b.    Kata-kata yang digunakan menggunakan kebanyakan adalah bahasa non-formal atau kolokial,
c.    Penggunaan ungkapan dan juga kata-kata yang diambil dari istilah asing sengaja dipakai untuk menimbulkan nilai rasa yang berbeda,
d.    Cerpen ini terdiri atas kurang lebih 4402 kata, 363 frase, 321 klausa, 324 kalimat, dan 84 paragraf/bagian (perincian terdapat dalam lampiran),
Jenis kata    Jumlah
Kata benda dan kata ganti (nomina dan pronomina)    2165 = 49,20%
Kata kerja (verba)    1279 = 29,05%
Kata sifat (adjektiv)    502 = 11,40 %
Kata bilangan (numeralia)    114 = 2,59%
Kata tugas (partikel)    233 = 5,29 %
Adverbia     109 = 2,47%

2.    Unsur Gramatikal
a.    Struktur kalimat yang digunakan oleh pengarang cenderung kompleks,
b.    Jenis kalimat yang banyak digunakan oleh pengarang adalah kalimat deklaratif (kalimat yang menyatakan sesuatu),
Jenis Kalimat    Jumlah    Jumlah (%)
Kalimat deklaratif    173    73,93
Kalimat interogatif    19    8,12
Kalimat imperatif    42    17,93
Kalimat aktif    89    62,68
Kalimat pasif    53    37,32
Kalimat langsung    166    98,81
Kalimat tak langsung    2    1,19

c.    Cerpen yang berjudul Padang Kurusetra ini memiliki 321 klausa, yang kebanyakan tergolong klausa predikatif (untuk perincian jumlah klausa, lihat tabel 2 pada lampiran halaman ix-xiv),
d.    Frase yang ada berjumlah 363 buah (untuk perician jenis frase, lihat tabel 3 pada lampiran halaman xv-xxi).
3.    Unsur Retorika
a.    Pemajasan yang digunakan dalam cerpen Padang Kurusetra di antaranya: hiperbola, metafora, metonimia, paradoks, sinekdok, simile, personifikasi, allegori, ironi, tautologi, dan pleonasme,
b.    Penyiasatan struktur yang sering dipakai dalam cerpen ini adalah paralelisme, anafora, enumerasi, repetisi, dan pertanyaan retoris,
c.    Pencitraan yang muncul, di antaranya adalah pencitraan penglihatan (visual imagery), pencitraan pendengaran (auditory imagery), dan pencitraan gerak (movement imagery).
4.    Unsur Kohesi dan Koherensi
a.    Unsur kohesi dan koherensi yang muncul diungkapkan dengan penggunaan penanda hubung, rujuk silang, dan penghilangan beberapa bagian.


Sinopsis Cerpen Padang Kurusetra karya Emha Ainun Nadib
Saat itu, Sang Prabu Kresna tengah bersantai di kursi selonjornya. Namun, ia segera ingat bahwa suatu saat nanti akan terjadi perang besar, Bharata Yuda. Maka, ia segera bangkit dan memerintahkan kepada Harya Setyaki untuk menyiapkan kereta dan terompet Pancajanya, ia ingin menemui Arjuna.
Arjuna adalah anak ketiga dari keturunan Pandu Dewanata. Ialah yang paling dekat dengan Sang Prabu. Dalam suratan takdir, pada perang akbar itu, Sang Kresna akan membantunya sebagai sais kereta. Namun, tiba-tiba Sang Prabu mendengar suara Penitisnya, Wisnu, yang mengatakan bahwa Bharata Yuda batal terjadi. Perang antara kebaikan dan kejahatan itu tidak akan terjadi karena para Pandawa telah kehilangan jiwa ksatrianya. Sang Prabu tidak mau memercayai hal itu. Ia tetap akan berangkat menemui Arjuna.
Setibanya di tempat Arjuna, seperti biasa, ia disambut hangat oleh kelima adiknya itu. Namun, keadaan para Pandawa telah jauh berubah. Cahaya ksatria yang dulu memancar dari wajah mereka, kini telah tiada. Pandawa tampak seperti manusia biasa.
Kemudian, terjadilah dialog yang panjang antara Sang Prabu Kresna dan Arjuna. Sang Prabu mengingatkan Arjuna mengenai perang Bharata Yuda yang telah dekat waktunya. Arjuna, juga segenap Pandawa, memang tidak melupakan suratan takdir itu. Namun, mereka telah memutuskan untuk melawan kehendak takdir itu. Mereka merasa, persaudaraan dan "perdamaian” yang ada sekarang lebih daripada perang. Para Pandawa menolak maju ke padang Kurusetra.
Karena tampikan itu, sang Prabu marah bukan kepalang. Apalagi antara kedua belah pihak telah memiliki persepsi yang berbeda atas Bharata Yuda yang akan dilaksanakan di Padang Kurusetra. Para Pandawa, dengan juru bicara Arjuna, tetap mempertahankan idealisme baru mereka untuk mempertahankan ”perdamaian” yang telah ada dengan alasan bahwa mereka tidak akan sanggup melihat darah muncrat dari kubu pandawa maupun Kurawa karena hakikatnya keduanya bersaudara. Apalagi jika harus mengorbankan rakyat yang tidak berdosa, mereka tidak rela.
Namun, Sang Prabu masih dapat memahami pemikiran itu, dan dengan sabar, ia masih bersedia menjelaskan hakikat Bharata Yuda tersebut. Bahwa sesungguhnya yang ditumpas bukanlah saudara-saudara yang dicintai melainkan kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan di atas muka bumi ini. Para Pandawa tetap teguh pada pendiriannya. Mereka lebih memilih kehidupan yang berlangsung sekarang.
Maka, marahlah Sang Prabu Kresna. Dilemparkannya para Pandawa ke hutan yang kelam. Di hutan tersebut mereka diperintahkan untuk introspeksi pada atas pendirian mereka. Di hutan itu pula, Arjuna dan saudara-saudaranya dapat kembali mendengarkan suara hati mereka untuk mengembalikan jiwa ksatria mereka yang telah menguap. Namun, suara hati mereka tidak cukup kuat. Para Pandawa kalah melawan nafsunya.
Maka, datanglah kembali mereka menghadap Prabu Kresna. Mereka mengatakan bahwa mereka telah mendengar suara hati mereka kembali. Namun, mereka tak sanggup kembali ke kehidupan ksatrianya. Hal ini diakui oleh Arjuna dan Saudara-saudaranya karena pihak Kurawa, dalam kepemimpinan Suyudana telah menjejali perut mereka dengan makanan-makanan lezat dan memberikan harta benda yang berlimpah. Untuk itulah mereka menolak untuk melawan Kurawa yang telah ”berbaik hati” kepada mereka.
Setelah mendengar pengakuan Pandawa, hancur hati Sang Kresna dan marahlah dia. Kemudian, para Pandawa yang tadi dicengkeramnya terjatuh hingga jasadnya menggelinding. Dilemparkannya Pancajanya ke angkasa sehingga langit sobek.


DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Nadjib, Emha Ainun. 2006. BH (Kumpulan Cerpen). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pendit, Nyoman S. 2004. Mahabharata. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ramlan. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia—Sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono.

Sukandar, Sedopati. 2007. ”Membaca Sajak-Sajak Emha: Membaca Perjalanan Sujud” dalam Sabili No. 22, Th. XIV 17 Mei 2007/29 Rabiulakhir 1428 H, halaman 16-18.

Sumardjo, Jakob. 1980. Seluk-Beluk Cerita Pendek. Bandung: Mitra Kencana.

_____. 2004. Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teew, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra (Diindonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Tim Redaksi. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Diindonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT. Gramedia.

 Kumpulan Cerpen Emha Ainun Nadjib "BH"

KAJIAN STILISTIKA CERPEN EMHA AINUN NADJIB, PADANG KURUSETRA (Bag. 1)



 Kumpulan Cerpen Emha Ainun Nadjib, "BH"

BAB I
PENDAHULUAN

Suatu ide yang baik, yang terangkum dalam sebuah karya sastra, selayaknya diungkapkan dengan keterampilan menggunakan bahasa yang baik dan tepat pula karena sampai atau tidaknya gagasan atau ide tersebut kepada pihak lain (baca: pembaca/ pendengar) sering sekali tergantung pada bagaimana cara seorang sumber (baca: penulis/pembicara) menyampaikannya. Ada beberapa stile atau gaya dalam mengungkapkan sebuah ide. Penggunaan bahasa, pilihan kata yang estetis sekaligus bermakna sesuai prinsip dulce et utile, serta keutuhan cerita akan membuat nilai sebuah karya sastra lebih bermakna, mudah diterima, dan menarik.

Stile atau gaya dalam bercerita melingkupi beberapa aspek bahasa, antara lain unsur fonologi, leksikal, gramatikal, kohesi dan koherensi, serta retorika. Tetapi, karya sastra sebagai produk tulis yang bersifat kreatif, imajinatif, full meaning, dan estetis, tidak akan dapat lepas dari konteks dan peristiwa yang terjadi di ranah sosial dan realita kehidupan.

Dalam makalah ini akan dikaji unsur-unsur stile yang membangun sebuah cerpen Emha Ainun Nadjib yang berjudul Padang Kurusetra yang diambil dari kumpulan cerpennya, BH. Penulis memilih cerpen ini karena gaya bercerita Cak Nun (panggilan Emha Ainun Nadjib) yang sangat khas. Terlebih, banyak hal menarik yang ditemukan dalam cerpen ini. Beberapa hal tersebut misalnya bahasa yang apa adanya sekaligus sarat akan metafora dan pemaknaan yang luas. 

Karya-karya Cak Nun—puisi, esai, maupun naskah drama—hampir semuanya memiliki tendensi terhadap kebudayaan, kehidupan sosial, dan relijius. Entah berupa kritik sosial, penguatan dalam berkeyakinan, atau makna kontemplasi. Demikian pula dalam cerpennya ini. Kebudayaan Jawa diangkat dengan media tokoh wayang, kritikan-kritikan pedas namun mengalir juga memenuhi sebagian besar cerpen, dan tentu saja muatan moral juga kental terasa. Maka, tidak akan rugi rasanya, jika kita menyisihkan sebagian waktu kita untuk membaca cerpen ini atau mengkajinya lebih mendalam—entah dalam gaya pengarang, maupun pemaknaannya yang dalam.


BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Stilistika dan Unsur-Unsurnya
Stilistika (stylistics) merujuk pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap wujud kajian kebahasaan (Leech & Short via Nurgiyantoro, 2005: 279). Analisis stilistika dalam dunia sastra biasanya dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya, menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang dipergunakan itu memperlihatkan penyimpangan, serta bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus (Chapman via Nurgiyantoro, 2005: 279). 

Kata stile diturunkan dari kata latin, stilus, ’semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin’. Keahlian dalam menggunakan alat ini akan memengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Penekanannya dititikberatkan pada keahlian untuk menulis atau memengaruhi kata-kata secara indah. Pada perkembangan selanjutnya, stile tidak hanya terfokus pada penggunaan kata-kata secara indah, namun sudah meluas pada pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam sebuah karya sastra akan menunjukkan ciri tersendiri bagi pengarangnya. 

Stile (style, gaya bahasa) juga dapat dimaknai sebagai cara pengucapan bahasa atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Makna stile, menurut Leech & Short, adalah suatu hal yang pada umumnya tidak mengandung sifat kontroversial.

Menurut Keraf (1991: 113-115), syarat-syarat stile yang baik adalah sebagai berikut.
a.    Kejujuran. Dalam hal ini kita harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang benar.
b.    Sopan santun. Memberi pengarahan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca.
c.    Menarik. Beberapa gaya yang menarik dapat diukur dengan komponen-komponen variasi, humor yang sehat, dan pengertian yang baik.

Abrams mengemukakan bahwa unsur stile terdiri atas unsur fonologi, sintaksis, leksikal, retorika (berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dsb.). Sedangkan, Leech & Short mengemukakan bahwa unsur stile adalah unsur leksikal, gramatikal, figures of speech, serta konteks dan kohesi.

Pembicaraan unsur stile berikut dilakukan dengan menggabungkan antara pembagian unsur menurut Abrams dan Leech & Short tersebut, namun unsur fonologi (dari Abrams) sengaja tidak dibicarakan karena unsur itu kurang berpengaruh dalam stilistika cerpen.

a.    Leksikal
Unsur leksikal yang membangun sebuah puisi mengacu pada penggunaan diksi atau pilihan kata oleh pengarang. Bagaimana pengarang menggunakan kata-kata yang dapat mewakili jalannya suatu cerita. Hal ini sama dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 289), unsur leksikal sama pengertiannya dengan diksi, yaitu mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja pilih oleh pengarang. 

Pada dasarnya ”kata” merupakan suatu lambang, artinya kata itu menempati sesuatu yang diwakilinya, tetapi kata itu sendiri tidak identik dengan benda atau sesuatu yang diwakilinya. Kata, sebagai lambang, pada dasarnya tidak memunyai arti pada sebuah kata itu baru pada angan-angan dan sikap pemakai kata itu. Pengertian atau batasan kata, menurut tata bahasa tradisional, ditentukan berdasarkan semantiknya. Kata adalah kumpulan huruf yang mengandung arti. Dalam cerpen ada berbagai cara yang digunakan oleh pengarang untuk memberikan efek yang diinginkan terhadap puisi tersebut. Salah satunya adalah pilihan kata atau diksi.

Pemilihan kata-kata oleh pengarang dengan pertimbangan untuk memperoleh efek estetis yang sesuai dengan bentuk dan makna yang diinginkan dalam jalannya sebuah cerita. Pemilihan diksi juga harus memperhatikan ketepatan kata agar maksud yang diterima oleh pembaca sama dengan apa yang dimaksudkan oleh penulisnya. Pilihan kata dapat berupa penggunaan kata benda, kata sifat, kata kerja, sederhana, kompleks, kolokial, kata populer, dan kata ilmiah.

1)    Kosa kata. Dalam memilih kata-kata diperlukan kehalusan perasaan. W. S Rendra menganjurkan kepada sastrawan agar melihat makna kata di kamus agar dapat menggunakan arti kata dengan setepat-tepatnnya. Dengan demikian, bahasa sastrawan tidak berbeda dengan bahasa yang digunakan masyarakat. Penggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat memberi efek gaya yang realistis, sedang penggunaan bahasa nan indah memberi efek romantis.
2)    Pemilihan kata (diksi) dilakukan supaya penyair dapat mengekspresikan pengalaman jiwanya dengan tepat. Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens, sehingga memilih kata-kata yang tepat yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Penyair mempertimbangkan perbedaan arti dengan sangat cermat. Apabila kata yang dipilih menimbulkan imajinasi estetik maka disebut diksi puitis.
3)    Denotasi dan konotasi digunakan untuk menimbulkan gambaran yang jelas dan padat. Sebuah kata memunyai dua aspek arti, yaitu denotasi artinya menunjuk; dan konotasi yaitu arti tambahannya. Puisi harus mengandung keduanya Dalam membaca, pembaca puisi harus mengetahui arti denotatifnya dan konotifnya yang timbul dari arti denotatifnya.              

b.    Gramatikal
Unsur gramatikal adalah unsur yang mengacu pada struktur kalimat. Menurut Nurgiyantoro (2005: 292) unsur gramatikal merujuk pada pengertian struktur kalimat. Pengarang bebas menggunakan kalimat, termasuk ketika menggunakan penyimpangan struktur kalimatnya. Penyimpangan memunyai berbagai macam wujud, di antaranya pengulangan, pembalikan, dan penghilangan unsur tertentu. 

Dalam menganalisis unsur gramatikalnya dapat juga diambil beberapa pertanyaan:
1)    kompleksitas kalimat: sederhana atau kompleks struktur kalimat yang digunakan, berapa rata-rata jumlah kata per kalimat, bagaimanakah variasi penampilan struktur kalimatnya, sederhana atau kompleks?
2)    jenis kalimat: jenis kalimat apa sajakah yang dipergunakan, jenis kalimat manakah yang paling menonjol? Apakah fungsinya?
3)    jenis klausa dan frasa; klausa dan frasa apakah yang menonjol? Sederhana atau kompleks?

c.    Retorika
Menurut Nurgiyantoro dalam bukunya (2005: 296), retorika adalah suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Atau, seperti yang ditulis oleh Pradopo dalam bukunya, terdapat sekumpulan bentuk yang biasa dipergunakan yang disebut sarana retorika. Sarana retorika merupakan muslihat pikiran yang bertujuan untuk menarik perhatian, pikiran pembaca, hingga pembaca berkontemplatasi atas apa yang disampaikan pengarang. Pada umumnya sarana retorika menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan maksud pengarang.

Selain itu, kehadiran karya sastra juga dapat menunjukkan ciri karya seorang pengarang. Melalui sarana retorik yang terpancar dalam karyanya, pembaca akan dapat menerka bagaimana jiwa dan kepribadian pengarang (Keraf, 1991: 13). Apabila gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang baik, maka pengarang tersebut dianggap memiliki jiwa dan kepribadian yang baik pula.

Dalam teorinya, sarana retorika terdiri dari berbagai macam unsur.
1)    Pemajasan (figure of thought)
Pemajasan adalah teknik pengungkapan bahasa yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata pendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan. Sedangkan, Pradopo (1987: 61-62) mengidentikkan pemajasan dengan bahasa kiasan. Bahasa kiasan mempersamakan sesuatu dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, menarik, dan hidup.
Bentuk-bentuk pemajasan yang sering digunakan pengarang adalah:
a)    Simile (perbandingan)
Simile yaitu bahasa kias yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, seperti, laksana, bak, dan seumpama.
b)    Metafora
Metafora adalah bahasa kias yang tidak menggunakan pembanding. Metafora menyamakan sesuatu dengan hal lain. padahal sesungguhnya tidak sama. Metafora terdiri atas dua term, yaitu term pokok/tenor dan term kedua/vehicle. Term pokok menyebutkan hal yang dibandingkan, sedangkan term vehicle merupakan hal untuk membandingkan. Selain itu, juga terdapat term implisit (menyebut term vehicle tanpa menyebut term pokok) dan metafora mati (metafora yang sudah klise hingga orang sudah lupa bahwa itu metafora).
c)    Personifikasi
Personifikasi menyamakan benda dengan manusia. Benda-benda itu dibuat berpikir dan dapat berbuat seperti manusia.  Personifikasi memberikan bayangan angan yang konkret.
d)    Metonimi
Metonimia jarang dijumpai pemakaiannya. Metonimia dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama.
e)    Hiperbola
Hiperbola yaitu melebih-lebihkan suatu hal.
f)    Sinekdoki
Sinekdoki merupakan bahasa kias yang menyebutkan suatu bagian yang penting dari suatu hal untuk hal itu sendiri. Sinekdok ada dua, yaitu:
  • pars pro toto, sebagian untuk seluruh,
  • totem pro parte, keseluruhan untuk sebagian
g)    Allegori
Allegori ialah cerita kias yang mengiaskan kejadian lain atau hal lain. Allegori banyak terdapat dalam puisi-puisi pujangga baru.
h)    Ironi
Ironi merupakn gaya bahasa yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran.
i)    Paradoks
Paradoks yaitu sarana retorika yang menyatakan suatu hal secara berlawanan tetapi sebenarnya tidak benar-benar dipikir dan dirasakan.
j)    Tautologi
Tautologi adalah sarana retorika yang menyatakan hal dua kali supaya hal yang dimaksud lebih mendalam bagi pembaca. Sering pula kata yang digunakan untuk mengulang berbeda tetapi pada dasarnya bermakna sama.
k)    Pleonasme
Pleonasme adalah sarana retorika yang sepintas lalu seperti taotologi, tetapi kata yang kedua telah tersimpul pada kata pertama.
l)    Retorik retisense
Sarana ini menggunakan titik banyak untuk menggantikan perasaan yang tak terungkapkan.
2)    Penyiasatan struktur
a)    Paralelisme
Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Keraf, 1981:126). Kesejajaran dalam hal ini dapat berupa anak-anak kalimat yang bergantung pada induk kalimat yang sama.
b)    Repetisi
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 1991:127).
c)    Anafora
Anafora merupakan pengulangan kata-kata pada awal beberapa kalimat yang berurutan.
d)    Enumerasi
Enumerasi merupakan pemecahan suatu hal menjadi beberapa hal dengan tujuan agar hal itu lebih jelas bagi pembaca atau pendengar.
e)    Pertanyaan retoris
Pertanyaan retoris merupakan gaya yang menekankan pengungkapan dengan menampilkan semacam pertanyaan yang sebenarnya tak menghendaki jawaban.
3)    Pencitraan
a)    Citraan penglihatan (visual imagery) memberi rangsangan kepada indera penglihatan sehingga sering hal-hal yang tak terlihat seolah-olah terlihat,
b)    Citraan pendengaran (auditory imagery) dihasilkan dengan menyebutkan bunyi suara,
c)    Citraan rabaan dihasilkan dengan menyebutkan hal-hal yang merangsang imajinasi indera perabaan,
d)    Citraan penciuman dihasilkan dengan menyebutkan hal-hal yang merangsang daya khayal indera penciuman,
e)    Citraan pengecapan dihasilkan dengan menyebutkan hal-hal yang merangsang intuisi indera pengecapan, dan
f)    Citraan gerak (movement imagery) menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya.

d.    Kohesi dan Koherensi
Antara bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain, atau kalimat yang satu dengan yang lain, terdapat hubungan yang bersifat mengaitkan antarbagian kalimat atau antarkalimat itu. Bagian-ngian dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam sebuah alinea, yang masing-masing mengandung gagasan, tidak mungkin disusun secara acak. Antarunsur tersebut secara alami dihubungkan oleh makna semantik. Hubungan semantik merupakan bentuk hubungan yang esensial dalam kohesi yang mengaitkan makna-makna dalam sebuah teks. Hubungan tersebut mungkin bersifat eksplisit yang ditandai oleh adanya kata penghubung atau hanya berupa hubungan kelogisan yang disimpulkan oleh pembaca (infered connection), hubungan implisit. Hubungan yang demikian disebut kohesi/keutuhan (cohesion).

Penanda kohesi yang berupa sambungan dalam bahasa Indonesia ada banyak dan berbeda fungsinya. Ia dapat berupa kata-kata tugas, seperti: dan, kemudian, sedangkan, tetapi, namun, melainkan, bahwa, sebab, jika, dan maka. Penanda kohesi yang menghubungkan antarkalimat biasanya berupa kata atau kelompok kata, seperti: jadi, dengan demikian, akan tetapi, oleh karena itu, dan di samping itu.

Sambungan merupakan alat kohesi yang berupa kata-kata sambung. Sedangkan, rujuk silang berupa sarana bahasa yang menunjukkan kesamaan makna dengan bagian yang direferensi, atau dapat dimakna sebagai penyebutan kembali sesuatau yang telah dikemuakakan sebelumnya. Bentuk pengulangan yang paling nyata/formal adalah pengulanagan kata atau kelompok kata yang sama. 

Dalam kohesi, dikenal juga adanya prinsip pengurangan (reduction), yaitu yang memungkinkan kita untuk menyingkat apa yang akan disebut kembali atau menghindari pengulangan bentuk yang sama. Penyingkatan dan penggantian itu dapat terjadi pada penggunaan bentuk persona. Bentuk-bentuk penyingkatan tersebut dilihat dari sedut pandang lain dapat disebut sebagai deiksis. 

Penggunaan rujuk silang sebagai sarana memperoleh efek estetis dalam karya sastra dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:
1)    pengulangan ekspresif (expressive repetition) dengan wujud pengulangan formal yang merupakan bentuk penekanan makna dan emotif, ekspresif, dan memperkuat sifat paralelisme kalimat. Gaya anafora dan repetisi dapat menjadi contohnya.
2)    variasi anggun, variasi elegan (elegant variation) mendasarkan diri pada prinsip pengulanagn, namun dengan mempergunakan bentuk pengungkapan lain. Ia dapat berupa penggunaan sinonim, khususnya sinonim berdasarkan kelayakan konteks dan sinonim bentuk ekspresif.

Gaban

Saat ada yang berbicara, "Waow, ...-nya segede gaban!" (titik-titik diisi sendiri apa ajalah, biasanya sih kata benda), ogut bertanya-tanya apa sih itu "gaban"? Segede apa dia sampai-sampai dia dibanding-bandingkan sama benda yang gede atau gede banget. Setelah browsing dan tanya sana-sini cukup lama, nemu juga nih apa itu "gaban". Ogut bagi ye buat para ente biar ente-ente pada tahu juga apa itu "gaban".

Ini diaaahhh:
Sebenarnya, apa itu Gaban?

Sebenarnya apa sih itu Gaban ? Siapa sih dia? Dan emang Gaban itu gede ya?

Bagi kalian yang pernah hidup di jaman 80an, sekitar tahun 1985an keatas, punya video betamax, kalian pasti familiar dengan yang namanya Gaban, aliasSpace Sheriff Gavan.

Pahlawan masa kecil, yang kalo lagi jadi orang biasa selalu memakai celana putih, jaket kulit warna coklat muda dan mengendarai mobil Suzuki Jimny merah convertible. Lalu ketika dia sudah menjadi Gaban, dia memakai pedang lampu neon nyala warna biru dan punya kendaraan kayak motor tanpa kendali warna merah serta pesawat naga yang gede banget. Inget kan ?

Dulu kita pasti nunggu banget serial Gaban keluar yang baru di betamax. Entah dateng ke tempat rental video ato nunggu tukang rentalnya datang ke rumah pake tas gede banget isinya video betamax semua ada yang warna ijo, merah, biru dsbnya.  Dan kami sungguh yakin bahwa tidak sedikit dari kamu yang sempet mati-matian ngafalin gerakan-gerakan Gaban. Mulai dari ketika berubah, ketika ngeluarin pedang sampai seterusnya.

Nah, pada kesempatan ini kami akan membahas tentang Gaban dan segala hal yang berhubungan dengannya.

1. Berubah
Berubah dari orang biasa menjadi Gaban biasanya terjadi ketika jumlah musuh sudah agak banyak dan waktunya sudah mepet. Lalu dia berdiri diatas tebing atau gedung, teriak “Jouchaku” lalu melakukan gerakan dengan koreografi tertentu, tangan keatas seperti minta bantuan dari langit. Ketika sudah berubah menjadi Gaban, dia langsung pose dengan berbagai angle kamera, dari kiri, kanan dan depan. Pada saat ini kamera langsung zoom in dengan cepat sampai beberapa kali (gaya sinetron gitu deh kalo misalnya si anu ternyata anak tirinya ibunya blablabla, langsung *jeng jeng…zoom in – zoom out berkali-kali ke bagian wajah dengan ekspresi kaget, dahi berkerut, mata melotot dan mulut mencibir).

Ternyata perubahan Gaban ini cuma 0.05 detik saja! Saking cepetnya sampai ada adegan slow motion dengan menggunakan tailshadow segala agar lebih dramatis. Lalu langit gelap penuh dengan awan petir terbuka, keluar pesawat Gaban yang namanya Dolgiran, mengirim sejenis butiran-butiran granium dari langit ke bawah sehingga orang itu berubah menjadi Gaban dengan baju besinya yang kinclong mengkilap dan penuh dengan lampu kelap-kelip siap bertempur melawan musuh. Nah, keseluruhan ini disebut Jouchaku Process.

2. Kendaraan Gaban
Gaban pastinya memiliki kendaraan. Nama dia aja Space Sheriff, alias 'polisi angkasa', minimal pasti punya motorlah yang bisa bola- balik bumi-luar angkasa. Beberapa kendaraan yang Gaban punya antara lain :
a. Suzuki Jimny Convertibel warna merah
Mobil yang dipake buat pacaran ama Mimi dan jalan-jalan ketika jadi orang biasa.
b. Dolgiran
Kapal ruang angkasa Gaban yang bawahnya bisa berubah jadi Naga (Dol). Ketika berubah, si Dolgiran ini juga yang keluar dari awan. Terus Dolgiran juga tempat basecamp-nya Mimi dkk. yang bisa ngebantu Gaban untuk memerangi kejahatan di bumi. Intinya ini adalah milik Gaban yang paling canggihlah.
c. Cyberian
Sejenis motor pipih warna merah, dimana kalo mau jalan, Gaban gak perlu nyetir, dia cuma berdiri pose kayak model kapal terbang aja, terus motor ini jalan otomatis. Mantap!!
d. Gyabion
Tank privat Gaban yang ada 2 mata bornya gede banget bisa buat ngebor nembus gunung.
e. Dol
Ini yang lebih pol, kalau udah kepepet, Gaban tinggal teriak, maka bagian bawah Dolgiran ngebentuk sebuah robot naga yang siap ngebantu Gaban bagaimanapun.

Jurusnya antara lain Dol Kick, Dol Laser dan Tail Attack yang digunakan untuk ngancurin kapal-kapal musuh. Sekali nyepak pake ekornya beberapa kapal Makuu pasti hancur.

3. Senjata Gaban
Gaban punya berbagai jenis macam senjata:
a. Pedang besi yang biasa dipake untuk melawan musuh.

b. Laser Blade
Ini tadinya pedang besi yang biasa itu, tapi kalau berantemnya sudah hampir selesai, pedang besi ini bisa diubah jadi laser blade. Biasanya, ketika episode sudah mau berakhir, Gaban akan mengeluarkan jurus Gyaban Dynamic, yaitu jurus membelah musuh dengan menggunakan Laser Blade.

c. Laser Z Beam
Laser-laser kecil bentuk segitiga yang bisa ditembakkan oleh Gaban untuk ngelawan musuh-musuhnya.

4. Musuh Gaban
Musuh Gaban adalah sindikat kejahatan Makuu yang ingin menguasai dunia dengan jahat. Yaa standar motivasi musuh dalam cerita anak-anaklah. Biasanya musuh-musuh Gaban berwujud monster dari berbagai macam jenis, bentuk, dan keanehan. Campuran binatang dengan apalah gak jelas.

5. Plot / Jalan cerita
Hampir setiap episode Gaban plotnya pasti sama, yaitu :
- Pertama adalah perkanalan musuhnya yang berupa monster apa gitu
- Gaban orang mulai melawan, lalu orangnya berubah menjadi Gaban ketika musuhnya kuat.

Sumber: http://blog.politekniktelkom.ac.id/30210133/2012/05/23/youtube-sebenarnya-apa-itu-gaban/

Ini dia si Gaban yang sering dibanding-bandingin sama sesuatu yang gede
Demikian pembahasan tentang Gaban. Semoga bermanfaat dan kita ketemu lagi. Yuhhuuu......

Senin, 18 Februari 2013

"Semakin di Depan"

Ini bukan sebuah promosi. Aku cuma ingin berbagi saja.
Akhir-akhir ini aku suka lagi pada sebuah jingle iklan motor yang dulu sempat membetot perhatian saat dinyanyikan oleh Dewa 19 yang kala itu bervokalis Once. Jingle ini juga pernah dinyanyikan oleh Tipe-X dan Fahmi Arsyad. Kini ia muncul lagi diusung oleh Noah Band. Liriknya yang padat dan singkat bikin penasaran. Judul lagu jingle ini adalah "Semakin di Depan". Bagi kalian yang juga suka, silakan simak yang ini.

#Lirik Lagu

Semakin di Depan

Bila kita terus rapatkan barisan
Dan tetap terus bergandengan tangan...
Tentu kita Semakin di Depan

Langkah-langkah...
Yang telah tertempuh
Melesatkan kita ke tujuan

Waktu-waktu...
Terus buktikan
Cuma kita yang semakin di depan!

Mau lihat videonya. Nih: Noah Version (Yamaha)


Mau dengar MP3-nya versi Noah, Dewa 19, Tipe-X, atau Fahmi Arsyad, unduh saja di sini:
http://www.bursalagu.com/mp3/semakin_di_depan.html

Jumat, 08 Februari 2013

Hritik Roshan vs Lee Min Ho

Siang ini aku nonton sebentar film India di MNC TV. Yah, sebentar aja. (Sebenarnya pengen lama sih. Tapi, ya udah telanjur sebentar. Jadi ya sebentar ajalah.). Filmnya menceritakan cinta segi tiga. Karena menceritakan cinta segi tiga, maka bintang utamanya pun tiga, yaitu Hritik Roshan (Raj), Rani Mukherjee (Pooja), dan Kareena Kapoor (Tina).

Judulnya apa yah? Ohhh....... Aku lupa. #Eaaa....
Aku bbm temanku dulu ya yang Bollywood Maniac.
Wait for a minute! Don't go anywhere!

Kamis, 07 Februari 2013

First Love

Singasong  First Love

Kalau tidak salah ingat, sekitar lima tahun yang lalu, tepatnya saat aku kos di sebuah rumah yang mirip akuarium (karena ruang tamunya dikelilingi kaca, maka penghuni kos dan beberapa kawanku menyebutnya begitu), aku mendengar sebuah lagu yang bikinku termehek-mehek sekenanya.

Hyah, seorang temanku yang waktu itu menyetelnya kencang-kencang. Menderu-deru sampai mengganggu niatku tidur waktu itu. Bukan karena volumenya yang kencang, tetapi karena judulnya yang berhasil menghenyak-henyak lantai kosku. #Apadah!

Inilah lagu itu, lagu yang dinyanyikan oleh seorang penyanyi perempuan asal Jepang bernama Utada Hikaru. Lagu itu dinyanyikan dalam dua versi, yaitu versi Jepang dan versi Inggris. Pada waktu itu, yang disetel temanku adalah versi Inggris.

Baiklah, untuk sekadar berbagi, biarlah aku menuliskannya di sini. Siap-siap! Yak!

First Love

Saigono kissu wa
Tabako no flavor gashita
Nigakute setsunai kaori

Ashita no imagoro ni wa
Anata wa doko ni irun darou'
Dare wo omotte 'run darou'

You are always gonna be my love
Itsuka dare kato mata koi ni ochitemo
I'll remember to love
You taught me how
You are always gonna be the one
Imawa mada kanashii love song
Atarashi uta utaeru made

Tachidomaru jikan ga
Ugoki dasou to shiteruWasuretakunai koto bakari
Ashita no imagoro ni wa
Watashi wa kitto naiteru
Anata wo omotte 'run darou'

Yay yay yeah

You will always be inside my heart
Itsumo anata dake no basho ga aru kara
I hope that I have a place in your heart too
Now and forever you are still the one
Imawa mada kanashii love song
Atarashii uta utaeru made

You are always gonna be my love
Itsuka dare kato mata koi ni ochitemo
I'll remember to love
You taught me how
You are always gonna be the one
Mada kanashii love song yeah
Now & forever ah...


English Translation:

Once in a while
You are in my mind
I think about the days that we had
And I dream that these would all come back to me
If only you knew every moment in time
Nothing goes on in my heart
Just like your memories
How I want here to be with you
Once more

You are always gonna be the one
And you should know
How I wish I could have never let you go
Come into my life again
Oh, don't say no
You are always gonna be the one in my life
So true, I believe I can never find
Somebody like you
My first love
Once in awhile
Your are in my dreams
I can feel the warmth of your embrace
And I pray that it will all come back to me
If only you knew every moment in time
Nothing goes on in my heart
lyricsalls.blogspot.com
Just like your memories
And how I want here to be with you
Once more
Yeah, yeah, yeah

You will always be inside my heart
And you should know
How I wish I could have never let you go
Come into my life again
Please don't say no
Now and forever you are still the one
In my heart
So true, I believe I could never find
Somebody like you
My first love
Oh... Oh...

You are always gonna be the one
And you should know
How I wish I could have never let you go
Come into my life again
Oh, don't say no
You will always gonna be the one
So true, I believe I could never find
Now and forever

Kalau mau dengar lagunya, silakan unduh deh di alamat web ini:
http://www.4shared.com/get/6WUzfrok/firstlove-utadahikaru.html



Selamat berdendang. Hyuk.... Mari....

Riandra

Beberapa hari ini aku dilanda galau karena nama. Hemmm..... Bukan nama anak sih. Kalau anak, nama Ian sudah paten kale. Iya, namanya Abimael Riandra. Anaknya lucu-keren-kece badai-lah. Lain kali kita bisa bahas dia, sebelum dia keburu masuk SMP. Sebagai bonus, ini dia aku kasih bocoran fotonya biar ga penasaran mpe kebawa mimpi.

Gambar 1:
Seorang anak yang ganteng-lucu-imut-keren-kece badai


Kali ini yang lebih menyita kegalauanku adalah nama akun twitter.

Whyyyyy???

Hyaak......

Btw, kenapa dari tadi aku mulai ngetik ada suara laler sih. Aku baru aja mandi lho.

Nah, dia dah diem.

Mari kita lanjutkan!

Beberapa tahun yang lalu, tepat pada  31 Mei 2010, aku bikin akun twitter dengan nama @ImmaRiandra. Beberapa tahun kemudian, setelah aku putus dengan yang namanya Ang Riandra, aku ganti nama akunku itu menjadi @ImmaKhadija. Itu juga karena agar mudah mengidentifikasi aja agar nama akunku sama dengan nama onlineshop-ku, Khadija Online Shop (@KhadijaOls). Hahahaha.......

Beberapa lama setelah itu, aku kangen banget sama nama akun lamaku dulu. Niat hati ingin ganti nama lagi. Eh, ternyata nama akun itu udah dipake orang. Alhasil, gagal deh. Demi menutupi kekecewaan, aku tetep pake nama itu, hanya nama Riandra harus kukasih ekstra “a” di belakang. Jadilah, nama akun twitter-ku @ImmaRiandraa.

Namun, aku dibuat galau lagi. Aku pengen ganti nama lagi. #Eh....

Entah karena apa. Mungkin karena begitulah watak ababil. #Glodhagwelehweleh

Jadilah sekarang aku pake nama akun @ImmaKhadija. Hahahahaha........ Untung nama itu belum dipake orang.

Jadi, para Ente yang mau follow akun twitter-ku, terhitung mulai tanggal 6 Februari 2013 pukul 00.00 WIB, follow deh akun @ImmaKhadija. Nama akun ini masih berlaku sampai waktu yang tidak ditentukan. Itu tergantung mood dan selera yang punya.

Terus gimana dong nama Riandra itu?

Udah deh, tenang aja. Suatu hari kalau Farhat Abbbas jadi presiden, aku bakal ngadu ke dia.

Tapi buat para Ente yang penasaran sama nama Riandra. Boleh nih aku share apakah arti nama itu. Kale aja penting buat namain anaknya. Biar anaknya sekeren kam yang pakai nama itu. #Eaaaa......

Cuma syaratnya, Ente kudu ngerti bahasa Inggris ye. Setidaknya skor TOEFL 900-lah. Bwahahahahahahaha........


Your First Name of: Riandra
Why Names Matter. Watch:

Below is a brief analysis of the first name only. For an analysis of your full name and destiny, see our full free Name and Birth Date Report service for further details.

Your name of Riandra makes you easy-going and refined, but detracts from your physical vitality.

You desire all the finer things in life--lovely clothes, home, furniture, and environment.

However, procrastination is your worst enemy, and you find yourself lacking the ambition to make your dreams a reality.

People are inclined to take advantage of your sympathetic, tractable nature.

You naturally attract people with problems who seek your understanding and advice.

You can give good advice although it is unlikely that you would follow it yourself.

You would be most successful in situations where you can use your skills in diplomacy in handling people, but where you are not under pressure or required to carry responsibility and make decisions.

It is difficult for you to be individual and make your own decisions, for you lack self-confidence.

Your desire for sweet, rich foods could cause overweight, circulatory problems, or weakness in the kidneys.

Sumber: http://www.kabalarians.com/Female/riandra.htm
 Gambar 2: 
Akun twitter @ImmaRiandra beberapa detik sebelum diganti


 
Gambar 3:
Akun twitter-ku @ImmaKhadija
Follow yaaaa.....


 

 Gambar 4:
Akun twitter milik onlinesho-ku, Khadija Online Shop, @KhadijaOls
Silakan di-follow



#PostinganPentingBangetBuatGuweh